/9/

            Malam ini, kafe rumah sakit tampak lengang. Hanya beberapa pengunjung yang duduk sambil meminum kopi dan teh mereka, selebihnya hanya berlalu-lalang di lobi rumah sakit. Di tengah-tengah kesunyian itu, Ghana mengangkat sedikit pandangannya, melirik wanita yang duduk di hadapannya.

            Risa.

            Tadi, ketika Ghana hendak kembali ke ruang UGD, ia bertemu dengan Risa di ujung koridor. Wanita yang menggunakan sweater berwarna krem itu lalu mengajak Ghana berbincang di kafe ini. Ghana sebetulnya sedikit kaget ketika Risa memanggil namanya. Ia tidak pernah tahu wanita itu mengenalnya. Tapi berhubung Ghana merasa bahwa memang ada yang harus dibicarakan, Ghana pun menyetujui ajakan Risa itu.

Jadi, di sinilah mereka, dengan kecanggungan yang melingkupi seluruh ruangan. Rintik-rintik hujan membasahi jendela besar kafe, sementara suara lalu-lalang kendaraan terdengar sayup-sayup. Ghana yang telah kembali menunduk itu mengulum bibirnya sebentar, lalu membuka mulutnya, berbicara, "Saya minta maaf untuk apa yang terjadi pada anak Anda."

Risa yang sedang menyesap kopi miliknya langsung terdiam, kemudian menaruh cangkir kopi itu di meja bundar kecil yang menjadi pembatas antara dirinya dan Ghana.

            "Semuanya ... memang salah saya," lanjut Ghana lagi. "Kalau saja saya tidak—"

            "Ghana," panggil Risa dan membuat Ghana bungkam. "Mencintai seseorang itu bukanlah hal yang salah. Saya tahu kamu pasti merasa sangat menyesal, tapi menyelamatkanmu merupakan keputusan Gina, Nak. Kamu tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri."

            "Tapi ...."

            "Kita semua pernah menyesali suatu hal, Ghana. Tapi mau bagaimanapun, kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Kita hanya bisa menerima dan mengikhlaskannya," jelas Risa. Wanita itu berhenti sebentar, kemudian menatap Ghana. Setelah menunduk dan menimang-nimang keputusannya, ia akhirnya melanjutkan kata-katanya, "Dan hal itu juga dialami oleh ayah kamu, Ghana. Ayah kamu ... Harris."

            Deg.

            Ketika mendengar nama ayahnya disebut, jantung Ghana mendadak seperti jatuh ke perut. Tenggorokannya tercekat. Tubuhnya mematung di tempat. Sejujurnya, Ghana belum siap. Meskipun sebenarnya ia sudah menebak bahwa Risa akan membicarakan ini, tapi Ghana tetap saja belum siap. Ia belum siap untuk mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Ia belum siap untuk membongkar lagi kisah lama yang selalu berakhir luka itu.

            "Saya ... juga minta maaf atas kejadian yang terjadi 11 tahun lalu itu," lanjut Risa dengan suara yang bergetar.

            Rahang Ghana mengeras. Giginya gemeletuk menahan amarah. Matanya bahkan memerah. Ghana membuang pandangannya ke arah lain, lalu berkata, "Saya pulang dulu. Masih ada urusan lain." Ghana lalu bangkit berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari kursi. Namun sebelum Ghana melangkah lebih jauh, ucapan Risa membuat kedua kaki Ghana berhenti di tempat.

            "Kamu ... selalu ingin mengetahui hal ini, bukan? Rahasia yang disimpan mati-matian oleh ayah kamu, dan yang selalu ditangisi oleh ibu kamu. Iya, kan?" Kalimat Risa berhasil menampar Ghana telak. Dadanya sesak ketika persoalan itu diungkit-ungkit kembali. "Sampai kapan kamu mau begini? Kamu tidak bisa terus-terusan hidup dalam luka dan dendam, Ghana. Setidaknya, kamu harus mengetahui cerita yang sesungguhnya."

            Kesal, Ghana pun menarik kembali kursi kayu yang tadi sudah didorongnya untuk masuk ke kolong meja, lalu duduk di kursi tersebut. "Kalau begitu, ceritakan," tegasnya.

            Senyum tipis Risa terbit. "Kamu memang mirip seperti ayah kamu," ucapnya sebagai pembuka. Ekspresi Ghana tidak berubah—masih dengan rahang yang mengatup keras. Risa menunduk, baru bercerita, "Saya dan ayah kamu ... kita pernah bersahabat. Dulu, ketika kita duduk di bangku SMA. Persahabatan itu lalu kita lanjutkan hingga ke jenjang kuliah. Persahabatan yang timpang, sebenarnya. Yang satu begitu kaya, sementara yang satu lagi malah sebaliknya. Hingga suatu saat ... ayah kamu dijodohkan. Kamu pasti tahu hal ini. Ia dijodohkan dengan ibumu," Risa berhenti sebentar. Senyum tipisnya perlahan-lahan memudar. "Ayah kamu tidak pernah ingin dijodohkan. Ia bahkan pernah berencana untuk kabur ke luar negeri secara diam-diam di hari pertunangannya. Tapi, saya melarangnya. Kamu tahu apa yang dikatakannya? Dia berkata bahwa dia sudah mencintai gadis lain.

            "Awalnya saya tidak tahu siapa gadis itu, hingga pada suatu saat, ketika ia sedang mabuk, ia berkata bahwa ia gadis yang ia cintai adalah saya. Saya ...," Risa menggeleng kecil dengan senyum getir menghiasi wajahnya. "Saya terkejut. Sangat. Saya tidak pernah mengira bahwa saya adalah alasan Harris untuk melarikan diri dari perjodohan yang telah direncanakan orangtuanya. Jatuh cinta pada sahabat sendiri tidak pernah menjadi hal yang mudah, Ghana. Dan Harris telah menerima resikonya. Saya ... menghilang dari kehidupannya setelah itu. Saya hanya tidak ingin menghancurkan hidupnya yang telah ditata rapi oleh orangtuanya."

            Ghana diam menyimak. Ia tidak pernah tahu kalau ayahnya memiliki cerita masa lalu seperti ini. Cerita yang ukup rumit ternyata.

            "Dan begitulah, saya pergi menjalani hidup saya sendiri, sampai akhirnya saya diberi kabar bahwa Harris sudah menikah dengan gadis yang dipilih oleh orangtuanya. Saya tentu saja merasa senang dan berharap ia menjalani hidup yang lebih baik. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Ibu kamu ... tidak dapat mengandung. Berbagai cara telah ditempuh. Bertahun-tahun lamanya, hingga akhirnya kamu lahir. Tapi itu semua tidak dilalui dengan mudah. Pernikahan ayah dan ibumu tidak dilandasi oleh cinta, dan itulah yang menyebabkan runtuhnya rumah tangga mereka. Banyak konflik terjadi yang menyebabkan kedua belah pihak perlahan-lahan menyerah."

            "Tapi Anda tahu dari mana? Bukannya Anda sedang jauh dari ayah saya?" tanya Ghana, penasaran.

            "Saya kembali tepat ketika kamu lahir, Ghana. Saya pikir semuanya sudah baik-baik saja. Saya pikir Harris sudah melupakan perasaannya. Maka saya melamar kerja di Jakarta sebagai seorang marketing perusahaan dagang. Yang saya tidak tahu adalah, perusahaan tempat saya bekerja ternyata berelasi dengan perusahaan keluarga Harris. Dari situlah saya bertemu lagi dengan ayah kamu. Sejak saat itu, ayahmu kerap menemuiku untuk bercerita. Awalnya saya menanggapinya, karena saya pikir, ayahmu memang sedang membutuhkan teman bercerita saat itu, dan lagipula, kami sudah bersahabat lama. Tapi lama kelamaan, saya merasa ini salah. Kami tidak seharusnya sering bertemu seperti ini, apalagi di luar urusan pekerjaan.

            "Saya kemudian memberitahu Harris bahwa saya tidak bisa menemuinya lagi. Dan di saat itu, kamu sudah berumur satu tahun, Ghana," ucapan Risa membuat Ghana membeku di tempat. Ini dia. Inilah saatnya Ghana mengetahui kebenarannya. Inilah penjelasan yang Ghana tunggu-tunggu, mengenai masalah yang menjadi titik balik hidupnya. "Saat saya berkata bahwa saya tidak bisa menemuinya lagi, Harris tidak terima. Ia berkata bahwa ia tidak bisa kehilangan saya lagi untuk yang kedua kalinya. Maka malam itu, dalam kondisi mabuk parah, Harris mendatangi apartemen saya.

            "Malam itu adalah malam yang paling mengerikan bagi saya. Malam di mana saya tidak menyangka bahwa sahabat yang sudah saya kenal lama bisa berubah menjadi monster ganas seperti itu. Harris ... ia hampir kehilangan kontrolnya. Saya berteriak, meminta tolong, berusaha menyadarkannya, tetapi semuanya sia-sia. Hingga pada satu titik, ketika saya menyebutkan nama Veronica, ibu kamu, beserta nama kamu, ayah kamu langsung terduduk lemas. Tanpa saya sangka, ayah kamu ... menangis.

            "Di saat itu juga, saya sadar bahwa sebenarnya ayah kamu menyayangi kamu dan ibu kamu, Ghana. Hanya saja, luka yang sedang ditanggungnya begitu berat, sehingga hatinya gelap dan matanya buta. Ia hanya ingin terbebas dari semua luka itu, seperti yang sedang kamu coba untuk lakukan sekarang. Tapi sayangnya, semua luka itu masih tertanam di dalam dirinya sampai hari ini." Penjelasan Risa mengenai malam itu sungguh-sungguh menohok hati Ghana. Jantungnya bahkan seperti berhenti berdetak dan wajahnya pucat. Dadanya begitu sesak, seakan-akan ia mempunyai dosa yang begitu banyak, yang karena saking banyaknya, ia merasa ingin tenggelam di dalam lautan keputusasaan hingga mati.

            Selama ini, Ghana telah salah menduga.

            Selama ini, Ghana telah salah mengira.

            Ghana kira, ia adalah satu-satunya orang yang terluka di sini.

            Ghana kira, ia adalah satu-satunya korban di sini.

            Tapi ternyata tidak.

            Perlahan-lahan, air mata Ghana jatuh tanpa bisa ia cegah. Ia bodoh. Sangat bodoh. Terlalu dibutakan oleh dendam, hingga tidak tahu yang mana kenyataan.

            "Ghana ...," panggil Risa pelan.

            "Jadi ... semuanya hanya salah paham?" tanya Ghana dengan suara yang bergetar.

            Risa mengangguk pelan. "Di malam itu, seseorang melihat ayah kamu masuk ke dalam apartemen saya dan melaporkannya ke ibu kamu, lengkap dengan bukti fotonya. Ibu kamu mengira ayahmu berselingkuh dan marah besar padanya. Saya tidak tahu bagaimana lengkapnya, tapi yang saya tahu ... ibumu hampir melarikan diri dari rumah, meskipun tidak jadi karena ia teringat akan dirimu. Mereka juga hampir bercerai walau tidak jadi, yang saya tidak tahu alasannya mengapa. Tapi sejak saat itu, saya kembali menghilang dari kehidupan Harris, dan bertemu dengan ayah Gina."

            Penjelasan Risa membuat Ghana kembali teringat akan kejadian tiga tahun lalu, ketika ia pertama kali mengetahui semua ini. Di saat itu, ia baru pulang dari lomba cerdas cermat tingkat provinsi dan meraih juara dua. Ghana sebenarnya sedikit kecewa, karena ia mengira timnya akan meraih juara pertama. Maka dari itu, Ghana mengambil pigura foto ibunya yang terletak di meja belajar, lalu bercerita kepada foto ibunya itu sampai ia puas. Lalu ketika ia ingin menaruhnya kembali di ujung meja belajar, pigura foto itu terjatuh ke lantai dan pecah. Di saat itulah Ghana menemukan surat terakhir ibunya sebelum meninggal.

            Karena merasa ada yang ganjil dengan surat itu, Ghana yang penasaran pun membuka kembali barang-barang ibunya di gudang untuk mencari tahu maksud dari surat itu dan menemukan foto-foto wanita yang sama di sana. Ghana juga membaca buku diari ibunya yang membuat Ghana tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di keluarganya itu.

            Tapi ternyata, semua dugaan ibunya itu salah. Semuanya ternyata hanyalah kesalahpahaman semata. Kesalahpahaman yang berakibat fatal.

            "Jika saja ibumu percaya kepada ayahmu, mungkin semua ini tidak akan terjadi," ucap Risa, membuyarkan lamunan Ghana. "Dan seperti yang kamu tahu, ibu kamu meninggal karena ..."

            "Ya, saya sudah tahu," lanjut Ghana sendiri, karena tadi Risa membiarkan kalimatnya menggantung di udara.

            Risa membuang napasnya pelan. Ia menatap Ghana sebentar, baru berkata, "Saya hanya tidak ingin kamu menyesal juga, Ghana. Ini belum terlambat untuk memperbaiki semuanya. Karena kalau bukan kamu yang memulainya, siapa lagi?"

            Ghana menatap Risa untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.

            Risa lalu mengulum bibirnya, ragu, seperti masih ada hal lain yang harus diberitahunya. Wanita itu terdiam sebentar dengan pandangan yang tertuju ke bawah, sebelum akhirnya ia berkata, "Satu lagi. Saya pikir kamu harus tau satu hal lagi."

            Ghana menaikkan satu alisnya, seperti bertanya.

            "Gina ...," Risa menggantungkan kalimatnya, "dia bukan anak kandung saya."

***

Jadi? Gimana? Apa sudah terjawab semuanya? Atau masih ada yang mengganjal? Kwkwkwk kalo masih ada yang mau diketahui, bisa komen aja ya, siapa tau aku ada ketinggalan jelasin apaan gitu :)

btw ini udah lama banget ga si sejak terakhir aku update? udah sebulan lewat wkwk maap lah ya daqu sibuk sama urusan sekolah yg tiada habis & tiada berujungnya ini :')))

oiya, selamat hari raya imlek bagi yang merayakan!

jangan lupa vote dan komen yang banyak ya gais, tengchuuuu<3


love, alis.

6 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top