Bagian 18

Hening menemani sepanjang perjalanan Wira mengantarkan Ara pulang, tak ada satu pun dari keduanya yang membuka suara. Wira fokus pada kemudinya, sementara Ara, gadis itu menatap ke luar jendela dan larut dalam pikirannya sendiri.

Begitu mobil berbelok memasuki area  tempat tinggal Ara, gadis itu sedikit tersentak saat ia hendak bergegas membuka sabuk keselamatan yang dikenakan, sebelah tangan Wira menahannya untuk tetap berada di tempat.

"Tunggu sebentar, saya mau bicara." Wira mematikan mesin mobilnya dengan sebelah tangan yang bebas, sementara Ara masih mengatupkan rapat bibirnya menunggu Wira kembali bersuara.

"Saya tau kamu pasti mengerti apa yang terjadi di rumah saya tadi, tapi apa pun itu, jangan sekalipun berusaha menghindar dari saya karena saya akan tetap menemukan kamu meski kamu mencoba bersembunyi," ucap Wira tanpa melepaskan cekalan tangannya dari Ara.

Satu detik ... dua detik ... Ara hanya mengedipkan mata melihat bergantian pada lengannya yang masih dicekal dan pria yang beberapa detik lalu bicara padanya, mencoba mencerna, hingga sesaat kemudian gadis itu mengangkat sebelah alisnya seraya berkata,"Bapak lagi ngancem saya setelah apa yang Bapak lakukan sama saya tadi?"

"Saya tidak sedang mengancam kamu, hanya memberi peringatan, setelah apa yang terjadi tadi, kamu tidak akan bisa lepas begitu saja." Wira melepaskan cekalannya dari lengan Ara, menampakkan sebuah senyum simpul yang lebih mirip sebuah seringai bagi Ara, namun anehnya mampu mengunci pandangan gadis itu.

"Silahkan turun, saya sudah selesai bicara. Besok datang ke kafe seperti biasa." Wira berkata seraya membenarkan posisi menghadap lurus ke jalan di depannya seraya bersiap pada kemudi tanpa perlu melihat respon gadis di sampingnya.

Apa katanya tadi? Pria ini sungguh membuat Ara mampu kehilangan kata-kata. Bibir yang semula hendak terbuka untuk membalikkan perkataan si bos, mendadak ia katupkan rapat. Bergegas melepas seat belt, Ara membuka pintu serta keluar dari mobil Wira menuju pintu rumahnya tanpa perlu repot berbalik hanya untuk mengucapkan terima kasih. Lupakan soal sopan santun, baginya sikap Wira sudah sangat menjengkelkan.

Wira melajukan kendaraannya tanpa mempermasalahkan sikap Ara, dia sadar betul jika gadis itu pasti sangat kesal menghadapinya hari ini.

***

"Kenapa manyun gitu?" tegur Bu Ratna setelah mengucap salam masuk rumah sepulang bekerja lembur, mendapati Ara yang duduk di ruang tamu menatap kosong lantai rumah sambil memainkan ujung bantal sofa dan terlihat kesal.

"Eh, Ibu, enggak kok. Lagi nungguin Ibu pulang aja." Ara meletakkan bantal sofa yang dipegangnya asal.

"Udah makan belum? Mau ibu bikinin makanan?" tanya Bu Ratna seraya  membuka pintu kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu untuk mengambil pakaian ganti.

"Udah makan kok, Bu." Ara yang mengekor di belakang sang ibu, membuat Bu Ratna menghentikan aktifitasnya.

"Kenapa?" Memilih bertanya kemudian mendudukkan diri di meja makan, Bu Ratna menatap Ara heran dengan tingkah sang puteri.

Mendengar pertanyaan sang ibu, sedikit membuat Ara salah tingkah. Dirinya ingin menanyakan suatu hal, tapi apakah harus ia tanyakan sekarang. Bagaimana reaksi ibunya nanti, Ara tak bisa membayangkannya.

"Ra, ditanya kok malah bengong?" Tepukan lembut di lengan Ara membuat gadis itu sedikit terkejut.

"Em, anu ... Ara lupa ada tugas. Ibu istirahat aja, Ara ke kamar dulu ya." Ara mempercepat langkahnya, menghilang di balik pintu kamar dan menguncinya cepat.

Dalam kamar, gadis berpiyama pink itu justru malah menenggelamkan wajah di balik bantal. Sejak tadi ia banyak pertanyaan dalam kepalanya, namun tak sedikitpun tanya yang mampu ia sampaikan saat melihat wajah sang ibu. Apalagi hal yang ia dengar di rumah Wira tadi membuat dirinya penasaran, namun juga memalukan baginya.

***

"Sedang apa kamu?"

Suara Wira yang entah kapan pria itu membuka pintu, membuat Ara yang masih mematung di tempat sedikit terkejut hingga membuatnya mundur selangkah dengan salah tingkah.

"Itu ... makan malam sudah siap," cicit Ara sedikit menundukkan wajahnya.

"Ayo kita pulang, urusan saya sudah selesai," ajak Wira dengan menggenggam tangan Ara membuat gadis itu mengekor tanpa sempat menolak.

"Mau kemana kalian?" Papa Wira yang muncul dari balik pintu menghentikan langkah mereka.

"Makan dulu, paling tidak hargai mama kamu. Dia sudah menyiapkan semuanya dan sangat antusias dengan kehadiran kamu di rumah. Jangan buat dia kecewa." Papa Wira berlalu tanpa menunggu reaksi Wira setelah mengucapkan hal itu.

"Benar apa yang dikatakan papanya Bapak. Mungkin lebih baik Bapak temui mamanya Bapak dulu." Ara mencoba memberi masukan seraya berharap genggaman di tangannya segera terlepas, meski ia sendiri juga  tidak nyaman dengan keadaan di rumah itu.

Tanpa melepas genggamannya, Wira memutuskan berbalik menuju ruang makan, sepertinya ada satu hal lagi yang harus ia urus.

"Nah, itu Wira." Bu Mirna nampak antusias saat melihat Wira yang berjalan mendekat ke arah meja makan. "Duduk saja di sini," imbuhnya seraya beranjak hendak berpindah tempat agar sang putera bisa duduk berdekatan dengan Fira.

Tanpa menghiraukan ucapan sang mama, Wira justru memilih tempat duduk di seberang keduanya dengan  memastikan Ara duduk terlebih dulu di sampingnya. Melihat hal itu membuat Fira berusaha menyembunyikan senyum masamnya, begitu pula bu Mirna yang nampak tak suka dengan apa yang dilakukan Wira.

Makan malam terasa berlangsung lambat bagi Ara, namun justru dinikmati Wira ketika pria itu berlakon memberikan sedikit perhatian layaknya kekasih pada Ara yang tentu saja tak luput dari pandangan tiga orang lainnya.

"Kamu enggak mau nganterin Fira pulang dulu Wir?" tanya Bu Mirna ketika melihat Wira hendak beranjak meninggalkan meja makan.

"Dia datang sendiri, pasti juga bisa pulang sendiri. Wira masih ada perlu," acuh Wira berlalu menggenggam tangan Ara, membawa gadis itu beranjak menjauh dari situasi yang sejak tadi nampak tak menyenangkan.

"Seberapa penting sampai kamu mengabaikan permintaan Mama?"

"Sangat penting ketika menyangkut kebahagiaan. Kami pulang." Langkah Wira tak lagi terhenti meski sang mama kembali memanggil namanya.

"Mas," lembut panggilan gadis lain yang entah kapan menyusul mereka membuat Wira menghentikan langkahnya namun tak sedikitpun berbalik, tepat di samping mobil.

Ara mendongak menatap Wira yang masih bergeming tak merespon panggilan Fira. Hal gila tak terduga justru pria itu lakukan dengan sedikit membungkukkan badannya seraya mensejajarkan wajahnya dengan Ara dan sejurus kemudian membuat semua mata yang menyaksikannya terbalalak. Singkat, namun mampu membuat mata Ara terbuka lebar dan jantungnya serasa berhenti sejenak mencerna apa yang dilakukan pria itu. Wira mendaratkan bibirnya di sana, tempat yang belum pernah sekalipun terjamah selama hidup Ara.

"Apa kamu tidak punya kegiatan lain selain mengusik saya?" tanya Wira, menegakkan kembali badannya.

Fira tau pertanyaan itu ditujukan untuknya meski pria itu tak sekalipun berbalik, justru terlihat menggenggam erat tangan Ara dan membimbing gadis itu masuk mobil, meninggalkannya yang masih mematung.

Bagi Wira, hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kekejaman. Sudah cukup ia terkungkung, saatnya ia berjalan meski ia tau betul jalannya setelah ini tak akan mudah jika gadis di sampingnya mengetahui masa lalu yang selama ini tertutup rapat.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top