Bagian 22
Yuk tunjuk tangan dulu yang mampir baca. Makasih teman-teman yang sabar baca ceritaku meski up terlalu lama. Sayang kalian banyak-banyak.😉😉
...
"Kamu tidak membaca pesan saya?" Sebuah tanya menyapa indera pendengar Ara begitu gadis itu membuka pintu rumahnya.
Sejak kapan pria di depannya ini berada di sini? Seingat Ara, ia tidak melakukan janji apapun dengan pria ini apalagi di waktu sepagi ini, bahkan Ara saja baru selesai membereskan rumah dan hendak membuang sampah ke depan. Hari ini kuliahnya libur, jadi ia bisa membereskan rumah terlebih kamarnya yang hampir setiap hari hanya ia singgahi untuk tidur.
"Permisi Pak, bisa Bapak geser sedikit, saya mau buang sampah." Ara mengabaikan pertanyaan Wira dan malah menyuruh pria itu bergeser dari pintu dengan mengangkat plastik hitam yang telah ia tenteng dari dalam.
Wira menurut, membiarkan Ara berjalan melewatinya tanpa memutus pandangan yang terus mengamati apa yang tengah dilakukan gadis itu.
"Ibu saya tidak di rumah, kalau Bapak ada perlu sama saya, silahkan duduk di sana dulu, Pak. Saya cuci tangan sebentar." Ara menunjuk sepasang bangku tua yang terletak di sudut teras rumahnya, kemudian berlalu menuju dapur untuk mencuci tangan dan membuat secangkir teh untuk tamu tak diundangnya.
"Cepat ganti baju, kita berangkat sekarang." Sebuah suara, atau lebih tepatnya perintah membuat Ara yang baru saja meletakkan secangkir teh hangat reflek menegakkan badannya, dahinya mengernyit menandakan gadis itu bingung dengan maksud sang bos.
"Tidak perlu kaget, salah kamu sendiri tidak membaca pesan saya. Saya tunggu tidak lebih dari sepuluh menit." Wira tak menghiraukan reaksi Ara, justru pria itu dengan santai menyeruput teh hangat yang Ara berikan.
Merasa ada yang ia lewatkan, Ara segera mengeluarkan ponsel yang sejak tadi ada dalam saku celana trainingnya
Benar saja, ternyata pesan yang ia abaikan semalam merupakan pesan yang pria itu kirim untuk meminta menemani menjenguk Laras yang baru saja keguguran kemarin siang. Tapi tunggu, pria itu memintanya menemani tadi malam bukan pagi ini, itu artinya Ara masih punya celah untuk menolak.
"Bapak kirim pesan mau jenguknya tadi malam bukan hari ini. Jadi bapak tidak perlu menunggu saya. Bapak bisa berangkat sendiri." Ara mencoba menjaga ekspresinya sedatar mungkin agar Wira tak memaksanya ikut, meski faktor utamanya menolak adalah dirinya tak ingin lagi bersinggungan dengan Laras, namun cukup ia simpan saja dalam hati alasan ini.
"Tidak perlu menghindar dari Ares ataupun Laras kalau kamu saja masih bersinggungan dengan bagian masa lalu kalian. Waktu kamu tersisa tujuh menit." Wira masih dengan santai meletakkan cangkir teh ke atas meja kemudian melirik jam tangannya, sejurus kemudian menyandarkan punggung seraya mengeluarkan ponselnya tanpa sedikitpun menatap Ara. Tak perlu ia katakan jika dirinya semalam menunggu Ara ke ruangannya bahkan pikiran gilanya membuat ia menyusul gadis itu pulang, meski akhirnya yang didapat hanya pemandangan Ara yang pulang diantar Bima.
Ara kini menatap Wira dengan pandangan ngeri. Bagaimana bisa pria ini mengetahui isi kepalanya secara tepat? Bahkan mereka saja tidak berinteraksi selama beberapa hari, atau jangan-jangan Wira mengintainya selama ini?
"Mungkin lebih baik kita berangkat sekarang, sepertinya kamu tidak ada minat untuk bersiap." Wira memasukkan kembali ponselnya dalam saku bersiap bangkit ketika Ara hanya bergeming dengan pikirannya sendiri.
Tersadar dari pikirannya, tanpa mengatakan apapun Ara bergegas masuk, tidak peduli dengan waktu yang Wira berikan. Ara berharap Wira tak akan "menyiksanya" selama mereka di sana nanti.
***
"Terima kasih." Senyum manis terbingkai pada bibir Laras yang masih terlihat pucat saat menerima parcel buah yang Wira berikan. Sementara Ares hanya sekilas menatap mereka datar dari sofa tempatnya duduk tanpa perlu repot menyambut sang sahabat kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali.
"Kamu ... sendiri?" Laras nampak melirik ke arah pintu namun tak ada siapapun, sementara Ares diam-diam mencuri dengar obrolan mereka.
Tak lama terdengar pintu terbuka seiring langkah kaki memasuki ruangan hingga pintu tertutup kembali, menampilkan Ara dengan setelan casualnya perlahan mendekat serta berdiri tepat di samping wira.
"Ini ponsel kamu ... Mas." Ara mengulurkan ponsel Wira yang sengaja ditinggalkan pria itu dalam mobil.
Wira sengaja meninggalkan ponselnya dan menyuruh Ara mengambilnya setelah mereka membuat kesepakatan bagaimana harus bersikap selama mereka bersama nanti. Wira tau ini tidak benar, tapi tak ada cara lain agar rencananya berjalan dengan baik, menjauhkan Ara dari Ares yang diam-diam masih memperhatikan gadis itu. Apalagi melihat Bima yang tak lain merupakan adik dari sang sahabat terlihat bersama Ara memungkinkan peluang untuk Ara dan Ares bertemu sangat mungkin jika Bima berhubungan dengan Ara. Mengingat bagaimana Ara dan Bima berinteraksi malam itu, membuat hati Wira menjadi tidak nyaman. Apakah ia cemburu?
"Mas?" Ara menempelkan ponsel Wira pada lengan pria itu ketika tak ada respon apapun dari Wira.
"Kenapa lama?" Wira memasukkan ponselnya dalam saku celana kemudian menarik kursi di samping Laras untuk gadis itu duduki.
"Maaf ya, tadi ke toilet sebentar." Ara menatap Wira seraya tersenyum, kemudian beralih pada Laras,"Mbak, gimana keadaannya?"
"Sebenernya udah boleh pulang, tapi mama larang terus minta dokter nggak ngijinin pulang biar aku bisa istirahat katanya." Laras yang melihat bagaimana interaksi keduanya tersenyum seraya melihat reaksi Ares dari ekor matanya. Suaminya itu sejak tadi tak bersuara, namun Laras tahu jika Ares pun sejak tadi memperhatikan mereka, dan kini Ares sedang berusaha menahan diri, terlihat dari sebelah tangannya yang bebas berubah terkepal meski berusaha ia sembunyikan di bawah siku yang terlipat memegang tablet berisi pekerjaan.
"Lalu, kenapa bisa sampai di sini?" Wira melangkah mendekati Ares kemudian duduk tepat di samping Ares.
"Dia jatuh." Jawaban singkat Ares berikan. Ares tau jika pertanyaan itu bukan untuk Laras melainkan ditujukan padanya.
Ya, Laras memang terjatuh. Bukan tanpa sebab, melainkan karena menuruni tangga untuk mengejar Ares yang tiba-tiba pergi setelah mendengar kabar kehamilannya. Tentu Laras sangat bahagia dengan kehamilannya, namun Ares justru terlihat sebaliknya. Di tengah kacaunya rumah tangga mereka, kehamilan yang dia harapkan dapat membuat hubungan dengan Ares membaik, namun hal buruk justru terjadi di hari yang sama. Calon bayinya tak dapat diselamatkan ketika ia malah terjatuh dari tangga saat hendak meraih tangan Ares.
Laras menunduk, menarik napasnya pelan. Sedari tadi ia ingin berteriak, meneriaki orang-orang yang ia anggap sebagai penyebab dia kehilangan janinnya, termasuk gadis di sampingnya ini, namun keberadaan Wira membuatnya harus menahan semua keinginan itu. Tidak, dia harus membuat Ara pergi dan Ares harus kembali menatapnya lagi seperti dulu.
"Ngapain kamu ke sini? Mau mastiin Laras masih hidup apa nggak kan? Pergi kamu!" Sebuah teguran tak mengenakkan terdengar dari Arah pintu, tanpa melihat pun Ara tau jika pemilik suara itu adalah sang bibi.
"Anda tidak perlu berkata kasar. Bukankah anda orang tua? Seharusnya anda memberi contoh yang baik bagaimana menghargai tamu yang ingin menjenguk." Wira bangkit seraya berjalan mendekat pada Ara, kemudian sedikit menarik lembut tangan gadis itu agar bangkit dan segera meninggalkan wanita tua tak tahu malu ini.
"Ayo, Sayang. Ada hal penting yang harus kita urus juga." Ara hanya menurut, namun sebelum mereka mencapai pintu suara sang bibi kembali menusuk indera pendengarannya.
"Wah pintar juga kamu cari mangsa. Baru tengah malam tadi diantar adik Ares, eh sekarang lain lagi. Untung Laras enggak deket-deket lagi sama kamu, bisa rusak dia." Ibu Laras melengos setelah mengucapkan hal yang sangat menyakiti Ara, mendekat pada puterinya yang juga mematung, tak mengira sang ibu akan mengatakan hal itu. Sementara Ares kini berdiri terdiam, dia tidak seberani itu melawan ibu mertuanya untuk membela Ara.
Menggenggam tali tasnya lebih erat, Ara berusaha tak terpengaruh atas ucapan sang bibi yang kadang berbisa. Hal yang sama pun Wira rasakan, memilih menahan diri meski tangannya ingin sekali menampar wanita itu. Wira membawa Ara lebih mendekat padanya, melanjutkan langkah meninggalkan para manusia tak berperasaan di dalam sana. Sekarang belum waktunya ia menguliti ibu mertua Ares itu.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top