Bagian 23

Lama nggak buka WP. Apa kabar?Dunia nyata sedang menyita perhatian sampai lupa buat up cerita. Semoga sehat-sehat kalian semua.

Silahkan baca beberapa bab sebelumnya. Terima kasih sudah mampir.

.
.
.

Setelah kepergian sang ibu beberapa saat lalu, keheningan kembali meliputi Laras dan Ares. Di sofa panjang Ares merebahkan diri, menutup matanya dengan lengan kanan, lebih tepatnya pura-pura tertidur. Mengingat bagaimana cara Wira memperlakukan Ara membuat sudut hatinya tidak terima, sementara bibir dan pikirannya terus sibuk menyangkal setiap tuduhan Laras yang menganggap cinta Ares tak lagi untuk wanita itu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan Laras harusnya ia bahagia, namun rasa bimbang malah muncul begitu saja, niatnya menjauh dari sang istri sesaat untuk menenangkan diri justru membuat Laras semakin salah paham dan mengejarnya hingga akhirnya mengalami keguguran.

"Aku tau kamu nggak tidur, Mas." Ucapan Laras yang tiba-tiba memecah keheningan membuat kening Ares sedikit berkerut, akan tetapi pria itu masih bergeming dengan posisinya menunggu apa yang ingin istrinya katakan selanjutnya.

"Kamu pasti cemburu ngelihat tadi kan? Berhenti buat mikirin Ara. Aku mohon. Selama ini aku diam, bahkan waktu kamu selalu sebut nama dia tanpa kamu sadar, aku masih berusaha menahan diri. Tapi enggak buat kali ini, aku enggak akan biarin semua begitu saja, karena dia, anak kita pergi! Kalau kamu masih berusaha cari tau tentang dia, apa pun bisa aku lakuin buat ... hancurin dia." Laras menekankan akhir ucapannya seiring kedua tangan yang semakin meremas kuat selimut yang terlipat di kedua sisi tubuhnya.

Ares masih saja bungkam, namun rahangnya terlihat kian mengeras. Lagi-lagi Laras kembali menyalahkan Ara atas musibah yang mereka alami. Laras masih saja seperti itu, cemburu membuatnya selalu menarik kesimpulan tanpa berusaha melihat dari sisi lain. Menarik napasnya perlahan, Ares mencoba meredam emosi yang mulai bangkit. Harus berapa kali ia jelaskan jika apa yang terjadi adalah murni kesalahan wanita itu dan dirinya, bukan Ara.

Ara, ya, bayangan gadis itu memang lebih sering menari dalam ingatannya akhir-akhir ini, namun Ares yakin jika itu bukanlah sebuah perasaan lebih dari rasa bersalah karena telah mempermainkan hidup gadis itu di masa lalu. Apalagi setiap komentar kebencian sang ibu mertua pada keluarga Ara, membuat perasaannya semakin tak menentu. Ares merasa telah menambah kesulitan pada hidup gadis itu.

Bangkit, Ares melenggang keluar kamar meninggalkan sang istri begitu saja, mencoba menjelaskan sesuatu kepada orang yang masih diliputi amarah hanya akan memperburuk keadaan. Biarkan Laras sendiri dulu agar merasa sedikit tenang, ia akan mengajaknya bicara nanti.

Melihat apa yang Ares lakukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun membuat Laras semakin merasa tersakiti. Dirinya telah kehilangan dan tak akan pernah merelakan, apalagi membiarkan suaminya pergi dari sisinya untuk perempuan lain, tidak akan ia biarkan.

***

"Ibu Laras, benar dia bibi kandungmu?" Sebuah tanya Wira lontarkan setelah mobil yang mereka tumpangi menjauh dari parkiran rumah sakit, sesekali ekor matanya memperhatikan spion mobil untuk tetap waspada meski jalanan sedikit lengang. Sedari keluar ruang rawat Laras, tak ada kata yang keluar dari bibir keduanya, seakan mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Bapak sudah kenal lama?" Ara menatap penuh selidik mendengar bagaimana tadi perkataan sengit Wira pada sang bibi tadi.

"Kenapa dia bersikap begitu?" Alih-alih menjawab, Wira kembali bertanya.

"Kenapa Bapak peduli?" Ara kembali memfokuskan pandangan ke depan, namun memorinya mulai berkelebat tanpa kendali.

Sang bibi memang selalu memperlakukan Ara dan ibunya dengan tidak baik, terlebih setelah ayahnya tiada. Pernikahan orang tuanya tak mendapat restu dari sang bibi selaku pengganti orang tua sang ayah yang telah meninggal, dengan alasan keluarga ibunya tidak sederajat dengan mereka. Ibunya hanya gadis desa yang mencoba peruntungan dengan merantau di kota. Bahkan, setelah pernikahan itu membuatnya hadir ke dunia, tak lantas membuat sang bibi luluh untuk merestui. Kehidupan keluarga Ara yang pas-pasan, menjadi celah sang bibi untuk menjadikan ibu Ara sebagai alasan pembawa sial. Puncaknya pada saat kematian sang ayah beberapa tahun silam, sikap tak suka lebih sering bibinya tunjukkan secara terbuka, hingga Ara terbiasa menerimanya.

"Jangan pernah biarkan orang lain menghinamu." Perkataan Wira seketika menarik perhatian Ara, membuat gadis itu sekali lagi menengok pada sang bos.

"Kenapa Bapak peduli?" Ara semakin berani menatap lekat Wira. Belakangan bosnya ini seperti senang mencampuri kehidupannya.

Kenapa peduli? Pertanyaan Ara tanpa sadar membuat kedua tangan Wira mencengkeram erat kemudi. Haruskah ia ungkapkan alasannya sekarang? Tapi dirinya sendiri pun ragu dengan apa yang ia lakukan sekarang. Sekedar pedulikah atau dia sudah mulai jatuh hati pada gadis ini? Namun sepertinya rasa bersalah masih mendominasi pikirannya saat ini.


...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top