2 | Tukang Gosip


Windi hari itu langsung pulang ke rumah. Dengan sabar ia menunggu satpam penjaga rumah membukakan pintu pagar untuknya, setelah itu mobil Mercedes mewah tersebut perlahan-lahan memasuki halaman rumahnya yang cukup besar. Perumahan Mutiara Estate merupakan salah satu perumahan elit yang berada di Kemang. Salah satu icon orang-orang borjuis dan pusat perekonomian yang sekarang ini sedang dibangun. Pemukiman ini merupakan hunian yang luasnya tak lebih dari tiga hektar dengan dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit dan apartemen mewah.

Halaman rumah tempat Windi tinggal ditumbuhi dengan berbagai tanaman yang beragam. Beberapa pohon palem tampak tumbuh tinggi menjulang, kemudian juga tanaman bunga Bougenvile tampak tumbuh merambat di sekitar pagar. Di antara tanaman itu ada juga tanaman Penitian yang dibentuk menyerupai kursi dan meja. Tukang kebunnya pasti punya cita rasa seni yang tinggi sampai bisa membentuknya seperti itu. Windi kemudian memasukkan mobilnya ke garasi yang tempatnya berada di lantai bawah rumahnya. Di depan rumahnya ada sebuah jalan untuk menuju ke basement. Di dalam basement yang merupakan garasi itu terdapat mobil-mobil yang lain dan kesemuanya bukan mobil biasa. Ada Range Rover, Ford Focus dan Porsche. Windi memarkir mobilnya di sebuah tempat yang kosong kemudian ia segera keluar dari mobil menuju sebuah pintu kecil yang ada di samping garasi. Pintu ini langsung terhubung dengan ruang keluarga.

Rumah gadis ini tinggal bak sebuah istana. Begitu masuk ia langsung disambut dengan karpet Turki yang cukup nyaman untuk dipijak ataupun dibuat untuk merebahkan diri di atasnya. Sebuah sofa melingkar berwarna coklat tampak tertata rapi. Di depannya ada sebuah meja kaca yang bersih mengkilap dengan beberapa majalah yang bertumpuk di bawahnya. Sebuah aquarium menghiasi ruang keluarga ini, hanya saja aquariumnya berisi dua ekor hiu kecil yang terus berenang tanpa henti. Dua ekor hiu kecil itu bukan milik Windi. Mereka adalah milik kakaknya yang mana penggemar ikan. Dari semua ikan hias yang ada dan bagus-bagus entah kenapa Rico malah memilih ikan hiu. Kalau ditanya tentang hubungan Windi dengan Rico, maka hubungannya tak begitu akrab. Rico lebih sering keluar rumah menghabiskan waktunya di luar, sedangkan Windi kalau dia tak ada acara maka dia sangat kuat menghabiskan waktunya seharian di rumah. Satu-satunya kesempatan bagi Windi bisa menyapa Rico hanyalah pada saat berangkat sekolah dan makan malam. Keluarga ini memberikan peraturan wajib makan malam di rumah, sekalipun nanti mau pergi lagi keluar setelah itu.

Gadis itu terus melangkah hingga akhirnya berhenti di depan pintu bertuliskan Windi Aulanara Nugraha yang terukir di sebuah ukiran kayu. Windi sangat suka sekali dengan ukiran tersebut. Dia membelinya ketika masih SD untuk dipajang di pintu kamarnya. Ayahnya pun menyetujuinya sehingga dari semua kamar yang ada di rumah ini hanya kamarnyalah yang mempunyai ukiran kayu seperti itu. Windi mengambil anak kunci kamar dari sakunya kemudian ia pun membukanya. Dia segera masuk ke dalam kamarnya.

Kamar Windi sama seperti kamar-kamar cewek pada umumnya. Cat dindingnya cukup bersih dan cerah. Windi tak suka warna-warna gelap dan gothic. Sprei tempat tidurnya berwarna pink dengan sarung bantal bergambar Hello Kitty. Windi tak suka memajang poster, ia bahkan sama sekali tak ada tokoh yang dia idolakan. Menurutnya satu-satunya foto yang akan ia pajang di dinding kamarnya hanyalah foto suaminya kelak. Dan dia serius untuk itu.

Rak-rak buku tertata rapi di meja belajarnya. Windi sangat suka kerapian. Penampilannya ternyata berbanding lurus dengan kerapian kamarnya, maka dari itulah ia akan sangat menyukai orang-orang yang rapi. Windi langsung melempar ranselnya ke atas ranjang, kemudian diikuti dengan tubuhnya sendiri yang ia banting di atas ranjang. Kepalanya menatap langit-langit kamar, menerawang ke beberapa saat tadi perjumpaan ia dengan Samudra. Seseorang yang membuat dia merasa galau tingkat dewa.

Helloo, dia ini gadis yang dijuluki top model di sekolah, primadona sekolah koq bisa galau tingkat dewa gara-gara seorang cowok? Sejujurnya Windi melakukan banyak hal tadi di sekolah. Tentu saja dengan menggunakan statusnya sebagai anak seorang gubernur dia mampu melakukan banyak hal, terutama untuk mengetahui identitas seseorang seperti Samudra.

Sejak Samudra mengenalkan dirinya di depan kelas, Windi sudah langsung meminta ajudan ayahnya untuk menyelidiki siapa Teuku Samudra. Dan hasilnya membuat ia terkejut bukan main.

Samudra tercatat sudah berpindah-pindah sekolah sebanyak tiga kali. Sekali ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar, kemudian kedua kali ketika ia berada di bangku SMP, terakhir dia pindah ketiga kalinya di bangku SMU. Semua itu dilakukan karena Samudra terlibat berbagai kasus yang menarik. Ketika masih SD Samudra diskors bahkan dikeluarkan dari sekolah sehingga pindah dari SD tempat dia belajar karena menghajar seorang guru. Samudra ternyata sejak kecil sudah diajari pencak silat bahkan ia boleh dibilang sangat ahli dengan beladiri itu. Ketika SMP dia juga terkena kasus yang hampir serupa, hanya saja kali ini yang dia hajar adalah anak seorang Jendral TNI. Dan yang baru saja terjadi sebelum ia pindah ke SMU Darmawangsa tempat dia belajar sekarang, Samudra baru saja menggagalkan upaya pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang anak anggota DPR kepada teman sekelasnya. Windi membaca email dari ajudan ayahnya di ponselnya. Dia terbelalak ketika membaca cerita itu. Tak disangka Samudra terlibat sesuatu yang sangat menarik. Windi jadi ingin lebih tahu tentang Samudra. Dia kemudian mengambil ponselnya.

Ponselnya ia nyalakan. Dia kemudian pergi ke gallery untuk melihat-lihat gambar yang ada di dokumennya. Di sana ternyata ada foto-foto tentang Samudra. Windi tak tahu bagaimana ajudan ayahnya bisa mendapatkan itu semua, tetapi ia sangat puas bisa mengetahui banyak hal tentang Samudra yang mana teman-teman sekelasnya saja tak banyak yang tahu. Pertanyaannya sekarang hanya satu, bagaimana agar bisa mendekati Samudra? Anaknya termasuk cool, tak banyak bicara. Dia pasti seorang good boy. Jarang ditemui bocah seperti dia adalah seorang good boy, terlebih track record-nya cukup menarik.

Ada beberapa pesan yang masuk. Dia membuka sebuah group WhatsApp yang sudah banyak pesan tercatat di sana. Group WhatsApp ini merupakan sebuah group yang ia bentuk bersama teman-teman gengnya. Windi akhirnya mulai membacanya.

Ratri Indah S: Eh, nek. Itu murid baru koq diem aja yah? Apa jangan-jangan dia ini termasuk kelompok aneh?

Hesti JK: Dia terlalu tampan untuk dimasukkan ke dalam kelompok itu please deh. Jangan! :(

Lia: Nggaklah, ia jangan sampai masuk ke dalam kelompok aneh. Kasihan banget dia kalau sampai masuk ke sana. Ini Windi mana nih? Harusnya yang kayak gini dia paling cepet tahu.

Ratri Indah S: Iya, Windi paling cepet bisa dapat info dari cowok-cowok satu sekolahan, masa' yang ini nggak bisa.

Hesti JK: Wajar sih menurutku kalau dia itu pendiam, soalnya kan murid pindahan. Masih ada acara adaptasi dong.

Lia: Iya, pasti dia masih canggung. Tapi kalau dilihat sih selama tadi di sekolah, ia asyik bicara dengan siapa saja.

Rona TY: Eh, tapi aku tadi melihat dia bareng dengan si culun mata empat itu.

Lia: Hah? Siapa? Si Galuh?

Rona TY: Ho'oh.

Hesti JK: Yang bener lho mbok?

Ratri Indah S: Nggak bohong kan?

Rona TY: Gue lihat sendiri dia tadi bareng sama si culun mata empat.

Hesti JK: Wah, kalau sampai si culun mata empat itu dekati Pangeran Samudra gue hajar dia.

Ratri Indah S: Widih, Pangeran Samudra. Sejak kapan dia punya sebutan pangeran??

Hesti JK: Helloow, dia itu seharian jadi pembicaraan anak-anak tauk. Cowok cakep, kalem, trus ramah seperti dia itu satu dibanding seribu sekarang ini, nek!

Rona TY: betewe baswey, ini si Windi mana sih? Biasanya ia paling cepet nyolot soal cowok ngasih tahu aib-aib mereka.

Hesti JK: Ho'oh, tumben aja dia lambat responnya.

Lia: Do'i belum pulang kali, masih di jalan.

Rona TY: Bisa jadi.

Ratri Indah S: Barangkali dia lagi nyari info soal Pangeran Samudra.

Windi merasa gatal untuk bisa ikut obrolan mereka. Dia pun akhirnya nimbrung.

Windi AN: Pantes hidung gue gatel, lagi diomongin rupanya.

Ratri Indah S: Kyaaaa!!!

Hesti JK: Panjang umur lo, nek!

Lia: Whoaaa Nyonya Ratu akhirnya muncul.

Rona TY: Anjiiirr! Win, dapet info si Pangeran Samudra nggak?

Windi AN: Sejak kapan gue jadi detektif buat kalian? Sembarangan!

Lia: Ayolah Win, masa' kamu nggak tahu tentang si cowok baru ini? Do'i lagi jadi trending topik lho di kelas-kelas.

Windi AN: Iya, gue tahu. Gue udah dapet infonya koq.

Ratri Indah S: Whoaaaa, bagi dong!

Lia: Yuhuuu, bagi bagi bagi...!

Hesti JK: *duduk manis

Rona TY: *ambil popcorn

Windi AN: Bisa saja gue kasih tahu, tapi gue laper nih. Siapa yang mau nraktir gue, akan gue kasih infonya ke dia.

Lia: Asem

Hesti JK: Widih!

Ratri Indah S: Alamaaak

Rona TY: Penonton kecewa.

Windi AN: Lho, emangnya ada yang gratis di dunia ini?

Lia: gue lagi bokek, nek

Hesti JK: woi, ini tanggal berapa woi. Yang bener aja.

Ratri Indah S: OK deh, gue traktir elu.

Rona TY: Waaa, akhirnya Ratri mau nraktir. Asal jangan traktir pulsa aja.

Windi AN: Beneran nih? Serius?

Lia: Ratri mah udah kerja, jadi punya duit. Lha kita-kita masih minta bokap nyokap

Hesti JK: Yo'i.

Ratri Indah S: Dah, kalian gue traktir sekalian deh. Asalkan info tentang si Pangeran Samudra dapet.

Rona TY: muuacchh... Ratri baik banget.

Hesti JK: Love u girl.

Lia: Siap defrag perut.

Windi AN: OK, ntar malem aku tunggu di tempat biasa. Gue mau mandi dulu, trus les, habis itu cabut ke sana.

Hesti JK: Siap bos.

Lia: meluncur!

Ratri Indah S: Siap madam.

Rona TY: Count me in!

Windi menghela nafas. Dia cengar-cengir sendiri melihat bagaimana teman-temannya mau berkorban apapun untuk info tentang Samudra. Geng sosialita demikian orang-orang di sekolah menyebut mereka. Geng ini akan berkorban apapun demi sebuah gosip, bahkan para anggotanya menjadi nomor satu penebar gosip, entah gosip itu benar atau tidak. Dan boleh dibilang Windi memegang banyak rahasia orang-orang yang ada di sekolahnya.

* * *

Kafe tempat mereka bertemu adalah sebuah kafe yang cukup terkenal di daerah itu. Biasanya para penggila kopi atau yang biasa dijuluki dengan coffee snoob mengunjungi kafe ini untuk mendapatkan kopi yang sesuai dengan selera mereka. Hesti, Rona, Ratri dan Lia sudah menunggu Windi sejak setengah jam yang lalu. Mereka agak khawatir juga karena entah bagaimana hujan sudah mengguyur deras ibukota sejak pertama kali mereka berkumpul tadi.

"Kira-kira macet nggak yah?" tanya Hesti kepada rekan-rekannya sambil memandang hujan yang sedang mengguyur bumi dengan deras. Paving yang ada di halaman parkir pun sampai terlihat air yang menggenang.

"Yaelah nek, namanya juga Jakarta. Jakarta kekeringan itu berarti udah mau kiamat keles," sahut Lia. Semua tahu itu bukan berarti mendo'akan dunia mau kiamat.

"Aku heran deh sama kalian yang sampai segitunya penasaran kepengen tahu tentang Samudra," ujar Ratri. "Iya, aku tahu dia itu cakep. Trus juga sepertinya anaknya pinter, bisa deket ama siapa saja."

"Eh, Rat. Biar kamu tahu ya, kita itu perlu tahu latar belakang cowok yang bisa bikin hati kita berdebar-debar. Siapa tahu ntar emang bener-bener jadian. Maka dari itu harus tahu bibit bebet bobotnya. Ya nggak?" jawab Rona. "Jadi, kita harus tahu anaknya gimana. Kaya atau nggak, sifatnya gimana. Kalau misalnya ntar jadian ama gue trus dia tajir kan bisa bayarin gue nyalon."

"Huuu... dasar, kalau ada cowok yang bisa jadian ama kamu, bakalan tekor!" ledek Hesti.

Ratri hanya tersenyum melihat kelakukan teman-temannya. Dia adalah satu-satunya perempuan yang memakai kerudung. Hari itu pakaian ratri adalah baju lengan panjang kotak-kotak, dengan celana jeans. Hesti memakai kaos dengan cardigans dan celana selutut. Berbeda dengan Lia yang punya rambut keriting. Ia memakai baju hitam, celana jeans dengan lipstik gelap bertema gothic. Orang-orang bakal mengira cewek ini adalah salah satu cewek anggota geng, tetapi bukan berarti dia orangnya sangar atau bagaimana. Sifatnya Lia sungguh berbeda dari penampilannya. Berbeda lagi dengan Rona, dia adalah seorang yang sangat mengikuti fashion. Hampir setiap saat ada mode baru pasti dia uptodate. Seminggu sekali pasti nyalon. Entah sudah berapa banyak uang yang ia habiskan untuk pergi ke salon selama ini. Dan kalau ada salon yang ada diskon pasti dia akan membroadcast kabar itu ke group, letak salonnya di mana dan berapa harganya.

Di salah satu sudut tempat itu ada seorang wanita yang sedang duduk menatap hujan. Ratri penasaran dengan wanita itu. Wajahnya cantik, rambutnya lurus, sepertinya seorang mahasiswa. Ketika mereka datang wanita itu sudah ada di sana, dia menatap hujan yang sedang turun. Bahkan tatapannya itu seperti menerawang menembus awan, matanya merasa menikmati bulir-bulir air yang saat itu merayap ke bawah di atas permukaan kaca. Saat mata Ratri bertemu dengan matanya, buru-buru Ratri melihat ke arah lain. Wanita itu hanya tersenyum saja kepada Ratri. Sepertinya Ratri pernah melihat wanita itu tapi ia lupa di mana pernah melihatnya.

Windi saat itu sudah berada di depan kafe dan mulai mengemudikan mobilnya masuk ke area parkir. Hujan cukup deras membuat ia mencari-cari payung ada di jok belakang. Kemudian ia sempatkan untuk mengaca di kaca spion, memoles kembali lipstik dan bedaknya. Setelah itu barulah ia keluar. Gadis ini jelas lebih cantik daripada ke empat teman-temannya. Windi menyadari anugerah yang diberikan Tuhan kepada dirinya, maka dari itu ia terkadang menggunakan kecantikannya untuk tujuan tertentu. Semua teman satu kelompok iri kepada kecantikannya. Windi jarang pergi ke salon kecuali acara tertentu, tetapi kulitnya cerah, wajahnya cantik, bahkan semua tahu sekalipun tanpa make-up Windi itu sudah cantik seperti putri keraton.

Melihat Windi sudah ada di luar area kafe, mereka langsung melambai-lambai kepada gadis itu. Windi membuka payungnya dan berlindung dari hujan. Dengan berjalan perlahan-lahan ia menghampiri kafe tersebut. Hujan memang tak bersahabat, kalau misalnya ia berjalan terlalu cepat maka bajunya akan terkena cipratan air. Kali ini Windi memakai kemeja warna cerah dan rok berwarna biru. Tak berapa lama kemudian dia sudah masuk ke area kafe. Dia meletakkan payungnya di sebuah tempat yang memang disediakan oleh pemilik kafe.

"Hai semua, maaf terlambat. Tahu sendiri kan hujan mana macet lagi. Semoga aja nggak banjir," kata Windi menyapa teman-temannya.

"Whoaa, untung saja lo datang nek, kalo nggak udah kami tinggal," ujar Lia.

"Eh, iya girls. Udah pesan belom?" tanya Windi.

"Udah dong, lo aja yang belum," jawab Hesti.

"Tenang aja. Ratri sedang jadi dermawan hari ini, pesen aja yang lo suka!" ujar Rona.

"Ini gajian pertamaku. Makanya aku mau mentraktir kalian," kata Ratri.

"Oh, begitu. Oke deh. Mas!" Windi mengangkat tangannya memanggil pelayan.

Seorang mas-mas pelayan kemudian datang. Dia membawa catatan di tangannya untuk mencatat apa pesanan dari kelima perempuan sosialita ini. "Pesan sekarang neng?"

"Iya mas. Pesen pizza besar satu, spagheti ama makaroni panggang," ujar Windi.

"Wuih, lo makan semua Win?" tanya Hesti.

"Ya nggaklah. Dimakan bareng-bareng," jawab Windi.

"Oh, kirain. Hehehe." Hesti nyengir.

"Aku tambah es kelapa muda mas," ucap Lia.

"Kalau aku, catet ya mas! Beneran ini dicatet!" ucap Ratri kepada mas-mas pelayan.

"Iya, gimana non?" tanya mas-mas pelayan.

"Saya kepengen double ristretto 20 seconds cukup, vessel-nya harus pas 150ml. Tolong pakai Kallita Wave grind size 8,5 di EK43 dan airnya 92 derajat biar pas pouring jadi 88 derajat dan contact-time-nya pas dua setengah menit, entah selesai atau nggak langsung dicut. Trus paper filter-nya yang bleach ya!?" ucap Ratri.

Mas-mas pelayan ternganga. Dia mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Ratri, dahinya sampai berkerut padahal mas-mas pelayan ini belum tua. Semua teman-temannya yang ada satu meja bersamanya menelan ludah. Hening.

"Geblek-lah mas, langsung aja kasih dia Grande Choco Chips Frappucinno aja pake extra Caramel atau extra Cincau! Dia coffee snob. Hehehe," ujar Windi.

Mas-mas pelayan cuman mengangguk-angguk saja. "Maaf, saya nggak ngerti non begituan."

"Lho, tadi dicatet nggak? Catet aja!" perintah Ratri.

"Eh, iya. Maaf, saya catet. Jadi apa tadi? Jangan cepet-cepet ngomongnya!" pinta mas-mas pelayan.

Semuanya langsung tertawa mendengar hal itu. Windi kemudian berkata, "Kasih tahu saja ama mas Ismail, dia ngerti koq pesenan cewek nggak jelas ini. Kami sudah sering di sini koq mas. Hahahaha!"

"I-iya deh. Ada lagi?" tanya mas-mas pelayan yang merasa dikerjai.

"Aku Cappucino lagi aja," ucap Hesti sambil menunjuk cangkir minumannya yang sudah kosong.

"Aku pesen Cappucino dengan Ice Cream Float," pinta Rona.

"Aku minumnya Blue Fantasy," ucap Windi sambil menunjuk ke menu yang ada di meja. Blue Fantasy itu merupakan minuman berwarna biru dengan isi buah kiwi, biji selasih dan irisan limun.

"Baiklah, ada lagi?" tanya mas-mas pelayan sebelum pergi.

"Tambah roti panggang dengan toping keju coklat," celetuk Lia.

"Sudah?" tanya mas-mas pelayan meyakinkan dirinya kalau pesanannya itu aja.

"Sudah mas," ucap Windi setelah meyakinkan diri bahwa tidak ada yang ingin memesan lagi.

Setelah mas-mas pelayan itu pergi mereka langsung kembali ke pokok permasalahan. Windi mengambil ponselnya dan mulai membuka email dari orang kepercayaannya.

"Jadi Win, gimana? Dapat kabar?" tanya Ratri.

Windi tersenyum. "Tenang saja, ajudan bokap itu orangnya emang jempolan. Dia bisa mengetahui rahasia orang lain dengan baik."

"Ayo dong cerita! Gosipnya apa?" desak Rona.

"Baiklah, Teuku Samudra. Siapa dia? Dia lahir di Banda Aceh. Keluarganya termasuk orang yang terpandang dulu. Namun setelah bencana alam itu terjadi membuat dia menjadi yatim piatu," Windi bercerita tentang Teuku Samudra sambil membaca tulisan yang ada di ponselnya. "Kemudian dia diadopsi oleh seorang keluarga polisi. Sejak saat itu ia diasuh oleh keluarga itu. Kemudian selama dia bersekolah total dia sudah tiga kali pindah sekolah. SD, SMP, kemudian SMA. Di setiap tingkatan dia pasti menimbulkan masalah. Dia dipindahkan mengikuti bokapnya tapi sejatinya bukan itu. Bokapnya mendapatkan teguran dari atasannya atas perilaku anaknya yang punya rasa keadilan yang tinggi. Si Pangeran Samudra yang kalian sukai ini ternyata dia sering ngehajar anak-anak berandal yang nggak beres di sekolahnya sejak dari SD. Dan apes saja dia sampai berurusan dengan anak orang-orang penting. Dan sebelum dia pindah ke sekolah kita, ternyata dia telah melakukan sesuatu yang membuat kalian bakal tercengang."

"Apa itu?" tanya Ratri, Rona dan Hesti serempak.

"Dia baru saja melindungi seorang cewek dari percobaan perkosaan lho!" ucap Windi.

"Wah!" seru Lia.

"Dan dia dipindahkan lagi karena pelaku pemerkosaan ini adalah salah satu anak jendral TNI. Karena hal itu bokapnya dipindahkan, sekaligus dia pindah ke sekolah kita," jelas Windi.

"Waduuh, koq dia bisa sekeren itu ya? Pembela kebenaran, seperti superhero," puji Hesti.

"Aku makin kesengsem ama dia," ucap Rona.

"Wah, kita bakal saingan nih nek. Dia tipe gue banget!" ujar Lia.

"Yo'i, kayaknya seperti itu," Ratri setuju dengan Lia.

"Gimana menurut lo non?" tanya Hesti.

Windi tersenyum melihat polah tingkah teman-temannya ini. "Ehmm... sebenarnya aku juga suka sih, tapi..."

"Tapi kenapa? Lho?" Lia menggeleng-geleng tak percaya sampai-sampai rambutnya bergerak-gerak.

Windi menoleh ke arah hujan yang turun. Masih deras. Dia seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Perlahan-lahan ia memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

"Wah, jangan-jangan kamu naksir dia juga Win?" tanya Rona.

"Duh, ratu kita sepertinya beneran naksir nih," ucap Hesti.

"Wah, saingannya berat," sambung Lia.

"Lho, kenapa?" tanya Windi.

"Kalau kamu juga naksir ama dia, kita mundur teratur deh," jawab Ratri.

"Jangan gitu dong. Kalau kalian emang suka ya silakan aja. Aku kan tak pernah melarang kalian," ucap Windi.

"Eh, Win. Semuanya juga tahu kamu itu pasti bakalan menang. Secara ratu sosialita gitu loh!" puji Hesti.

"Kalian jangan menyerah sebelum berperang dong!" gerutu Windi.

"Iya Win, kita sadar koq. Kamu itu sekalipun nggak pergi ke salon cantik alami, banyak cowok-cowok yang kepengen jalan ama kamu. Kalau sampai si Pangeran Samudra nggak suka ama kamu, berarti dia gay!"kata Lia.

"Hahaha, buktinya pas pulang tadi aku kasih tumpangan dia nolak koq," jawab Windi.

Lia, Hesti, Ratri dan Rona merasa tak percaya. Mereka menatap Windi lekat-lekat apakah ekspresi wajah cewek itu berbohong ataukah tidak. Sepertinya mereka gagal menemukan kebohongan.

"Bohong ah!" ucap Rona.

"Serius, aku tadi ngasih tumpangan ke dia. Tapi dia nolak," ujar Windi. "Artinya dia bukan cowok gampangan, ada sesuatu yang mesti diperjuangkan. Jadi kita impas soal ini girls."

Rona nyengir. "Itu cowok geblek apa gimana sih?"

Windi mengangkat bahunya.

"Baiklah kalau memang seperti itu. Berarti kita sepakat nih untuk memperjuangkan si Pangeran?" tanya Hesti ke rekan-rekannya.

"Kalian aja deh, aku kayaknya nggak ikut," ujar Windi.

"Lho, kenapa Win? Masih ragu karena ditolak naik mobilmu? Mungkin dia tipe cowok yang nggak mau disopiri oleh seorang cewek cakep," gelak Lia.

"Nggak. Bukan itu, tapi sebaiknya aku nggak usah ikut saja," kata Windi sambil tersenyum.

Semua teman-temannya saling berpandangan. Tentunya ada sesuatu yang Windi sembunyikan dari mereka.

"Ada sesuatu yang belum elo bilang ke kami?" tanya Ratri.

"Nggak koq. Itu udah semua, suwer!" jawab Windi.

"Aku itu dari dulu itu penasaran ama ajudan lo yang katanya bisa tahu segala hal itu. Orangnya kayak apa sih?" celetuk Rona.

"Trust me, lo nggak bakal mau ketemu ama dia," ucap Windi.

"Yah, namanya juga penasaran," ucap Rona.

"Ya udah, ya udah. Kalau memang Windi nggak ikut, tapi kita nggak menutup kemungkinan nanti si Windi akan berubah pikiran. Hahahahaha," ucap Hesti sambil tertawa.

"Kita lihat aja deh nanti," kata Ratri. "Windi kan nggak seperti ini biasanya."

"Guru matematika saja bisa dia dapetin koq," celetuk Lia lagi.

Tiba-tiba semua hening. Lia langsung menutup mulutnya. Sudut meja yang tadinya haha-hihi tiba-tiba saja seperti sunyi senyap begitu saja. Hanya air hujan yang turun makin deras yang terdengar. Wajah Windi menampakkan raut wajah tidak suka ketika Lia berkata seperti itu.

"Ma-maaf, sorry. Aku tak bermaksud berkata seperti itu. Sorry ya Win," Lia tampak memegang tangan Windi untuk minta maaf.

"Aku sudah bilang, jangan ngomongin soal itu lagi!" ujar Windi dengan raut wajah tidak senang.

Hesti, Rona dan Ratri menundukkan wajah mereka. Ada sesuatu hal yang membuat mereka sepertinya tidak menyenangkan untuk dibahas. Lia merasa bersalah sekali. Dia menundukkan wajah lebih dalam dari pada yang lainnya.

"Maaf, Win. Maaf," ucap Lia. Dia tak berani menatap wajah Windi.

"Aku tahu kamu itu orangnya suka ceplas-ceplos. Tapi kalau sampai kamu sentuh soal itu lagi. Aku tak akan mengampunimu. Kau akan keluar dari geng kita!" ancam Windi.

"Nggak Win, maaf. Maaf," ucap Lia sambil menggenggam erat tangan Windi.

Windi kemudian beranjak dari tempatnya duduk. Dia menampik tangan Lia. Semua teman-temannya saling pandang, kecuali Lia yang mendongak untuk meminta ampunan kepada Windi.

"Win, mau kemana?" tanya Hesti.

"Pulang, aku jadi nggak nafsu lagi untuk makan," jawab Windi yang setelah itu langsung bergegas pergi.

"Lho!? Win! Tunggu!" cegah Hesti.

Windi segera pergi meninggalkan meja itu untuk keluar dari kafenya. Karena persoalan guru matematika saja bisa membuat Windi gusar seperti itu. Ratu sosialita itu sepertinya sedang tidak mood untuk membahas persoalan tersebut atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan dan tak ingin dikuak lagi. Windi tak mengindahkan panggilan teman-temannya. Ia bahkan lupa dengan payungnya dan rela berhujan-hujanan menuju ke mobilnya. Lia segera mengejarnya dengan mengambil payung tersebut lalu melindungi Windi dari guyuran air hujan sementara dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan.

"Win, maaf Win. Aku tak sengaja tadi. Aku janji besok aku akan mogok bicara, tapi please Win. Aku minta maaf!" pinta Lia sambil memelas.

Windi berhenti di depan pintu mobilnya. Dia tak bergerak sama sekali. Nafasnya tampak memburu, ia benar-benar ingin meledak rasanya.

"Aku tak pernah mengira Windi bakal semarah itu," bisik Hesti kepada Rona yang sekarang berada di depan kafe berlindung dari hujan. Mereka kemudian menoleh ke arah Ratri yang masih berada di dalam kafe berdiri di balik pintu kaca. Ratri menoleh ke arah kedua rekannya yang sudah berada di luar. Ia menggeleng-geleng. Artinya sebaiknya biarkan Windi sendirian.

"Yah, sebaiknya kita tinggalkan Windi sendirian dulu. Peristiwa tragis itu memang tak boleh kita ungkap lagi. Biarkan Windi sendirian," ucap Hesti. "Yuk, kita samperin Lia!"

Dengan berhujan-hujan, Hesti dan Rona segera menghampiri Lia yang sekarang berlutut kepada Windi. Windi kemudian membuka pintu mobilnya tak menghiraukan Lia. Tak berapa lama kemudian Windi menstarter mobilnya untuk pergi dari parkiran tersebut. Mobil pun melaju meninggalkan kafe.

Lia tampak menangis histeris. Maskaranya sampai luntur karena hal itu. Kedua rekannya mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Sudah Lia, biarkan Windi sendiri dulu. Ia butuh waktu. Besok dia akan kembali seperti semula koq," ucap Rona.

"Tapi Windi, nggak maafin aku Na. Huaa....hiks," Lia memeluk Rona sambil merengek. "Mulut gue emang harus dijahit saja biar nggak ngomong ceplas-ceplos."

"Jangan gitu. Kamu nggak sengaja. Dia pasti maafin kamu koq. Biarkan dia sendiri dulu! Yuk masuk! Nanti kamu masuk angin kalau di sini terus," ucap Hesti sambil menenangkan Lia.

Ratri kembali ke mejanya. Dia menghela nafas sambil mengusap wajahnya. Dia tak pernah mengira bakal seperti ini kejadiannya. Mas-mas pelayan kemudian membawa pesanan yang sudah matang. Ratri mengubah mimik wajahnya dengan senyuman agar tak terlihat ada masalah.

"Ini spagheti, makaroni panggang, blue fantasy, es kelapa muda, cappucino dan ini buat non entah apa namanya pokoknya kopi plus cincau," ucap mas-mas pelayan sambil tersenyum.

Ratri tertawa mendengar kata-kata terakhirnya.

"Kurang pizza besar, tunggu dulu ya!" ucap mas-mas pelayan. Ratri hanya mengangguk. Mas-mas pelayan itu kemudian pergi meninggalkan Ratri sendirian di mejanya.

"Argh, emang kita hari ini lagi sial. Sekarang siapa yang akan menghabiskan ini semua? Dibungkus bisa nggak ya?" gumam Ratri sambil melihat semua makanan dan minuman yang ada di meja.

Ratri menoleh ke tempat wanita yang duduk sendirian tadi. Untuk sesaat ia kebingungan karena wanita itu sudah tak ada, namun ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba ada yang menyapanya.

"Selera kopimu mengingatkanku kepada seseorang," ucap seorang perempuan tiba-tiba dari sampingnya. Ratri segera menoleh dan mendapati seorang wanita yang tadi duduk sendirian sudah ada di sampingnya.

"Eh, i-iya kak? Apa?" tanya Ratri gelagapan.

"Selera kopimu mengingatkanku kepada seseorang pecinta kopi," ucap perempuan itu mengulanginya.

"Oh, siapa memangnya kak?" tanya Ratri.

"Kau pasti kenal dengan dia. Dia seorang sutradara film ternama," jawab perempuan itu.

Ratri mengernyitkan dahinya ia perlu waktu untuk mengolah maksud dari perempuan itu. Perempuan yang ada di hadapannya ini memakai baju yang semi resmi. Kemeja putih dengan rok berwarna biru dongker serta blazer dengan warna yang setara. Rambutnya tergerai sebahu tetapi yang membuat Ratri lebih iri adalah sekali lagi ada perempuan cantik yang mirip seperti Windi. Balutan make-up-nya tipis tak neko-neko seperti kebanyakan wanita karir lainnya. Perempuan ini lebih terlihat lembut dalam berdandan, sebagai bukti bahwa dia memang cantik alami. Ngomong-ngomong soal sutradara ternama? Siapa? Ratri bukan orang yang sering nonton film, tapi kalau perempuan ini bilang sutradara ternama maka akan ada banyak nama. Kalau misalnya dia berada di Indonesia pun akan ada banyak nama sederet sutradara pembuat film terkenal. Tapi siapa?

"Siapa ya?" tanya Ratri penasaran.

"Johan Vairus Ghana," jawab perempuan itu.

Mendengar nama itu Ratri langsung klik. Dia tahu siapa Johan Vairus Ghana, seorang sutradara juga suami dari penyanyi terkenal yang ia sangat sukai lagu-lagunya, Sheila Amara Berg. Mendengar itu Ratri tampak sumringah.

"Anda siapanya?" tanya Ratri.

Perempuan itu mengulurkan sebuah kartu nama. Ratri menerimanya kemudian dan membaca nama yang tertera di sana. Adelia, SH. Seorang pengacara.

"Saya adiknya," jawab perempuan tersebut. "Kalau butuh sesuatu hubungi aku yah?"

Ratri menelan ludahnya. Mimpi apa dia semalam bertemu dengan seorang pengacara sekaligus adik dari Johan. Adelia kemudian pergi meninggalkan Ratri dengan kartu nama di tangannya. Di pintu keluar Adelia berpapasan dengan Hesti, Lia dan Rona. Sementara itu Lia masih menangis dengan maskaranya yang berantakan. Ratri menghela nafas, dia kemudian menghampiri ketiga temannya mencoba untuk ikut menenangkan Lia.

* * *

"Terima kasih," ucap seorang laki-laki ketika menerima bungkusan dari Samudra. "Repot sekali sampai membelikan ini."

"Ah, nggak. Kebetulan di rumah sedang acara syukuran," ucap Samudra dengan tersenyum ramah.

Lelaki itu segera membuka bungkusan tersebut yang isinya ternyata nasi kotak. Dia tak sabar untuk membukanya dan langsung menyantap nasi kotak itu. Sesuap dua suap, ia menghirup nafas dalam-dalam merasakan masakan yang sangat lezat.

"Lezat sekali, sudah lama aku tak merasakannya," ucap lelaki itu.

Sam tersenyum kepadanya. "Nikmati saja, masih banyak waktu bukan?"

Lelaki itu mengangguk-angguk. "Terima kasih banyak."

Sam merasa senang bisa membantu lelaki itu. Malam sudah larut dan hujan sudah berhenti. Suara binatang malam bersahut-sahutan di pulau kecil yang ada di kepulauan seribu ini. Mereka sedang duduk di teras dengan pemandangan hamparan lautan yang luas. Teras tersebut merupakan bagian dari rumah yang terbuat dari kayu. Beberapa sudut bagian rumah tampak kayunya sudah lapuk dan seharusnya diganti. Di dalam rumah terlihat dua foto terpampang di sana yaitu foto presiden dan wakilnya. Sebuah papan tulis berwarna putih dengan coret-coretan spidol ada di salah satu sudut ruangan. Tulisannya berupa rumus dan angka-angka seperti soal matematika.

Lelaki itu tersenyum melihat Sam mengamati papan tulis tersebut. "Kau ada keluhan soal matematika? Aku bisa mengajarimu."

"Boleh, kalau saya punya masalah," jawab Sam sambil tersenyum.

"Bagaimana? Kau sudah bertemu dengan dia?" tanya lelaki itu.

"Sudah," jawab Sam.

"Lalu tanggapanmu?" tanya lelaki itu lagi.

"Dia cantik. Aku tak pernah melihat perempuan secantik itu. Dan juga aku tak menyangka ia bisa berbuat seperti itu kepada Anda," jawab Sam dengan bahasa yang sangat sopan. Ia sepertinya sangat menghormati orang yang ada di sampingnya.

"Ya begitulah. Setiap orang punya sifat masing-masing dan sifat manusia itu sukar ditebak. Kau bisa menjaga dia untukku?" tanya lelaki itu.

"Setiap kali menolong orang, aku pasti selalu tuntas. Aku akan membantu Anda," jawab Sam.

"Galuh pasti sedang dalam tekanan. Aku tahu ini salahku, aku mohon tolonglah Galuh dan Windi. Mereka dua orang yang tidak bersalah. Setidaknya sadarkanlah Windi atas perilakunya selama ini," kata sang lelaki.

"Anda sudah tak menjadi guru mereka, lalu kenapa harus repot-repot mengurusi mereka?"

"Sama sepertimu. Kalau menolong orang harus tuntas. Mereka adalah murid-muridku, maka sudah kewajibanku untuk membantu mereka hingga tuntas. Kebahagiaan seorang guru adalah melihat murid-murid mereka berhasil," ucap lelaki itu.

Sam mengangguk. "Iya, Anda benar." Sam menoleh ke arloji yang ada di tangannya. "Saya harus kembali sepertinya. Takut nanti dicari ibu dan ayah."

"Oh iya. Salam kepada mereka berdua," ucap lelaki itu.

"Mereka tak kenal siapa Anda, bagaimana aku mengatakannya? Ayahku pasti bertanya-tanya. Sam apa kamu berulah lagi? Bla bla bla...."

Lelaki itu tertawa. "Ya bilang saja dari guru matematikanya."

Sam menggeleng-geleng sambil tertawa. "Baiklah, sampai nanti."

"Sampai nanti superman!" ucap lelaki itu sambil melambai.

Sam kemudian menghentakkan kakinya. Tubuhnya dengan cepat meninggalkan bumi menembus awan menuju ke rumah tempat dia tinggal. Lelaki itu memang sebelumnya tak percaya akan ada orang yang bisa melawan gravitasi. Tapi kini ia percaya bahwa orang yang bisa melawan gravitasi itu ada. Dan ia baru saja berbicara dengan orang itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top