37 : Im Yours
Esok paginya, ketika cahaya matahari sudah mula tinggi. Menyusup diantara celah gorden rumah sakit Aluna terbangun. Wajah itu ada disampingnya. Tertidur lelap dengan tubuh memeluknya erat. Sama seperti saat semuanya belum sejauh ini.
Rasa nyaman ini lagi, Aluna benar-benar merindukan rasa ini. Bergerak mendekat, Aluna tersentak, menutup sebelah matanya merasakan sakit dibahunya.
Tapi dia sudah tidak apa-apa sekarang, Aluna yakin itu. Gabriel akan selalu ada disampingnya, melindunginya. Itu yang selama ini terjadi bukan?
Pria itu bukan lagi Gabriel yang gila, Gabriel yang akan menyiksanya untuk hal yang ia anggap sebuah kesalahan.
Yang ini adalah Gabrielnya, si pria sadis yang mau berubah, sebuah kenyataan bahwa Aluna jatuh cinta, tenggelam dalam pesona Gabriel dan kehilangan cara untuk pergi.
Berubah, mudah diucapkan tapi butuh lebih dari sekedar tekat untuk melakukannya. Dan Gabriel yang ini berhasil membuatnya terpana. Gabriel yang mau berusaha berubah.
Aluna sadar ini adalah kesalahannya, dia yang tidak memberikan pria itu kesempatan, padahal dia tahu merusak apa mental Gabriel, Gabriel itu Psycho, dan tanpa bantuan dari siapapun dia berusaha berubah sendirian.
Entah apa yang ia jadikan motivasi.
Bergerak mendekat, tangan Aluna bergerak memeluk tubuh itu, mencari posisi nyaman diatas ranjang rumah sakit yang sempit.
Sekarang semuanya akan baik-baik saja.
Dia tertidur dengan nyaman, benar-benar nyaman, bangkit dari posisi tidurnya Aluna bangkit, menyandar pada bagian belakang tempat tidur. Memerhatikan ruangan tempatnya berada saat ini, ruangan ini luas, tempat tidurnya tidak seperti tempat tidur rimah sakit, ruangannya bercat putih tulang dengan beberapa alat khas rumah sakit yang mengisi beberapa sudut.
Menunduk menatap rambut hitam legam milik Gabriel yang berantakan, mengulurkan tangannya, jari-jari mungil Aluna menyentuh rambut itu lembut.
Menarik nafasnya pelan, Aluna mengusap pelan rambut itu.
Tubuh Gabriel bergerak, mungkin terganggu. Pria itu membuka matanya, manik mereka bertemu, saling pandang dalam diam.
Senyum Aluna terbit, menyambut Gabriel yang bagun dari tidurnya. Namun mimik wajah pria itu tidak berubah. Ia bangkit dari tempat tidur, langsung membuang wajahnya.
Dahi Aluna mengerut, apa?
"Aku akan pergi, dan datang jika sempat nanti sore." nada pria itu dingin, matanya melirik kecil kearah Aluna. Melangkah menuju kamar mandi meninggalkan Aluna yang membeku diatas ranjang.
Apa Aluna melakukan kesalahan?
"Gabriel." satu langkah menuju kamar mandi, pria itu diam menunggu suara Aluna tanpa menoleh.
Aluna terdiam, terkejut namun segera mengendalikan dirinya, "apa kau tidak bisa datang saat makan siang?"
Menekan ludahnya gugup, Aluna dia buat kebingungan dengan sikap Gabriel. Gabriel tidak pernah bersikap dingin kepalanya lagi selama ini.
"Tidak." nadanya masih datar, tidak bergerak dari posisinya, bahkan sekedar melirik Aluna dibelakangnya.
"Kenapa?" Aluna bertanya refleks.
"Aku tidak mau." Gabriel masuk kedalam kamar mandi, meninggalkan Aluna yang menatap kearah pintu kamar mandi dengan mata membelalak tidak percaya.
Gabriel tidak mau?
Mengerjap, apa dia ditolak? Tapi kenapa? Gabriel kemarin menagis, Aluna yakin mendengar pria itu meminta kesempatan lagi padanya.
Aluna yakin tatapan yang diberikan pria itu kemarin adalah tatapan penuh cinta juga rindu, sorot mata yang diterimanya kemarin, Aluna yakin adalah sorot yang berbeda dengan apa yang ia dapat pagi ini.
Menunduk menatap selimut rumah sakit, apa ini?
Rasa cemas mulai merasuki hatinya, apa dia memang terlalu percaya diri? Kenapa dia yakin sekali Gabriel akan menerimanya lagi setelah berkali-kali tidak diberikan kesempatan olehnya?
Aluna tanpa pikir panjang menolak pria itu, tidak peduli dengan apa yang pria itu lewati untuk dirinya, dan sekarang kenapa pria itu harus menerima orang yang bersikeras menolaknya?
Benar, kenapa Gabriel harus menerimanya lagi?
Mata Aluna berkaca-kaca, benar-benar lucu. Bibir Aluna melengkung mengejek dirinya sendiri. Malang sekali dirimu Aluna, terbuai dengan cinta Gabriel sampai kau lupa, kau hanya gadis biasa, tidak ada yang bisa Aluna banggakan agar Gabriel tetap berdiri disampingnya.
Dia bodoh sekali.
Mata Gadis itu berkaca-kaca, menuduk dalam membiarkan rambutnya menutupi wajahnya. Punggung gadis itu bergetar, jadi apa sekarang?
Mata itu menyorot hampa, menatap punggung diatas tempat tidur dengan ekspresi datar, dia sudah segar. Tadi malam ia sempat pulang untuk mengambil baju.
Langkah kaki tegas itu, melangkah keluar dengan tidak peduli, meninggalkan sosok didalam sana tanpa ekspresi.
Rumah sakit tempat Aluna dirawat adalah salah satu rumah sakit terbaik, jadi Gabriel yakin tidak akan terjadi apa-apa selama Gabriel meninggalkan gadis itu.
Mungkin sejak awal harusnya seperti ini, Gabriel yang sekarang tidak menyukai pemandangan itu, pemandangan saat Aluna tersiksa menahan sakit, Gabriel benci pemandangan itu.
Dan akhirnya dia sadar, selama Aluna masih berada dekat dengannya pemandangan itu memiliki alasan lebih banyak untuk dapat dilihat olehnya.
Gabriel mantan pembunuh sadis, entah berapa banyak orang yang menaruh dendam akan dirinya, ia pebisnis yang tidak kenal ampun, entah berapa banyak proyek orang yang digilas habis olehnya.
ااااا
Jam istirahat, Gabriel meregangkan tubuhnya, memutar kursinya membelakangi meja kerja yang dipenuhi berkas-berkas menyebalkan.
Menatap ponselnya, tidak ada panggilan, tidak ada pesan. Apa Aluna baik-baik saja?
Menahan diri untuk menelfon, Gabriel sadar dia tidak akan bisa menjauh jika masih seperti ini.
Dia ingin menjauh, Alunanya harus aman, dengan cara apapun. Gabriel tidak mau lagi gadis yang ia cintai terluka, tidak lagi, sudah cukup, gadis itu sudah terlalu banyak memiliki bekas luka karena dirinya.
Luka kali ini, Gabriel berjanji akan melakukan apapun hingga luka itu tidak memiliki bekas sama sekali.
Luka karena Draco tidak boleh memiliki bekas, Gabriel tidak mau ada hal apapun yang membuat Aluna mengingat kejadian kemarin.
Menatap tangannya, Gabriel juga memiliki luka disana, tapi ini bukan saatnya untuk peduli akan hal itu.
Tubuh pria itu tersentak pelan, kepalanya jatuh menunduk begitu saja, bibirnya tersenyum miris, lalu bagaimana dengan luka yang ia buat di punggung Aluna, bukankah luka itu juga sama, meninggalkan rasa sakit juga trauma.
Bangkit dengan terburu-baru, Gabriel menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi.
Membuka pintu dengan kasar, tubuh mungil didalam sana terkejut, menatapnya dengan tangan memegang sendok makan.
"Kita akan pergi ke korea begitu kau pulih, kau butuh bedah plastik untuk bekas luka pada bahu
Dan punggungmu."
Menatap pria itu dengan tatapan sayu.
"Tidak dengan punggungku." tatapan mereka bertemu, Gabriel menaikan alisnya dengan bingung.
"Tidak dengan punggungku Gabriel, biarkan saja."
"TAPI KENAPA!?" Nada suara Gabriel naik, apa lagi yang ingin gadis ini tunjukan?
"KARENA AKU MILIKMU!" Nada suara Aluna ikut naik.
"Aku milikmu." Bangkit dari tempat tidur Aluna melangkah mendekat.
"Karena aku memang milikmu, jadi biarkan saja."
"Tapi itu luka Aluna, rasa sakit yang membuatmu tersiksa."
"Itu pernah menjadi luka, tapi tidak lagi. Itu tidak lagi menyakitiku."
"Sama seperti dirimu." tubuh Gabriel mudur, menatap Aluna dengan pandangan yang tidak dapat Aluna artikan maknanya.
"Bolehkah," ucapan Gabriel mengantung. Mata itu kian redup.
"Bolehkah aku egois. Memilih menempatkanmu disisiku meski tahu kau tidak akan aman disana."
Si pria putus asa, dengan harapan yang baru tercipta karena ucapan dari gadis dihadapannya.
"Kau memang selalu seegois itu, jadi tidak apa-apa." Aluna mendekat, menyentuh telapak tangan pria itu lembut.
Mata Gabriel mendapatkan cahayanya lagi. Menyorot sosok itu dengan harapan baru.
"Ayo kita menikah Aluna."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top