Bagian 26

"Ra?" Bu Ratna mengetuk pelan pintu kamar sang anak yang tidak biasanya terkunci.

Hening.

"Ra? Ara? Makan dulu, Nak. Nanti kamu sakit, dari pulang kerja semalam kamu belum makan." Bu Ratna coba membujuk sang putri.

Setelah subuh, Ara tidak lagi keluar kamar hingga membuat sang ibu khawatir karena putrinya tidak mengucapkan sepatah kata pun setelah kejadian semalam. Bu Ratna sendiri pun tidak menyangka jika kakak dari mendiang suaminya masih saja mencari perkara dengan mereka, padahal selama ini dirinya selalu berusaha mengalah dan tidak ingin terlibat masalah.

Saat hendak berbalik, terdengar kunci pintu kamar dibuka, namun beberapa saat menunggu tidak kunjung terdengar suara gagang pintu kamar anak gadisnya terbuka, membuat Bu Ratna kembali mendekat.

"Ra, Ibu masuk ya." Bu Ratna dengan sedikit ragu membuka perlahan pintu kamar Ara.

Mendapati sang anak yang duduk bergeming menatap kosong pada meja yang biasa digunakan belajar, Bu Ratna mulai mendekat. Mengikuti sekilas kemana arah pandang Ara membuat kening wanita baya itu berkerut. Beberapa lembar kertas sedikit berserak namun tertutup oleh map coklat di atasnya.

Tanpa bertanya, Bu Ratna mengambil selembar kertas. Meneliti apa yang ada pada kertas itu seketika membuat bola matanya membesar, sebelah tangannya menutup mulutnya yang terbuka namun tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Bagaimana bisa Ara mendapatkan lembaran yang bahkan dirinya sendiri pun belum pernah melihatnya?

"Ibu lihat? Mereka itu culas. Kenapa ibu masih diam saja?" Ara berbicara tanpa menatap sang ibu.

"Dari mana kamu dapat ini, Ra? Apa yang ibu lihat di kertas ini benar? Ibu selama ini nggak pernah tau soal ini." Bu Ratna bertanya dengan nada lemah, kekuatannya menguap entah kemana setelah berhasil menetralkan perasaannya perlahan.

Sebuah surat perjanjian damai dengan nominal ganti rugi yang sangat banyak dibuat tepat sehari setelah kepergian ayah Ara. Bahkan hal yang lebih mengejutkan Bu Ratna justru ketika melihat terdapat tanda tangan serta nama terang sang kakak ipar sebagai perwakilan keluarga. Dia pikir, waktu itu kakak perempuan satu-satunya dari sang suami melarangnya serta anggota keluarga lain menuntut keadilan murni karena tidak ingin mengusik ketenangan almarhum seperti yang selalu ditekankan, namun ternyata ibu dari Laras itu justru selama ini diam-diam telah mengambil keuntungan dari perjanjian tersebut tanpa sepengetahuannya.

"Ibu lihat saja semuanya sendiri, ada foto-foto juga di sana. Ara percaya ini asli. Hidup mereka berubah drastis setelah Ayah pergi. Dulu, mereka selalu datang ke ayah buat minta uang dengan menjual rasa kasihan padahal mereka tahu hidup kita seperti apa, berlaku sok baik ketika ayah ada sama kita. Begitu ayah pergi, mereka semakin berbuat seenaknya." Ara menggeser kertas-kertas tersebut agar sang ibu dapat melihatnya sendiri. Air matanya tidak lagi keluar seperti saat pertama kali ia mendapatkan bukti ini, rasa kecewa yang dalam telah menjadi dominan dalam hatinya sekarang.

Bu Ratna meneliti satu per satu kertas tersebut, air matanya tidak lagi dapat terbendung ketika mengetahui kebenaran yang disajikan. Rasa sedih, kecewa dan amarah bercampur tanpa bisa diungkapkan dalam suara. Ini bukan perkara nominal, namun ketidak adilan yang Ara dan dirinya rasakan selama ini ternyata menjadi ladang kecurangan lain yang dilakukan oleh wanita itu.

Sementara Bu Ratna kembali meneliti lembar demi lembar bukti yang dirinya dekatkan, pikiran Ara mulai berisik melihat sebuah nama terang lain yang baru ia ingat siapa pemiliknya. Kenapa dunia begitu mempermainkannya hingga membuatnya bertemu dengan orang yang juga berperan menjadikan  hidupnya seperti sekarang ini?

Hardanu Wiyasa, nama yang ia tahu merupakan milik ayah dari Mahawira Wiyasa, sang atasan. Takdir yang bagaimana lagi yang akan ia jalani setelah ini?

***

"Apa yang sebenarnya kamu harapkan dari gadis itu?" Pria baya itu menatap sang putera yang baru saja duduk di hadapannya.

Mengangkat bahunya acuh sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak ingin ia jawab, Wira kemudian menyandarkan punggungnya tanpa melepas pandangan dari sang ayah.

Sebuah panggilan telepon sejak pagi tadi, membuatnya terpaksa menginjakkan kaki di kantor sang ayah yang selama ini sangat tidak suka ia lakukan. Ayahnya mengancam tidak segan untuk langsung menetapkan rencana pernikahan Wira dengan Fira jika pria itu menolak datang.

"Kamu tau resiko apa yang akan kamu hadapi nanti? Papa selama ini berusaha menyelamatkan kamu, tapi kebodohanmu malah hanya akan membuat usaha Papa selama ini sia-sia dengan kamu memberikan  bukti itu padanya." Pak Danu menatap tajam sang putera yang tetap  bergeming.

"Apapun resikonya, Wira sudah lelah hidup dengan rasa bersalah. Mungkin ini memang cara Tuhan  mempertemukan kami, biar Wira bisa menebus masa lalu itu." Wira berusaha bersikap tenang, sorot matanya menunjukkan keseriusan.

Bertemu dengan Ara merupakan ketidaksengajaan yang terjadi dalam hidupnya. Bukan ia ingin melupakan masa lalu kelam itu, namun ia hanya tidak ingin rasa bersalahnya semakin menjadi ketika mengetahui kehidupan lain yang tanpa sengaja ia rusak akibat perbuatannya dulu.

Selama ini hidup Wira dihantui rasa bersalah meski kata damai telah menjadi kesepakatan dua belah pihak, hingga pria itu memilih tenggelam dalam padatnya pekerjaan untuk menghalau ketidaknyamanan yang selalu mengusik batinnya.

***

"Kamu bisa fokus sedikit nggak sih? Kalau nggak niat kerja, mending kamu udahan aja. Banyak yang mau gantiin posisi kamu di sini!" Teguran ketus terdengar dari seorang rekan kerjanya sewaktu Ara telah dua kali salah mengantarkan pesanan.

"Maaf, Mbak. Saya akan lebih hati-hati lagi." Ara menundukkan wajahnya, dirinya benar-benar merasa bersalah.

Sebenarnya, dirinya hampir memutuskan berhenti dan menjauh dari hal-hal yang berkaitan dengan Wira. Hatinya terasa sakit mengingat pria itulah penyebab dirinya kehilangan sang ayah, namun di sisi lain masih banyak pertanyaan yang mengganjal dalam pikirannya, membuat gadis itu menguatkan diri berada dalam lingkup Mahawira Wiyasa. Sebenarnya apa yang pria itu inginkan?

"Kamu disuruh ke ruangan Pak Wira."  Dari arah belakang, seorang rekan lain menegur Ara.

"Saya?" Ara berbalik menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, siapa lagi yang suka dipanggil ke ruangannya selain kamu." Ucapan bernada sedikit ketus membuat Ara merasa semakin tidak enak.

Dengan langkah gontai, Ara menuju loker untuk melepas celemek yang melapisi seragam yang ia kenakan, menggantungkannya di sana,  kemudian bersiap menghadap Wira dengan berbagai tanda tanya di kepalanya. Di sudut lain tanpa Ara sadari, tampak sepasang mata mengamati gerakan gadis itu dengan sorot tajam.


...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top