Bab 27

Ara terhenyak, menundukkan kepala dalam, napasnya mulai terasa tidak  beraturan sementara tangannya terkepal kuat meremas rok span seragam yang ia kenakan seakan mencari pegangan agar dirinya tidak begitu saja tumbang. Sementara Wira setelah menjelaskan semuanya, sesaat masih menatap gadis yang duduk di sebelahnya kemudian mengalihkan pandangan menyandarkan kepala menerawang jauh ke depan. Bukan dia tak ingin hanya sekedar menenangkan, namun fakta yang baru saja ia ungkap membuatnya harus menahan diri meski dirinya ingin merengkuh gadis yang tanpa sadar mampu menarik perhatiannya hingga sejauh ini.

Wira akui dirinya selama ini sangat  merasa bersalah, terlebih mengingat apa yang dulu sang ayah lakukan dengan dalih demi kebaikan semua membuat rasa bersalah kian membuncah dalam dada tanpa bisa ia halau barang sedetik pun. Perasaan itu kian menghantui sejak dirinya tanpa sengaja menyadari siapa Ara sebenarnya. Kebetulan yang menyiksa namun juga mampu sedikit memberikan sedikit ruang di antara  himpitan sesak dalam dadanya.

Semilir angin yang menerpa melalui kaca mobil yang terbuka seakan tak mampu menembus suasana tegang  yang melingkup antara keduanya. Mereka tidak berada di cafe, Wira membawa Ara keluar ruangan meski awalnya gadis itu berusaha keras untuk menolak. Wira ingin lebih leluasa membahas urusan pribadi yang belum usai antara mereka, tanpa perlu khawatir ada telinga yang mendengar serta kabar yang pasti cepat terhembus setelahnya. Cukup selama ini ia menahan diri  mendengar rumor negatif mengenai hubungannya dengan Ara yang hampir membuatnya menggila.

"Kenapa Bapak baru bahas semua ini sekarang?" tanya Ara ketika mulai mampu mengendalikan diri serta kembali menatap lawan bicaranya.

Mendapati suara yang tenang, tanpa  ada suara bergetar maupun tertahan yang keluar dari mulut Ara membuat Wira sempat tertegun sejenak atas reaksi gadis itu. Dia kira gadis disampingnya ini akan menangis hingga menampakkan sisi rapuh seperti yang awal-awal mereka bertemu, namun kali ini Wira dibuat melihat sisi lain dari Ara.

"Awalnya saya memang mencari keluarganya setelah kembali. Saya ingin meminta maaf secara langsung dan mengakui semua untuk melepaskan beban yang saya tanggung selama ini. Tapi, saya benar-benar kehilangan jejak sewaktu  diam-diam mengunjungi alamat yang saya dapat, ternyata kalian sudah lama pindah dari rumah itu. Tidak ada informasi apa pun lagi yang bisa saya dapatkan meski sudah berusaha sejauh yang saya mampu saat itu. Alamat Bibi kamu pun juga ikut berpindah entah kemana.

Bertemu dengan kamu di sini bukan suatu bagian yang saya rencanakan. Bagi saya, mungkin kali ini Tuhan sedikit berbaik hati membiarkan saya bertemu kalian untuk menebus salah saya. Saya semakin yakin mengatakan semua ketika saya melihat sendiri bagaimana kamu dan ibu kamu diperlakukan selama ini."

Wira tidak berbohong, pria itu memang berusaha mencari info selama itu tapi  berakhir gagal karena keluarga Ara berpindah tanpa memberi tahu kemana tujuan mereka, lantas  mencengkeram kemudi mengingat kembali bagaimana hanya hinaan yang ibu Laras lontarkan pada Ara selama ini.

"Luka masa lalu saya sudah sembuh, tapi bekasnya nggak akan bisa hilang begitu saja. Kalau Bapak mau meminta maaf, saya rasa itu sudah terlambat dan percuma. Saya permisi." Dengan cepat Ara keluar dari mobil Wira tanpa peduli bagaimana reaksi pria itu.

Wira bergeming, hanya mampu menatap punggung Ara menjauh lalu menghilang diantara hiruk pikuk kerumunan orang. Dia tidak ingin memaksa Ara untuk memaafkannya, dirinya hanya ingin menyampaikan kebenaran meski entah bagaimana nanti pada akhirnya.

***

"Enak ya pacaran sama bos, bisa seenaknya pergi trus pulang gitu aja," celetuk salah satu teman kerjanya yang tengah bersiap pulang saat Ara kembali ke kafe untuk mengemasi barangnya.

"Kamu mau pulang apa dipecat, Ra? Jangan-jangan si bos udah bosen trus dibuang. Kasian," cibir pegawai wanita lain ketika melihat Ara mengemasi seluruh perlengkapannya yang ada dalam loker. 

Ara tak menghiraukan ucapan mereka, tangannya tetap bergerak memastikan tidak ada yang tertinggal. Terserah bagaimana kabar akan berhembus nantinya. Dirinya sudah terbiasa dengan hinaan.

Ara tidak ingin terjebak bekerja  dengan orang yang hanya merasa bersalah padanya. Dia pun tidak ingin dikasihani. Masa lalu terburuknya sudah lama usai, dia tidak ingin membuat dirinya kembali terpuruk seperti bertahun silam hanya karena berurusan dengan Wira.

***

"Ra, tadi pas kamu berangkat kerja, ada yang ke sini." Bu Ratna masuk kamar Ara kemudian  mengulurkan segelas teh hangat setelah sang puteri selesai membersihkan diri serta berganti pakaian.

"Wira datang ketemu ibu tadi." Melihat Ara yang masih bergeming tanpa kata, Bu Ratna melanjutkan tanpa menunggu Ara bertanya.

Ara meletakkan gelas setelah sedikit meminum isinya. Tak mengeluarkan sepatah kata pun hingga suara sang ibu kembali terdengar indera pendengarnya.

"Ibu sebenarnya bingung mau gimana setelah dia cerita semua. Ibu enggak bisa marah atau gimana, toh enggak bisa juga ngerubah yang udah terjadi kan, Ra?" Nada bicara bu Ratna terdengar sangat tenang.

Seketika perkataan sang ibu membuat  perhatian Ara sepenuhnya terpusat pada paras wanita yang telah melahirkannya itu. Pandangan Ara meniti setiap gurat wajah yang semakin bertambah seiring waktu dan ujian hidup yang dialami selama ini. Entah apa yang ada dalam benak ibunya sekarang, tapi Ara tak sedikitpun menemukan amarah ataupun kesedihan dalam perkataan serta raut wajah sang ibu. Terbuat dari apa hati ibunya hingga mampu melalui kehidupan sejauh ini?

"Bukannya ibu lalu menganggap tidak terjadi apa-apa, Ra. Ibu selama ini hanya berusaha ikhlas karena mungkin memang semua sudah jalan-Nya. Wira hanya sebagai salah satu yang menjadi perantara  sebabnya. Ibu enggak menampik kalo sebenarnya kecewa sebab Wira nggak langsung mengakui semuanya dari dulu tapi malah melimpahkan kesalahan pada orang yang sebenarnya nggak bersalah, malah  pergi begitu saja. Ibu dulu jadi ikut mengira kalau sopirnya yang salah. Ibu sekarang malah jadi merasa bersalah karena itu." Raut wajah Bu Ratna berubah muram ketika mengingat dulu ia sempat menyalahkan kecerobohan si sopir karena terlalu kaget dengan kenyataan yang dia dapati kala itu.

"Lebih baik kita tidak berurusan lagi dengan dia, Bu." Kalimat singkat namun diucapkan dengan penuh tekad oleh Ara.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top