Bagian 17
"Akhirnya kamu datang, Wira. Mama kangen." Sebuah pelukan menyambut saat Wira menginjakkan kaki dalam ruang keluarga rumah besar ini.
Wira diam, tak sedikitpun membalas pelukan dari wanita yang menyebut dirinya mama. Jika bukan karena ia yang terpaksa berjanji untuk pulang karena gerah setelah berkali-kali orang suruhan sang mama datang ke kantornya, Wira tak ingin lagi berada di tempat ini. Tempat yang menyimpan kenangan buruk untuknya.
Ara hanya mematung di belakang Wira, alih-alih haru dirinya justru merasakan sebuah ketegangan hubungan antara orang-orang di depannya. Ara tak pernah tahu bagaimana keluarga Wira, pria itu pun juga tak pernah menyinggung soal itu.
Sorot bu Mirna yang tengah memeluk Wira beralih ketika menyadari keberadaan orang asing bersama sang putra, menilai penampilan gadis itu dari atas ke bawah hingga beberapa saat kemudian sebuah senyum tercetak di bibirnya seraya melepaskan dekapannya dari tubuh Wira.
"Jadi, siapa gadis itu?" Bu Mirna bertanya tanpa melepaskan pandangannya dari Ara.
Jantung Ara tiba-tiba berdetak hebat saat sorot mata mereka saling beradu, jarinya mulai saling bertaut karena merasa tak nyaman dengan pandangan ibu dari si bos, wajahnya perlahan mulai tertunduk. Namun sebuah lingkup hangat perlahan menggenggam lembut telapak tangan kanan mengurai tautan tangannya. Ara mendongakkan wajahnya menatap Wira yang masih memandang lurus pada sang mama.
"Dia, kekasihku." Mantap Wira menjawab, membuat senyum yang semula terukir di bibir bu Mirna berganti menjadi datar.
"Wah, ada tamu rupanya." Sebuah suara dari arah pintu mengalihkan perhatian mereka. Seorang pria baya berjalan tenang, meletakkan tas jinjingnya pada salah satu sofa di dekatnya secara asal kemudian mendekat pada tiga orang yang berdiri tak jauh dari sana.
"Pa, Wira akhirnya pulang." Bu Mirna merangkul lengan suaminya.
"Jadi, dia sudah setuju untuk dijodohkan?" Pak Danu menatap sang istri kemudian beralih menatap sang putra.
"Lebih baik kita duduk dulu, Pa. Wira juga baru dateng." Bu Mirna sedikit menarik lengan sang suami untuk mendudukkannya pada sofa, memberikan kode pada Wira melalui ekor matanya untuk ikut mendudukkan diri tak jauh dari sang ayah.
"Kalian tunggu sebentar. Mama mau siapin makan malam dulu. Oh ya, kamu bisa ikut bantu saya?" Berusaha tersenyum ramah, Bu Mirna meminta Ara untuk membantunya agar kedua pria beda generasi itu dapat leluasa berbicara.
Permintaan bu Mirna yang tiba-tiba membuat Ara menggeragap, gadis itu menatap Wira meminta pendapat hingga sebuah anggukan kecil membuat Ara beranjak mengikuti langkah mama Wira menjauh dari ruang keluarga.
***
"Sejak kapan kalian menjalin hubungan?" Tangan bu Mirna tetap cekatan menata hidangan di atas meja, meski pertanyaan yang ia ajukan terdengar cukup serius.
Tubuh Ara menegang, napasnya tercekat sesaat mendengar pertanyaan tak terduga setelah beberapa saat keheningan melingkupi mereka.
"Sudah lama mengenal putera saya?" Belum sempat Ara menjawab, sebuah tanya kembali terlontar dari bibir wanita yang masih tetap terlihat ayu meski mungkin usianya lebih tua dari ibu Ara itu.
"Kami...," Ucapan Ara menggantung kala suara heels terdengar mendekat ke arah mereka.
"Ah, kamu udah dateng, Sayang." Bu Mirna nampak sumringah menghampiri wanita yang mampu membuat Ara terkejut akan kehadirannya.
"Iya, Tante." Wanita itu nampak tersenyum manis seraya menempelkan pipinya dengan pipi mama Wira secara bergantian.
"Ada titipan dari mama buat Tante," ucapnya seraya menyodorkan sebuah kotak kue berlogo bakeri ternama di kota mereka.
"Mama kamu kenapa repot, Yuk, Tante buatin minum buat kamu." Bu Mirna menggamit lengan wanita itu mendekat ke arah meja makan, mempersilahkan duduk kemudian berlalu menunju dapur untuk membuatkan minum tamu spesialnya.
Sementara di meja makan sebuah keheningan sesaat melingkupi dua gadis yang nampak saling mengenal.
"Hai, Ra. Kamu di sini juga." Wanita itu menyandarkan punggungnya seraya bersidekap tersenyum menatap Ara yang masih berdiri terpaku tak menyangka akan pertemuan mereka.
"Hai, Fi ... ra."
Ara nampak berusaha tenang, pasalnya Fira yang sekarang berada di hadapannya nampak sangat berbeda dengan Fira yang selama ini menjadi teman kerjanya di kafe. Fira nampak anggun dan berkelas meski dengan balutan busana kasual serta riasan yang jauh berbeda dari yang selama ini wanita itu tampilkan.
"Udah lama? Enggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Tante Mirna enggak ngasih tau kalau ada orang lain buat ikut makan malam juga." Fira pura-pura kecewa, meski sebenarnya ia sudah tau kalau hal ini akan terjadi.
Baru Ara akan membuka mulutnya, bu Mirna datang dari dapur membawa secangkir teh mendekat pada Fira.
"Kalian sudah kenal?" Meletakkan secangkir teh, Bu Mirna menarik kursi di sebelah Fira lalu menatap keduanya bergantian meski fokusnya berujung hanya pada Fira.
"Iya Tante, kebetulan Ara juga kerja di kafe Mas Wira." Fira melirik Ara melalui ekor matanya, menunggu reaksi gadis itu.
"Oh, jadi Ara ini cuma pegawai kafe Wira?" Bu Mirna terlihat sedikit terkejut, pasalnya sejak datang tadi ia sama sekali belum mengetahui siapa sebenarnya gadis yang dibawa sang putera.
"Iya, Tante. Sama kayak Fira yang kerja di sana juga." Fira sedikit tertawa mengatakannya.
"Beda donk Sayang, kalo kamu kan memang Tante minta bantu di sana biar bisa deketin Wira sebelum kalian tunangan nanti." Bu Mirna menggenggam tangan Fira seraya tersenyum lembut.
"Tante bisa aja." Fira membalas genggaman tangan bu Mirna dengan sebelah tangannya yang bebas seraya tersipu, seakan lupa dengan keberadaan Ara yang kini semakin merasa canggung dengan suasana.
"Oh ya, Om sama Mas Wira dimana Tante? Fira pas masuk tadi enggak ketemu siapa-siapa di depan, makanya langsung ke sini pas denger suara Tante." Pandangan Fira seakan mencari keberadaan dua pria yang seharusnya duduk bersama mereka sekarang.
"Ah, mungkin lagi di ruang kerja papanya Wira. Bisa minta tolong bilang sama mereka kalo makan malamnya sudah siap? Ruangannya ada di sebelah kanan tempat kalian duduk tadi. Saya masih pengen ngobrol sebentar sama Fira." Bu Mirna menatap Ara meminta tolong, kemudian beralih kembali pada Fira.
"Baik, Bu." Hanya jawaban singkat yang Ara berikan sebelum kedua wanita di depannya larut dalam obrolan mereka.
***
Berjalan ragu, Ara mengamati sekelilingnya. Rumah ini terlihat besar, dengan beberapa ruangan dengan pintu tertutup di sekitarnya hingga pandangannya tertuju pada sebuah ruangan yang disebutkan oleh mama Wira. Langkah Ara semakin lambat, sedikit ragu untuk mendekat seraya merapal doa semoga kehadirannya tak mengganggu orang-orang yang berada di dalam sana.
Berdiri beberapa saat tepat di depan pintu, memberanikan diri hendak mengetuk namun tangan Ara tampak menggantung kala sebuah percakapan samar terdengar di telinganya.
Jangan bodoh kamu! Suara bernada sedikit tinggi yang Ara tahu pasti berasal dari papa Wira.
Aku harus melakukannya Pa. Maaf, tapi kesalahan Wira di masa lalu enggak akan kehapus meski papa selama ini sudah berusaha menghilangkan jejaknya. Ara sudah hadir di hidup Wira.
Ara mematung di tempatnya mendengar percakapan yang sama sekali tak ia mengerti arahnya.
Dia? Kesalahan? Sebenarnya apa yang terjadi?
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top