Bagian 19

Sudah sejak tadi Wira membaringkan diri di atas ranjang, berusaha memejamkan mata namun ingatan yang kembali mengusik membuat pria itu menghirup napas dalam untuk mengurai kecamuk dalam pikirannya. Mencoba menghalau segala rasa, hingga tanpa terasa dirinya terlelap dengan sendirinya.

***

Wira berdiri di tengah derasnya hujan, tepat di tengah jalanan yang nampak lengang hingga sebuah mobil dengan cepat melewatinya kemudian terguling tanpa terkendali sementara sebuah mobil berlawanan mengerem mendadak hingga menimbulkan bunyi gesekan ban dengan aspal basah.

Semua berlalu begitu cepat, hingga tak berapa lama kerumunan orang terbentuk dan Wira masih terpaku menatap dari tempatnya berdiri.

"Dia masih hidup!" Sebuah teriakan dari si penolong membuat suasana semakin mencekam di antara kerumunan yang mengelilingi kedua mobil. Tak berapa lama sirine ambulans meraung memecah kerumunan dan membawa para korban untuk mendapatkan pertolongan, namun Wira hanya mampu berdiri mematung di tempatnya meski ia ingin berlari mengejarnya.

***

Belum lama dirinya terlelap, nampak napas Wira tersengal-sengal, kesadaran kini sepenuhnya ia raih dengan bulir keringat yang telah memenuhi dahinya. Mimpi itu, kenapa datang lagi setelah belakangan hidupnya terasa sedikit tenang.

Masa lalu kelamnya, peristiwa terburuk dalam hidupnya hingga menyisakan jejak luka yang sampai sekarang belum juga hilang. Rasa bersalahnya semakin memburuk ketika sang papa justru ikut campur bahkan memperumit masalah alih-alih menyelesaikan, hal yang malah semakin menambah beban batin dalam hidupnya sampai sekarang.

Pria itu, korban dari keteledoran masa mudanya kala itu, masih ia ingat dengan jelas meski bertahun-tahun telah berlalu. Wajah yang ia lihat saat mereka tengah bersebelahan ditangani di ruang IGD sebelum kesadaran Wira terenggut hingga beberapa hari. Sebuah potret wajah yang juga tanpa sengaja ia jumpai ketika dirinya pertama kali menapakkan kaki di rumah Ara, membuat memori yang berusaha dikuburnya kian menghantui.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Wira mengacak rambutnya.

***

"Ra, gimana kuliah kamu?" Ibu Ara meletakkan semangkok lauk untuk sarapan mereka di atas meja makan.

"Sejauh ini Alhamdulillah lancar, Bu." Ara menjawab seraya meletakkan dua piring nasi ke sana.

"Kerjaan kamu gimana? Ibu khawatir kamu kecapekan kalau terus kayak gini. Pagi kuliah, sore mesti kerja tambah lagi kalau kamu ada tugas yang bikin kamu mesti begadang buat ngerjain kayak semalam. Tuh lihat, badan kamu jadi tambah kurus sekarang." Bu Ratna mengungkapkan rasa khawatirnya, hanya di saat seperti sekarang ini dia bisa leluasa bicara dengan sang puteri, pekerjaannya menuntut untuk tak selalu bisa menemani Ara ketika gadis itu berada di rumah.

"Ibu nggak usah khawatir gitu, Ara baik-baik aja kan selama ini. Lagipula Ara juga seneng ngejalaninnya. Doain Ara sehat Bu, sebentar lagi pasti Ara bisa lulus tepat waktu." Ara mendudukkan diri di kursi seraya melipat kedua tangannya ke atas meja, mengamati ibunya yang kini sedang menuang air putih ke dalam gelas mereka.

Senang ya? Ara sendiri mulai tak yakin dengan ucapannya. Urusan kuliah masih bisa dia atasi, sementara pekerjaan, Ara bahkan mulai ciut ketika teringat urusannya dengan sang bos, apalagi dirinya malah masuk dalam pusaran urusan orang lain, parahnya hal itu turut melibatkan Fira yang ternyata bukan orang biasa.

Tok ... tok ... tok....

Sebuah ketukan pintu mengalihkan obrolan mereka, siapa yang datang sepagi ini?

"Biar Ibu aja yang bukain pintunya, kamu lanjutin makan aja." Bu Ratna mencegah ketika Ara hendak beranjak dari tempatnya.

Beberapa saat Ara menunggu sang ibu yang tak kunjung kembali membuat Ara penasaran dengan siapa tamu yang berkunjung sepagi ini. Namun belum sampai di dekat pintu, samar ia mendengar ibunya sedang bicara namun dengan nada yang tak biasa, ibunya terdengar marah, tapi dengan siapa bahkan sang ibu tak mengijinkan tamunya masuk.

"Lebih baik kamu segera pergi, jangan pernah datang kalau cuma mau bikin ulah. Tidak ada yang mengharap kehadiran kamu lagi di sini." Itulah ucapan terakhir yang Ara dengar sebelum kemudian ibunya menutup pintu tanpa menunggu jawaban dari si tamu.

Ara hanya diam berdiri di dekat sekat pembatas antara ruang tamu dengan dapur ketika Bu Ratna yang sedikit emosi berusaha menenangkan dirinya. Dari tempatnya berdiri, Ara dapat melihat jelas jejak amarah pada raut wajah ibunya setelah menutup pintu. Sebenarnya siapa yang datang hingga membuat ibunya begini?

"Loh Ra, ngapain kamu berdiri di situ?" Bu Ratna bertanya ketika menyadari Ara berdiri mengamatinya.

"Siapa, Bu?"

"Lanjutin sarapannya, Ibu mau ke kamar mandi dulu." Bu Ratna memilih menghindar dari pertanyaan sang puteri. Bukan waktu yang tepat membahas hal itu sekarang. Puterinya baru baik-baik saja, ia tak akan merusak usaha Ara hanya dengan memberitahukan kehadiran orang yang bahkan berpotensi membuat puterinya kembali tersakiti.

Melihat sang ibu yang sepertinya enggan menjawab, membuat Ara menerka siapa sebenarnya orang itu, kenapa ibunya terlihat marah tadi? Bu Ratna tak pernah semarah itu, bahkan selama ini yang ia tahu ibunya terlalu penyabar. Seberapa dalam orang itu telah mengusik sang ibu hingga kesabaran yang selalu beliau kedepankan menjadi tak berbekas?

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top