Bagian 9

Membuka matanya pagi ini terasa berat Ara lakukan, bukan tanpa alasan, selain ia harus bersiap untuk terlihat kuat dan baik-baik saja, dirinya pun harus menyiapkan kesabaran ekstra menghadapi tingkah random atasan yang seolah memanfaatkan situasi. Ingin rasanya Ara kabur saja dari bos yang semena-mena itu, tapi apa mau dikata, Ara sangat membutuhkan pekerjaannya.

Tok ... tok ... tok....

Tanpa bertanya pun Ara tau jika sang ibulah yang telah mengetuk pintu kamarnya.

"Iya, Bu." Ara merapihkan rambutnya asal kemudian beranjak menemui sang ibu.

"Siap-siap, Ra, ibu udah siapin sarapan buat kamu." Bu Ratna tersenyum lembut, mendapati kantung mata yang terlihat pada paras sang puteri sudah pasti Ara tak bisa tidur nyenyak semalam.

"Ibu mau kemana?" Ara heran mendapati ibunya yang telah rapi dengan gamis toska yang sangat jarang digunakan.

"Mau ke rumah bude kamu dulu, bantuin sebentar di sana, mumpung ibu dibolehin ijin kerja."

Mendengar penuturan sang ibu, Ara hanya menganggukkan kepala mengerti kemudian bersiap mandi dan menjalankan ibadah sebelum berangkat ke tempat yang diperintahkan sang bos kemarin.

***

"Pak? Apa ini nggak berlebihan?" Ara melihat sendiri penampilannya sekarang melalui cermin di hadapannya, sangat jauh berbeda dari dirinya yang biasa.

"Akan jadi lebih kalau kamu terus bertanya." Wira menjawab acuh dengan pandangan lurus ke cermin seraya membenarkan setelan berwarna senada dengan gaun yang dipakai Ara sekarang.

Tepat satu jam lalu saat Ara sampai di butik tante Sherly, tanpa Ara sempat mengelak, wanita paruh baya itu langsung membawa Ara ke ruang make up serta mengganti pakaian Ara dengan gaun yang telah Wira pilih kemarin. Saat Ara telah siap, ternyata Wira sudah menunggunya di luar ruangan dengan mengenakan setelan yang telah mereka ambil kemarin.

Wira sempat terpaku melihat tampilan Ara saat ini, gadis sederhana yang kini menjelma bak puteri meski make up yang merias wajahnya tidak terlalu mencolok. Ara seakan menampilkan kecantikan alaminya sendiri. 

"Sebenarnya kita mau kemana, Pak? Kenapa saya disuruh pakai baju begini?" tanya Ara setelah Wira selesai berbincang sebentar dengan sang Tante.

"Pasang senyum kamu, nanti juga kamu akan tau. Ayo." Wira berjalan mendahului Ara menuju mobilnya yang terparkir di luar.

Jalanan yang sedikit lengang membuat Wira mempercepat laju kendaraannya. Satu jam kemudian pria itu membelokkan kemudinya memasuki sebuah gedung yang terlihat cukup mewah. Dari ucapan yang berjajar, Ara dapat mengetahui ini pastilah acara orang penting.

Deg!

Degup jantungnya terasa begitu cepat saat netranya menangkap sepasang nama yang tertera pada salah satu karangan bunga tanda ucapan selamat saat Wira mulai memarkirkan mobilnya tak terlalu jauh dari pintu masuk.

"Ayo." Wira mematikan mesin kemudian bersiap turun namun urung ia lakukan ketika menyadari tak ada pergerakan apa pun dari gadis yang sejak tadi bersamanya.

Gadis bergaun peach itu hanya menatap keluar jendela, memandang lurus ke depan pada deretan ucapan selamat yang diberikan oleh kolega keluarga mempelai, entah pandangan yang bagaimana Wira tak bisa membacanya, yang Wira tangkap hanyalah binar yang kian redup meski pemiliknya tak sedikitpun mengeluarkan suara.

Wira tahu, hal ini akan terjadi ketika tempo hari ia menyadari siapa sebenarnya gadis ini. Wira pernah sekali bertemu dengannya ketika Ares membawa Ara dalam sebuah acara. Ares mencampakkannya begitu saja.

"Turun, saya tidak suka terlalu lamu menunggu orang melamun." Wira keluar dari mobil, berjalan menuju pintu penumpang tempat Ara masih termenung kemudian mengisyaratkan Ara agar segera keluar.

"Tapi, Pak.... "

"Tidak ada tapi, ayo." Wira menggenggam tangan Ara begitu saja tanpa permisi, pandangannya lurus ke depan tanpa sedikitpun memperdulikan bagaimana reaksi Ara ketika mereka semakin mendekat pada pintu masuk.

Akad nikah baru akan dimulai, ketika mereka memasuki ruangan. Wira mendudukkan dirinya pada kursi saksi, setelah memastikan Ara duduk dalam jangkauan penglihatannya.

Ketika prosesi akad nikah usai, Wira beranjak menuju tempat di mana Ara duduk tak jauh darinya kemudian membawa gadis itu mendekat ke arah pelaminan.

"Pasang senyum kamu,  wajah kamu yang seperti ini cuma akan membuat kamu semakin terlihat menyedihkan." Wira berbisik ketika mereka semakin mendekat pada pelaminan.

Ara menarik napasnya dalam sebelum mereka menaiki pelaminan secara beriringan. Memasang senyum terbaiknya seraya mengucapkan pada dirinya sendiri jika semua akan baik-baik saja mulai saat ini.

"Selamat untuk kalian." Wira terlebih dahulu menjabat tangan Ares memberikan selamat.

"Dimana dia?" Ares berbisik ketika tak menyadari ada seorang wanita yang berdiri di belakang Wira.

Tepat ketika Wira menggeser sedikit tubuhnya, raut terkejut nampak dari wajah Ares saat pria itu mulai mengenali siapa wanita yang datang bersama Wira, namun dengan cepat Ares mampu menetralkan ekspresinya.

"Pilihan yang lumayan," ucap Ares seraya memberikan senyum meremehkan pada Wira.

"Pilihanku selalu terbaik, kamu akan menyesal." Wira memperketat jabatan tangannya pada Ares, seraya menyunggingkan senyum penuh arti kemudian beralih pada Laras.

"Selamat Mas." Ara mengatakan penuh ketulusan dengan senyum yang senantiasa tersungging di bibirnya meninggalkan jejak gurat kesedihan di sana, kemudian beralih pada Laras yang kini terpaku melihat penampilan Ara yang sangat berbeda dari yang pernah ia lihat.

"Selamat Mbak Laras, semoga selalu bahagia," tulus Ara mendoakan Laras,  ekspresi yang sama juga ia tunjukkan pada sepupu yang entah sadar atau tidak telah ikut andil dalam menciptakan luka di hati Ara.

"Makasih ya Ra, aku kira kamu enggak mau datang."

"Aku datang buat jadi saksi kebahagiaan, Mbak. Selamat sekali lagi buat Mbak dan suami Mbak."

Wira hanya mengamati interaksi mereka dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Entah apa yang akan ia lakukan setelah ini.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top