4. Kemarahan
Setelah mencoba untuk kabur, Vio di kurung oleh ayahnya, Peter.
Ruangan yang lembab dan kurang pencahayaan membuatnya kesulitan mencari celah untuk kabur. Bau anyir yang menyebar di ruangan itu sangat mengusik penciuman Vio. Sungguh gadis itu sangat takut.
Belum lagi kemarahan Peter. Tidak hanya sekali atau dua kali Peter menjatuhkan tangan pada tubuh kurus putrinya itu. Peter selalu menjadikan Vio sebagai pelampiasan emosinya, kala pria itu sedang dilanda amarah.
Vio yang merasa lemas karena lapar dan haus, mulai memejamkan matanya, berharap rasa lapar dan hausnya akan hilang.
Tapi sebelum kantuk menjemputnya, pintu besi itu terbuka lebar. Vio membuka matanya, tapi ketakutan langsung saja melandanya.
Peter datang dengan membawa makanan yang di tempati pada piring stainless. Senyumnya merekah seakan tidak pernah memiliki dosa apa pun.
"Nak, Ayah lupa, dua hari ini kamu belum makan." Sembari menyodorkan makanan pada Vio, Peter tersenyum lebar.
Vio menelan ludahnya sangat sulit, pasalnya makanan yang di bawakan Peter hanyalah makanan sisa. Ya, Peter memberikan makan untuk Vio bekas sisa makannya.
"Ayah enggak selera untuk makan. Jadi kamu bisa makan ini."
Mata Vio mulai memanas, dia ingin sekali menangis sekeras mungkin. Tapi Peter pasti akan memukulnya.
"A-ayah, kapan aku akan keluar dari sini?"
Senyum Peter yang semulanya menyungging lebar, kini menyurut. Ekspresinya terlihat datar dan dingin.
Oh, tidak! Vio salah bicara.
"Kamu ingin keluar dari sini?" Vio hanya menunduk takut.
"Jangan mimpi! Karena kamu, Ayah hampir saja ketahuan dengan polisi."
Peter berdiri dengan menatap Vio penuh marah. "Kau tau? Aku ingin sekali membunuhmu, karena kamulah penyebab kehancuran rumah tanggaku dengan Mia!!"
Vio memeluk dirinya erat, dia sangat takut. Sebenarnya, Vio tidak tau kenapa ayahnya selalu saja menyalahkannya tentang kehancuran hubungannya dengan ibunya.
Lagi pula dia juga tidak tau di mana ibunya berada. Ibunya pergi saat Vio masih kecil.
"Sekarang, tunggu saja sampai ajal menjemputmu." Peter berlalu pergi meninggalkan Vio yang terisak.
***
Aldo menatap kosong ke depan. Saat ini dia sedang berada di kantin. Aldo tidak sendiri, ada Tomi dan Genta di sampingnya.
"Al, woy! Ngelamun mulu Lo, udah kayak lagi hamilin anak orang aja," kata Tomi lalu menyesap jus jeruknya.
Aldo menoleh tidak minat, lalu melanjutkan lamunannya.
"Gila, gue di cuekin."
"Sabar, bukan cuma Lo aja. Gue juga sama." Genta mengambil kerupuk di piring Aldo. Tapi dengan cepat Aldo merebutnya.
"Lo juga punya," ketusnya.
"Nah, giliran makanan langsung sadar, kan, Lo," sindir Genta.
"Iyalah, gue gak mau rugi." Aldo langsung melahap makanannya.
"Gue perhatiin, lo ngelamun mulu sih, Al. Cerita kenapa sih sama kita-kita." Tomi sok bijak membuka suara.
"Ceritanya panjang, udah kayak jarak bumi ke planet pluto, Lo pada emang mau dengar?"
"Ya udah, gak usah cerita aja, Al. Males gue dengernya, nanti yang ada gue berasa di dongengin lagi."
"Emang Lo pada mah gak setia kawan." Tomi dan Genta tergelak.
Aldo melanjutkan makannya, tapi pikirannya melayang mengingat gadis yang dia temui malam itu.
Gadis yang meminta bantuannya, yang menginginkan Aldo membawanya pergi. Sungguh Aldo menyesal. Andai saja dia langsung membawa pergi gadis itu. Walau pun motornya mogok, tapi seharusnya Aldo membawanya lari dari sana.
Sekarang sudah dua hari, Aldo tidak melihatnya lagi. Maupun itu di taman atau rumahnya.
Tak Aldo ungkiri, dia mencari-cari keberadaan gadis itu. Ingin rasanya dia meminta maaf karena telah mengiranya hantu.
Kini Aldo kehilangan jejaknya. Sangat, sangat kehilangan jejak.
***
Sepulang kuliah, Aldo mampir ke taman kota, dia berharap dapat bertemu dengan gadis biola itu. Tapi hasilnya nihil.
Aldo pun menghentikan motornya di depan rumah gadis biola itu. Tapi seperti biasa, rumah itu tampak sepi bak tak berpenghuni.
Ah, sungguh. Aldo ingin sekali masuk ke dalam dan mencari gadis itu. Tapi apalah daya, gerbang tua itu terkunci rapat dengan rantai dan gembok.
Aldo pun memilih untuk kembali ke rumahnya, dia akan mencari jalan keluar.
Tapi sebelum itu, beberapa motor telah mengepungnya. Ah.. ini hari yang buruk untuk Aldo.
Itu geng Black Date. Karena ada Daniel di salah satunya.
Aldo menghela nafas gusar.
Shit! Gue belum siap.
Daniel menyeringai ke arah Aldo. Aldo mencoba menutupi kepanikannya. Dia tersenyum sembari menaikkan satu alisnya.
"Udah sembuh Lo?" tanya Aldo basa basi.
"Kenapa? Lo gak nyangka gue bisa sembuh secepat ini? Cih, luka kayak gitu gak seberapa bagi gue."
Aldo tersenyum kecil, sembari mengalihkan tatapannya ke objek lain, dia berkata, "gak seberapa sih, pingsan di tempat," gumamnya.
"Apa Lo bilang?!"
"Udahlah, gue gak mau cari ribut, gue mau pulang." Aldo hendak pergi. Namun, Daniel dan teman-temannya langsung mencegahnya.
"Kenapa Lo? Mau kabur? Takut? Cih, urusan kita belum kelar."
Aldo menghela nafas panjang, dengan tampang tenang dia bersedekap dada.
"Lo mau ribut? Lo mau berantem sama gue? Jangan dah.. Lo masih sakit, nanti pinggang Lo encok lagi. Entar aja berantemnya kalau Lo udah sembuh total. Oke."
"Sialan!"
Tanpa aba-aba, Daniel langsung menghajar Aldo sampai dia tersungkur dari motornya. Aldo belum siap sangat belum siap. Teman-teman Daniel juga mencoba untuk mengeroyok Aldo.
Aldo mencoba melindungi dirinya, sesekali dia membalas pukulan anak buah Daniel. Tapi sesekali juga dia menjauh dari sana.
Aldo yang bisa menghindar pun langsung memilih untuk pergi dari sana tanpa mempedulikan nasib motornya.
Aldo berlari memasuki gang-gang yang tak jauh dari sana. Sesekali dia menoleh ke belakang, anak buah Daniel masih mengikutinya.
Aldo terus berlari, sampai akhirnya dia menemukan jalan buntu.
"Sial!"
Aldo menatap sekitar, mencari jalan yang dapat dia temui, beruntungnya Aldo, tak jauh dari sana ada gerbang kecil berkarat. Tanpa berpikir panjang, Aldo memanjat gerbang tersebut dan masuk ke rumah tua itu.
Dari celah jendela yang berdebu, Aldo bisa melihat anak buah Daniel mencari-cari keberadaannya. Setelah yakin anak buah Daniel telah pergi, Aldo baru bisa menghela nafas lega.
Sesaat kemudian dia baru tersadar, di mana dia berada. Rumah tua dengan dinding berlumut dan gelap. Udara dingin terasa sangat tebal.
Aldo menelan salivanya sulit. Dia memang pintar berkelahi, tapi Aldo juga sangat penakut.
Gimana kalau tiba-tiba ante Kunti tampakin diri.
Pikirannya sudah ke mana-mana. Aldo pun memutuskan untuk pergi dari sana. Dia tidak bisa berlama-lama di rumah tua itu, bisa-bisa Aldo kencing di celana.
Tapi niatnya di urungkan, saat Aldo mendengar suara tangisan wanita. Ah, Aldo ingin pingsan di tempat rasanya.
"Tolong..." Di susul dengan suara minta tolong. Seketika tubuh Aldo bergetar ketakutan.
"Tolong..."
"Gimana nih?" Aldo benar-benar sulit berpikir. Kakinya sulit di gerakan.
"Tolong Vio, Bu."
Aldo terdiam. Suara itu, seperti tak asing baginya.
Dengan memberanikan diri, Aldo masuk lebih ke dalam.
Masih ada barang-barang di rumah itu, hanya saja barang-barangnya tua dan sangat tidak terawat. Kalau di pikir-pikir Aldo seperti ada di film horor.
"Tolong!!" teriakan itu kembali membuat Aldo memfokuskan dirinya.
Dia mencoba memasang pendengarannya dengan baik.
Aldo mendekatkan dirinya pada pintu bercat abu-abu kusam, pintu itu terbuat dari plat besi. Aldo menatap sekitar, memastikan tidak ada siapa pun di sana.
Lalu Aldo mengetuk pintu itu sekali, guna memastikan bahwa ada orang di dalam.
Seketika, Aldo mendengar jawaban dari dalam. Tidak, bukan jawaban. Tapi seperti kode, kalau di dalam ruangan itu ada orang lain.
Gimana kalau hantu?
Pikiran Aldo langsung berubah horor. Dia jadi ragu membuka pintu itu.
"Tolong..." Suara lirih itu kembali terdengar. Aldo jadi dilema.
Tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk membuka pintu itu.
Krekk!
Kini Aldo benar-benar membuka pintu itu, langsung saja bau anyir terendus di hidungnya. Dan itu sangat membuat Aldo merasa mual.
Ruangan gelap itu sulit membuat Aldo melihat keberadaan di sana. Tapi yang jelas, Aldo bisa mendengar hembusan nafas seseorang.
"Tolong aku..."
Tubuh Aldo seketika kaku, bukan, kali ini bukan karena dia takut, tapi karena Aldo kaget, ada yang menyentuh kakinya.
Aldo langsung mengambil ponsel di saku jaketnya, dia menyalahkan senter. Dan....
"Kamu?!"
Gadis biola itu menatap Aldo dalam.
****
**Bersambung**
Part ke 4 di ceritaku ini, gimana menurut kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top