Chap 4 : Labyrinth of the Mind

Hi...🙌🙌🙌
.
.
Aku kembali setelah lebaran
Sebelumnya...Minal aizdin wal faizdin ya
.
.
Mohin maaf lahir batin
.
.
Maafin aku yg penuh dosa ini 😉
.
.
Jan lupa
Vote x Komen
.
.
Thanks
🙏🙏🙏
.
.
.
Happy Reading
📖📖📖
.
.
.

S

uara serigala terus meelonglong, memekakkan malam yang sunyi dengan iringan jangkrik tanpa jeda. Hembusan angin pun semakin membuat kulit merinding dan kereta kuda berisi Xena terus melaju dengan kusir seorang Cleon, sedangkan Feivel membawa kuda Cleon.

Xena, memang telah terlepas dari segala sihir. Namun, ia masih saja bimbang untuk kabur dari kedua orang ini. Sang kusir kuda dadakan ini, kekuatan sihirnya cukup tinggi. Sungguh, Xena tak pernah membayangkan akan bertemu dengan penduduk kaum atas yang cukup mengkhawatirkan sepertinya.

"Apa rumahmu di sekitar pantai?" Cleon bertanya, membuat Xena terpaksa harus mengalihkan perhatian pikirannya yang terus mencari cara untuk kabur dari situasi ini.

"Ya," jawabnya singkat.

"Apa semenjak kecil?" Cleon bertanya lagi dan Xena mendengus, ia yakin jika ini adalah penyelidikan. Tipikal pria yang tak akan mudah menyerah untuk sesuatu yang ia curigai, meskipun ia harus mendesaknya cukup jauh, Cleon akan melakukannya untuk menemukan kebenaran dari seorang Xena.

"Ya," jawab Xena lagi.

"Tapi, hanya penduduk biasa yang tinggal di sana. Aku tidak menemukan bangsawan, kecuali para pedagang yang hanya hilir mudik." Kali ini Cleon menoleh, sepertinya pria ini ingin melihat ekspresi Xena. Jelas gadis ini mencoba menyembunyikan sesuatu darinya.

"Apa aku terlihat seperti bangsawan? Aku hanya membantu Ayahku berdagang," jawab Xena santai.

Cleon pun kembali menatap ke depan. "Pasti kau sangat pandai berdagang. Cara bicaramu saja cukup berbeda." Entah ini sindiran atau apa? Xena cukup tahu jika pria ini sangat hati-hati. Ia tidak memiliki peluang untuk mendapatkan kepercayaan dari Cleon.

Jadi, Xena harus memutar otaknya untuk mendapatkan cara agar bisa kabur. Benar-benar menyebalkan di saat yang tidak tepat.

---***---

Aerenia

Samara terlihat diam saat beberapa saat lalu, ia mendengar tentang apa yang terjadi di lautan atas. Caldora dan Neola tak berani mendekat karena mereka cukup tahu jika saudari sekaligus ratunya ini sangat marah sekarang.

"Katakan apa yang harus ku lakukan sekarang?!" tekan Samara yang nampak sekali menahan amarahnya. Ia meminta pendapat seluruh bawahannya yang kini menjadi pun dilanda gundah.

"Yang Mulia, sepertinya kita perlu memberikan mereka pelajaran," usul salah satu petinggi dengan sisik jingganya.

"Tapi Ratu, bagaimana dengan putri Reona dan Halinka? Apa kita tidak perlu mencarinya? Putri Halinka adalah panglima pasukan dan saat ini pasukan membutuhkannya, sementara putri Reona juga sangat dibutuhkan untuk mengatur perbatasan atas," ucap yang lain yang membuat Samara menghela napas.

"Tentu kalian harus menemukan Reona, ia yang menyebabkan segala kekacauan ini. Hanya untuk seseorang sampah dari kaum atas, ia sampai mau menghancurkan Aerenia. Aku benar-benar akan mengurungnya di laut dalam selatan. Bahkan ia juga membuat Halinka tertangkap oleh salah satu dari mereka!" Samara begitu geram.

"Ingat, mulai dari sekarang, siapa pun tidak boleh melangkahkan kakinya ke atas. Tidak ada perasaan jatuh cinta pada kaum atas atau kalian akan ku hukum di daerah terlarang!" titahnya yang tentu membuat semuanya tunduk dan ketakutan. Sebab, daerah terlarang adalah tempat penjara tak kasat mata bagi para Gnereid yang berbuat salah. Disana airnya tercemar, hanya ada sedikit makanan dan rasanya tak enak. Tempatnya pun dikelilingi dengan barier sehingga mereka semua tidak bisa lari begitu saja.

"Baik Yang Mulia Ratu," kata mereka serempak.

Caldora pun terlihat lemas, ia mencoba untuk menutupi semua yang terjadi. Namun, seperti kebanyakan orang tahu jika Samara tidak sesederhana yang terlihat. Ia mengetahui semuanya dengan mudah.

"Kalian boleh pergi, aku akan berbicara dengan Caldora dan Neola," perintahnya dan semuanya pun pergi, hanya tinggal mereka bertiga.

"Kau tidak akan bisa menyembunyikan semuanya dariku!" kata Samara dengan lantang.

"Tapi Reona adalah saudari kita," sahut Caldora.

"Apa Jeroni tidak? Dia sekarang sama seperti Jeroni, pengkhianat yang mempermalukan kaum kita! Dia sudah jatuh cinta kepada para sampah itu, apa kau tidak tahu!" tekannya yang membuat Caldora sedih dan Neola terlihat terkejut.

"Lalu Halinka? Bagaimana dengannya?" kali ini Neola bertanya tentang saudarinya yang satu itu. Neola sangat tahu, jika saudarinya yang satu ini sangat menjunjung tinggi peraturan yang ditetapkan di Aerenia.

Samara terlihat sedih, ia memejamkan matanya. "Aku tidak merasakan mutiara kehidupannya. Kurasa ia telah memberikannya pada seseorang dan aku tahu jika ia berusaha melindungi Aerenia dengan hidupnya," terang Samara yang membuat Caldora terduduk dan mulai menangis.

"Maafkan aku ... Aku tidak bisa menjaga mereka," lirih Caldora.

"Ini bukan salahmu, karena semua ini dimulai dari mereka, kaum atas yang serakah. Menjerat kaum kita dengan cinta menjijikkan itu." Samara pun berdiri, menghentakkan trisulanya.

"Apa yang akan Anda lakukan Yang Mulia?" Neola mulai cemas. Trisula itu adalah benda tersakti di seluruh Aerenia, bahkan mungkin di kawasan atas. Namun, hanya para pewaris sah dari Aerenia saja yang dapat mengendalikan kekuatan dahsyatnya.

"Menghukum kaum atas!" ucapnya dengan mata tajam dan menyala-nyala. Tangis Caldora menjadi-jadi, ia tidak bisa membayangkan kekacauan itu terulang lagi dan Neola pun hanya bisa menganga, tak berdaya.

---***---

Disebuah pulau yang cukup jauh dari lautan, fajar hampir menyingsing di ufuk timur. Reona dengan tubuh kecilnya mencoba untuk menyeret tubuh Reiga dengan daun pisang sekuat tenaga.

Reiga demam karena terlalu lama berenang dan Reona tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menangani ini. Ia hanya bisa terus menatap Reiga dengan cemas.

Ini pertama kalinya bagi Reona mencemaskan seorang berbeda jenis dan kaum seperti Reiga.

"Apa yang harus ku lakukan?" lirihnya. "Seharusnya kau harus selamat dan aku tidak perlu menyesali segala perbuatanku hanya untuk menyelamatkanmu," lanjutnya yang kini duduk dan mulai menangis. Air matanya pun jatuh dan menjadi butiran mutiara yang mengkilat.

Tiba-tiba saja ia merasakan tangan seseorang yang mencoba meraih tangannya dan Reona pun berhenti menangis. Menoleh, mendapati Reiga menatapnya dengan wajah pucat serta ekspresi kelegaan.

"Jangan menangis, aku baik-baik saja," ucapnya dan Reona pun menghela napas.

"Benarkah, apa ada yang terasa sakit di tubuhmu?" Reona mencoba memeriksanya Reiga dan pria ini mencegahnya.

"Benar, aku baik-baik saja. Mungkin, kau yang terluka." Mata Reiga berhasil menangkap beberapa memar di wajah Reona dan itu cukup membuat perasaan bersalah Reiga muncul.

"Maafkan aku ..." ucapnya, jarinya menyentuh memar tersebut. Membuat Reona menahan sakit dan Reiga semakin merasa bersalah.

"Kenapa kau menolongku? Karena itu kau tidak akan bisa kembali ke tempatmu," lirih Reiga dan Reona menghela napas.

Mata Reona menerawang, seolah pikirannya berteleport kedunia lain. "Aku juga tidak tahu kenapa kaumku dan kaum kalian saling bermusuhan," ucapnya sambil menghela napas. "Namun, sangat berlebihan jika kami harus memusnakan seluruh kaum kalian," lanjutnya yang sepertinya telah menduga apa yang akan terjadi.

"Memusnahkan?" Reiga sangat penasaran dan sedikit ketakutan.

"Saat ini Ratu mungkin telah mengetahui apa yang terjadi dan kemungkinan terburuknya, ia akan mencoba memusnakan kaum atas." Reona pun tak kalah takut.

Seketika wajah Reiga terperanjat dan Reona yang menyadarinya pun segera mengatakan sesuatu. "Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Kau bisa tetap tinggal di sini untuk sementara waktu, aku memiliki tempat tinggal tersembunyi di bukit tersebut dan kaumku tidak ada yang tahu," terang Reona sambil menepuk bahu Reiga, mencoba menyadarkan pria ini.

"Bagaimana kau akan menyelesaikan masalah ini? Mencegah Ratumu marah?" Reiga ingin tahu dan ia juga ingin membantu Reona.

"Aku akan kembali ke Aerenia dan mempertanggung jawabkan semuanya. Namun sebelum itu, bisakah kau menjelaskan kenapa kau dan teman-temanmu memburu kami?"

Pertanyaan terakhir Reona cukup membuat Reiga membisu. Ia tidak tahu, apakah ia perlu menceritakannya atau tidak? Sudah menjadi kesepakatan mereka untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tujuan dari perburuan ini dan jika seandainya semua terbongkar, mungkin Reiga akan merasa sangat malu. Kebanyakan dari para pangeran ini, tak benar-benar memiliki tujuan yang jelas kecuali ketamakan.

GLUGUK

JEDAAARRR

Tiba-tiba saja suara guntur menggelegar. Kilat-kilat menyambar di langit, awan kelam muncul dengan mudahnya. Reona pun menatap lautan dan mulai terlihat cemas.

"Aku harus pulang, Samara benar-benar akan memusnakan kaum kalian." Reona mulai panik.

"Berlindunglah di atas bukit. Jangan cemas, bukit ini begitu tinggi dan air tidak akan mudah untuk mencapainya," pinta Reona.

"Bisakah kaummu memaafkan kami?" Dari pada mencemaskan diri sendiri, Reiga lebih mencemaskan nasib orang-orang. Jika seandainya ia menyadari dampaknya dari awal, ia bersumpah tidak akan bermain-main dengan pada Gnereid ini.

Dia pikir, mereka hanya kumpulan manusia separuh ikan yang tak memiliki banyak kekuatan dan itu hanya sebuah jebakan. Mereka memang ada tapi tidak selemah yang ia bayangkan.

"Itu tergantung dan aku harus pergi sekarang. Larilah ke bukit, agar kau tak terseret ombak!" perintah Reona yang kini berlari menuju lautan.

"Samara, jangan lakukan ini!" gumam Reona.

---***---

Pesisir pantai, saat kereta kuda berlari dengan normal. Namun, tiba-tiba menjadi panik saat mendengar suara keras.

GLUGUK

JEDARRR

"Apa hujan akan turun Cleon?" Feivel yang menunggangi kuda bertanya pada sang kusir dadakan, Cleon.

Xena yang berada di dalam kereta segera membuka penutup kain yang menghalanginya untuk memandang keluar. Ia dapat melihat ratusan burung mencoba untuk pergi sejauh-jauhnya dari lautan. Ini sangat buruk dan Xena benar-benar ingin tahu apa yang tengah terjadi.

"Samara, apa yang terjadi? Kau tidak berpikir untuk mengirim badai kan?" gumamnya pelan yang tak dapat didengar oleh Cleon.

"Entahlah, mungkin akan ada badai tapi aku merasakan sesuatu yang lebih dahsyat dari sebuah badai saja," ramal Cleon yang membuat Xena kini memandanginya.

Xena seketika memegangi kepalanya yang berdenyut. Ia sangat bingung memikirkan bagaimana cara kabur dari Cleon dan segera menemui Samara untuk meredakan amarah saudarinya itu. Xena benar-benar tak mengerti, bagaimana Samara menjadi cukup tempramental. Apa masalah yang terjadi cukup serius, hingga saudarinya itu harus mengambil keputusan ini?

Xena menghela napas dalam sampai terdengar oleh Cleon, membuat pria itu memandanginya dan menemukan kerutan di dahi Xena. Apa yang membuat wanita ini terlihat berpikir cukup serius?

"Apa kau punya pendapat tentang apa yang terjadi?" Cleon bertanya, membuat perhatian Xena teralih kepadanya.

Xena tersenyum, hampir seperti ejekan. "Apa kau pikir, aku seorang peramal? Bagaimana bisa aku menebak apa yang terjadi?" katanya yang seketika membuat Cleon tersenyum tapi semua orang juga tahu, jika wajahnya itu menunjukkan kekesalan.

Feivel tertawa. Sungguh, ia tidak pernah bertemu dengan lawan yang seimbang untuk melawan segala argumen Cleon dan Xena seolah memberikan sedikit pencerahan. Kenyataannya Cleon masih dapat diatasi oleh beberapa orang.

"Oh tidak!" pekikan seseorang yang berlarian dari arah pantai membuat ketiganya mengalihkan perhatiannya pada lautan dan mereka melihat badai menggulung ombak cukup tinggi.

"Ini sangat buruk, kita harus pergi dari sini!" seru Cleon yang seketika membelokkan kudanya dan kesempatan ini Xena pergunakan untuk diam-diam pergi.

Gadis ini segera melompat dengan cepat dan hati-hati. Bersembunyi di balik batu besar.

"Ayo Feivel!" Cleon mencoba menyadarkan Feivel yang masih menganga melihat ombak yang menggulung tinggi, seolah berusaha untuk mencapai langit.

Feilvel pun berbalik dan memacu kudanya dengan cepat, sementara Xena keluar dari persembunyiannya di balik batu besar. Gnereid ini menghela napas, sebelum akhirnya menatap lautan dan berjalan menuju lautan.

"Ratu Samara, apa kau mendengarku?" ucapnya mencoba berbicara pada benda seperti kerang berwarna merah.

"Ya, aku mendengarkanmu," suara bisikan itu terdengar dari deru ombak.

"Hentikan semuanya, kenapa kau harus menjadi tempramental seperti ini?" tanya Xena yang tak memahaminya.

"Maafkan aku Ratu Samara!" seru seseorang yang tak lain adalah Reona.

Ombak masih menggulung, namun bergerak cukup lamban saat Reona berusaha menghalanginya.

"Apa yang kau lakukan! Menyingkirlah, kau tidak akan sanggup melawan kekuatan Trisula." Xena mencoba memperingatkan saudarinya itu.

"Samara, jangan gegabah. Kita bisa bicarakan semua ini!" teriak Xena yang tak ingin apa pun membuat mereka saling melukai.

"Apa yang harus aku bicarakan ketika Halinka harus mengorbankan hidupnya hanya untuk melindungi Aerenia dan semua ini karena kecerobohan Reona yang ingin menyelamatkan kaum sampah itu!" ucap Samara yang masih saja tidak menampakkan wujud sejatinya.

Xena pun mulai dapat menduga, apa yang tengah terjadi disini. "Samara, menghancurkan daratan atas tidak akan menghilangkan sifat buruk mereka. Kita harus memiliki rencana yang cukup matang untuk membuat mereka hancur!" ucap Xena dengan ekspresi dinginnya. Ia dan Halinka adalah sosok yang cukup tangguh, serta keras kepala. Sangat membenci kaum atas dan sering kali membunuh mereka yang mencoba mengganggunya tanpa belas kasih.

Penyamarannya di kerajaan Valcon selama ini begitu rapi karena ia dan Halinka terkenal cakap dalam urusan taktik. Tak membiarkan penyamarannya diketahui dengan mudah oleh banyak orang.

"Apa yang kau pikirkan?" Samara menampakkan dirinya dan Reona menghela napas panjang.

"Kita bicarakan di Aerenia," katanya yang kini mulai masuk ke dalam air, di ikuti oleh Reona. Kemudian, Samara yang bersamaan dengan ombak besar yang kini runtuh, tenggelam kedalam lautan.

Sementara Cleon masih memacu kereta kudanya tiba-tiba berhenti saat melihat langit menjadi cerah.

"Hilang? Bagaimana bisa?" Feivel bergumam.

Cleon pun berbalik, mencoba untuk memeriksa gadis asing yang berusaha untuk ia selidiki dan pria itu mendesah saat tak menemukannya di dalam kereta tersebut.

"Gadis itu menghilang," ungkapnya dan Feivel pun turun dari kudanya, mencoba memeriksa.

"Bagaimana bisa? Ia tidak akan bisa turun dengan mudah," kata Feivel heran.

"Aku sudah menduganya, ia sangat mencurigakan. Pasti gadis itu menyembunyikan sesuatu yang besar." Dugaan-dugaan itu muncul begitu saja dalam benak Cleon.

"Tapi, kita tidak memiliki waktu untuk kembali. Kita harus kembali menemui Aaron atau ke tenda pasukan." Feivel mencoba untuk memperingatkan Cleon dan pada akhirnya pria ini mengangguk juga.

"Baik, kita pergi sekarang." Tidak pernah sekali pun Cleon menyerah pada keyakinannya, tapi hari ini ia harus mengesampingkan hal ini. Ada hal yang lebih mendesak untuk di lakukan.

"Lihat saja, jika kita bertemu kembali, aku tidak akan melepaskanmu!" gumam Cleon yang mulai memacu kereta kudanya dengan cepat.

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top