5. Kabur

"Kamu?"

Gadis biola itu menatap Aldo dalam.

***

Aldo menarik kakinya, tapi gadis itu masih menahan kakinya. Aldo yang menyerah pun memilih untuk berjongkok, wajahnya menghadap pada gadis itu.

"Ka-kamu... Cewek yang waktu itu, kan?"

Gadis itu mengangguk. "Bawa aku pergi dari sini, aku mohon," lirihnya.

"Em.. tapi, aku lagi di kejar orang. Bahaya buat kamu kalau ikut aku."

Sebentar! Aku, kamu? Cih, geli gue ngucapnya. - batin Aldo terkekeh geli.

Gadis itu menggeleng cepat. "Itu jauh lebih baik, dari pada aku mati di sini."

Aldo hanya bisa terdiam, otaknya berpikir keras. Aldo tipe orang yang tidak mudah mengambil sebuah keputusan. Dia akan berpikir panjang, sepanjang, panjangnya. Agar dia tidak terlalu banyak menanggung resiko. Sudah tau, kan, bagaimana Aldo hidup, dia hanya hidup sendiri di Indonesia. Dan di tidak mau cari masalah dengan siapa pun.

Baru kemarin dia mengambil keputusan yang fatal, dan hari ini resikonya. Aldo harus di kejar-kejar geng Black Date. Ah.. menyebalkan.

"Aku, tidak akan merepotkanmu, aku janji. Aku hanya minta kamu membantuku keluar dari sini, setelah itu, kamu boleh pergi."

Kalau sudah begini, Aldo semakin sulit berpikir jernih. Dia menatap gadis biola itu. Tatapannya sendu, Aldo pun merasa tak tega melihatnya.

"Em.. oke, tapi aku gak mau terima resikonya."

"Iya, aku janji, aku akan menanggung semua resikonya."

Aldo mengangguk yakin untuk dirinya. Dia berdiri dan membantu gadis itu untuk bangun.
Tapi gadis itu kesulitan untuk berdiri, sehingga Aldo harus memapahnya.

"Kamu bisa jalan?" Gadis itu mengangguk, "tapi kaki kamu luka. Aku gendong aja, mau?"

Vio - gadis itu menggeleng. "Tidak, bantu aku keluar dari sini saja."

"Oke." Aldo memapah Vio perlahan. Sesekali, Vio nyaris terjatuh, Aldo semakin tak tega di buatnya.

"Tadi, kamu masuk lewat mana?"

"Tenang, aku tau jalannya."

Aldo membawa Vio menuju pintu di yang tadi ia lalui, tampak wajah Vio yang bahagia.

"Akhirnya," gumam Vio.

Aldo menghentikan langkahnya, kala dia melihat pagar besi yang tadi dia panjat.

"Hei, aku tadi panjat pintu ini, kamu bisa manjat gak?" tanya Aldo kurang yakin.

Vio menatap ragu pagar besi yang ada di hadapannya, lalu menoleh pada kakinya yang memar. Aldo mengikuti arah pandang Vio.

"Aku bisa, kok," kata Vio.

"Enggak, kamu gak bisa. Gini aja, aku panjat pagar itu duluan, nanti aku bakal cari cara biar kamu bisa keluar dari sini."

Vio mengangguk pasrah. Aldo segera memanjat pagar besi itu dengan susah payah, bahkan bajunya sampai tersangkut pada kawat berkarat, dan itu menimbulkan bajunya yang koyak.

Tapi Aldo tetap mengabaikan, dia lalu melompat ke bawah, matanya mengitari sekitar, mencari-cari benda yang dapat membantu Vio keluar dari sana.

Sampai akhirnya, matanya melihat sebuah peti telur yang tergeletak penuh pesona. Itu menurut Aldo yang memang mencari-cari benda yang pas. Aldo segera mengambil peti itu, mengangkatnya penuh perjuangan.

Tapi ketika dia membalik tubuhnya. Aldo di kejutkan dengan gadis biola itu yang sudah berdiri tepat di hadapannya.

"Hah? Gi-gimana kamu bisa keluar?" Aldo terbata-bata. Pikirannya sudah melayang jauh mengingat film horor yang beberapa Minggu lalu dia tonton bersama Tomi dan Genta.
Di mana hantunya bisa menembus pintu.

"Gerbangnya tidak di kunci," kata Vio sembari menunjuk gerbang pintu yang memang sedari tadi tidak di gembok.

Silakan salahkan Aldo yang main panjat tanpa melihat kunci gerbangnya. Memang jiwa malingnya berperan kala itu. Ckckck Aldo ..

"Oh, maaf." Gadis itu tersenyum melihat Aldo yang merona merah.

"Kalau gitu-" Belum sempat Vio melanjutkan ucapannya, suara Peter menggema memanggil namanya.

"Violin!!"

Tentu saja tubuh Vio langsung menegang saat itu juga, kejadian tentang ayahnya yang menyiksanya saat Vio ingin kabur langsung terputar di ingatannya bagaikan kaset rusak.

Tidak hanya Vio, Aldo pun begitu. Aldo bisa melihat wajah Vio yang pucat. Itu karena dia merasa takut. Aldo segera menyadarkan Vio.

"Ayo, kita lari," bisik Aldo menyadarkan Vio.

Seakan tersadar dari lamunannya. Vio mengangguk. Aldo segera membantu Vio berjalan. Tapi karena terburu-buru, tanpa sengaja Aldo menjatuhkan peti telur tadi, sehingga membuat Peter keluar.

"Vio!" pekiknya.

Aldo dan Vio sempat menoleh, tapi segera mereka berlari, walau pun Vio harus tertatih.

Peter hendak mengejarnya. Tapi dengan cepat Aldo menjatuhkan tumpukan kardus bekas yang semulanya tersusun rapi.

"Maaf, aku harus melakukan ini," kata Aldo, Vio mengerutkan dahinya bingung, namun sesaat kemudian, dia terkesiap karena Aldo menggendongnya.

Aldo berlari cepat, karena pria tua itu tidak mungkin kalah hanya dengan sebuah tumpukan kardus.

Aldo keluar dari gang, dia berlari menuju tempat di mana motornya di tinggal.

Namun, naas motornya tidak ada di sana. Aldo bergeming di tempatnya, dia tau ini kerjaan siapa.

Geng Black Date.

"Sial!" umpat Aldo. Aldo menurunkan Vio dari gendongannya.

"Itu-"

"Kita pulang pake taksi aja ya." Beruntungnya taksi melewati jalan itu, dengan cepat Aldo menghentikannya, dan menitah Vio untuk masuk lebih dahulu.

Selepasnya Vio dan Aldo pergi, Peter keluar dari gang dengan berlari terbirit-birit.

"Violin!! Anak sialan!" Peter sangat marah.

***

Vio menatap ruangan rumah Aldo, sangat luas dan bersih. Vio merasa nyaman di sini.

Aldo keluar dari kamarnya dengan membawa kaos dan celana training.

"Nih, ganti bajunya."

Vio menatap ragu pakaian itu. "Punya ibuku," kata Aldo.

Vio mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya, dan masuk ke dalam kamar mandi.

Aldo menatap kepergian gadis biola itu, lalu menghela nafas panjang.

Beberapa menit kemudian, Vio keluar dengan pakaian yang sudah terganti, sedikit kebesaran di tubuh Vio yang kurus.

Vio kembali duduk. Dan suasana berubah canggung. Aldo hanya bisa mengedarkan pandangannya, sedangkan Vio hanya menunduk dengan mainkan kuku-kukunya.

"Em... Aku Aldo, nama kamu siapa?" tanya Aldo akhirnya.

Vio mengangkat kepalanya. "Vio. Violin," jawab Vio, lalu menunduk kembali.

Kembali hening. Dan Aldo sungguh tidak suka dengan keadaan seperti ini. Jadi sebisa mungkin dia harus banyak membuka pertanyaan.

"Yang tadi itu-"

"Ayahku," sela Vio cepat sembari menatap Aldo lekat.

Aldo menganggukkan kepalanya seakan mengerti. "Ayah...."

"Ayah kandungku," jawab Vio lagi.

Sepertinya Vio bisa membaca pikiran orang lain, nyatanya Vio tau apa yang ada di dalam pikiran Aldo.

"Kamu kabur dari ayah kandungmu?"

Silakan salahkan Aldo yang memiliki rasa penasaran tingkat langit ini. Vio yang di ajukan pertanyaan terdiam sesaat.

"Em..."

"Ah, enggak usah di jawab, lagi juga ini terlalu privasi kayaknya." Aldo menyengir lebar, lalu menggaruk kepalanya.

"Ayah... Sering menyiksaku." Aldo mengalihkan matanya pada Vio sepenuhnya.

"Aku tidak tau kenapa ayah begitu membenciku."

"Oke, apa ada kesalahan yang pernah kamu buat sebelumnya?" Vio menggeleng lemah.

Aldo sungguh merasa tak tega melihatnya. "Em.. jadi ke mana kamu akan pergi?"

Vio kembali menatap Aldo. "Ah, em.. aku bukan mau mengusirmu, tapi..."

"Bukan masalah, aku akan pergi ke rumah tanteku," kata Vio.

"Oh, oke. Mau di anter?"

"Tidak perlu, aku akan pergi sendiri. Terima kasih karena sudah membantuku, Aldo. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu."

"Sama-sama, Vio." Aldo menyunggingkan senyumnya.
Dan hari itu juga, Vio pergi dari rumah Aldo.

***

*BERSAMBUNG*

Segini dulu aja. Nanti lanjut kalau udah banyak peminatnya 😅😅




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top