Chapter 11 // Campus

Author's POV

"Hai, Anasya!" sapa Maya yang sudah siap pergi dengan pakaian casual-nya, "Apakah kau sudah siap pergi?"

Anasya tersenyum hambar, "Iya, sebentar lagi."

"Oke, aku akan menunggumu di luar," ujar Maya sambil bergerak keluar dari asrama.

"JANGAN!!"

Anasya's POV

Aku harus menghentikan Maya keluar dari asrama. Aku harus mengikuti perintah Stevan, jangan biarkan Maya menghilang dari pandanganku.

Jujur, aku tidak tahu apa yang Stevan maksud.

Tapi apa pun itu, pasti sangat penting. Karena jika tidak penting, untuk apa Stevan capek-capek datang kepadaku tentang ini.

Aku masih ingat saat SMA, cerita kematian tentang Stevan memang bervariasi. Ada yang berkata dia sakit, ada yang berkata dia di bunuh, ada yang berkata dia di tabrak, dan lain-lain.

Maya kini menatapku bingung, "Ada apa, Anasya? Mengapa mukamu pucat?"

"Aku-aku."

Improvisasi, sangat sulit untukku. Aku biasanya hebat dalam hal ini, tentu saja jika aku merasa rileks.

Karena aku tak kunjung menjawab pertanyaan Maya, Maya melanjutkan aktivitasnya lagi  yang tadi sempat tertunda.

"Maya!" panggilku.

Maya berdecak kesal, "Apa lagi-"

"Aku sudah selesai. Ayo," ucapku sambil bergegas menuju Maya.

Aku harus menjaga Maya, dia sudah di cap. Entah oleh apa atau siapa. Mungkin jika kami menghadiri pesta ini akan menjadi sulit untukku. Walaupun aku sudah mengontak Herman, seniorku yang mengundangku ke pesta untuk menjaga serta membantuku mengawasi Maya.

Dia sempat bertanya mengapa, dan aku menjawabnya dengan santai. "Anak orang, takut ilang. Kalau ada apa-apa, akan aku salahkan padamu!

Herman sudah ku anggap sebagai kakakku. Aku tidak punya kakak sebelumnya, mungkin Herman yang pertama. He he he.

Kini aku dan Maya sudah sampai di pestanya. Suara musik kini sudah terdengar , "Apakah kau sudah siap?" tanya Maya yang tampaknya tidak sabar.

"Tenang, jangan terlalu senang, nanti nyesel," ujarku.

"Kata-kata itu doa ya..," peringat Maya.

"He he he, iya iya."

Cleck

Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar, Maya dan aku langsung menoleh ke pintu, "Anana!" sapa Herman, "Aku senang kau bisa bergabung."

"Senang bertemu denganmu juga, Herman," balasku.

Herman lalu menoleh pada Maya, "Kamu pasti Maya, aku mendengar banyak hal tentang dirimu dari Anana."

Maya menoleh dengan tatapan nyanyian 'penjelasan, aku pinta penjelasan' padaku.

Aku tersenyum menyeringai dan menatap Herman, "Apakah kau tidak akan mengajak kami masuk?"

"Oh iya, maaf. Di mana kesopananku." Herman lalu berdiri di antara kami dan mengapit tangan kami bersamaan, "Mari, saya antar."

Herman ternyata masih sama saja, gentlemen, humoris, dan.. manis? Ya, manis! Jika kalian bertanya apakah aku suka dengan Herman, maka kalian salah besar.

"Anasya." tiba-tiba aku mendengar suara yang memanggil namaku, "Anasya." suara itu mirip dengan suara yang membuatku di rumah sakit.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.

Di mana Stevan? Mengapa dia membiarkan makhluk itu datang kepadanya, atau memanggil namanya?! Bukankah Stevan sudah mengurusi makhluk itu?!

"Anasya..."

Suara itu membuatku muak!

Aku sudah mulai muak dengan kehidupanku menjadi indigo!

Mengapa aku tidak hidup dengan normal saja?

"Anasya..."

"Apa yang kau mau?" tanyaku dengan suara kecil sambil memisahkan diriku dari pesta ke tempat yang sepi dan.. gelap. Aku memilih lantai dua. Sepertinya ini ruang makan.

"Anasya..."

"Tidak usah panggil namaku lagi! Katakan, apa yang kau inginkan?!" kesalku.

"Kau tidak akan menang pertempuran ini, Anasya."

"Kau sangat salah menghakimi aku seperti itu!" balasku.

"Dia sangat kuat, dia sangat berkuasa, dan dia sangat keji. Lebih baik kau mundur sebelum kau atau temanmu menjadi mangsanya."

"Siapa 'Dia'?" tanyaku.

"Dia yang mereka sebut pukul maut!"

Tiba-tiba tubuhku terlempar dari jendela dan menimbulkan suara serta serpihan-serpihan kaca yang tajam terjun ke arah pesta yang di adakan di halaman belakang Herman.

Siapa pun makhluk itu, si Pukul Maut dia pasti tidak ingin aku hidup. Walaupun yang melemparku adalah utusannya.

Tampaknya hidupku sudah mati, saat tubuhku melayang ke bawah, aku menjadi tontonan, dan kini aku dapat melihat kiasan-kiasan kehidupanku sejak kecil hingga saat ini.

Well.., tampaknya ini akhir dari hidupku.

TBC (Double Up)

---

Jangan lupa VOTE!! 

Sampai nanti, maaf malam hari. 

Malam hari selalu membuatku bisa berpikir. 

Uuu... seram. He he he he.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top