/11/

Zafran dan teman-temannya ditahan. Itu hal pertama yang Ghana tau. Hal yang kedua yang ia tahu dan cukup mengejutkan adalah bahwa ayahnya akan tinggal di rumahnya mulai esok hari. Ghana tentu senangnya bukan main. Ia akan memulai awal yang baru bersama ayahnya. Tinggal bersama sebagai satu keluarga—meskipun kecil dan tidak utuh—dan menjalani hidup layaknya keluarga pada umumnya. Hal yang sudah Ghana impi-impikan sejak lama. Dan setelah menyampaikan dua hal itu, ayahnya pulang.

            Ghana sendiri masih menetap di rumah sakit. Cowok itu lalu menghampiri kamar inap Gina, dan mengintip dari jendela kecil berbentuk persegi panjang yang terdapat di pintu kamar. Di sana, Ghana melihat Naufal tengah duduk di dekat bangkar sambil memegang tangan Gina. Di detik itu juga, rasa sakit kembali menjalar di dadanya. Rasanya sesak. Berbagai pertanyaan lalu muncul di benaknya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah kini ia masih pantas untuk mencintai Gina? Apakah ia masih pantas untuk berbalik dan kembali pada gadis itu?

            Rasanya ... tidak.

            Karena di detik Ghana melihat Naufal berada di samping Gina, Ghana sadar bahwa memang bukan dirinya yang ditakdirkan untuk gadis itu, tapi ... Naufal. Naufal-lah yang pantas untuk mendapatkan Gina. Naufal-lah yang layak untuk Gina cintai. Dan dengan napas yang masih tercekat dan dada yang terasa nyeri, Ghana membalikkan badannya, hendak berjalan pergi. Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, suara pintu dibuka terdengar, bertepatan dengan suara seseorang memanggil namanya.

            "Lo ... Ghana kan?" tanya orang itu. Ghana kini sudah membalikkan tubuhnya, menatap lelaki yang sedang berdiri di ambang pintu tersebut.

            Dan di saat itu juga, Ghana tahu bahwa inilah saatnya untuk mengambil keputusannya terberatnya.

***

            Hari kedua Gina berada di rumah sakit.

            Meskipun masih belum siuman, tapi kamar rawat Gina sudah dipenuhi oleh banyak orang. Rata-rata sih teman orangtua Gina, karena sekarang belum jam pulang sekolah. Hanya ada Leah yang baru saja pulang dari luar kota—karena ada urusan keluarga katanya—yang menjenguk Gina saat ini.

            "Eh ini gimana kronologi kejadiannyaaa? Gece ceritain gue penasarannn," pinta Leah pada Naufal yang hari ini izin sekolah karena tadi pagi bangun kesiangan. Naufal baru pulang dari rumah sakit pukul satu dini hari, dan ia baru tidur pukul tiga pagi karena insomnia. Jadi karena tadi pagi ia baru bangun pukul sembilan, ia berpikir bahwa lebih baik tidak usah masuk sekolah saja dan menjaga Gina di rumah sakit.

            "Males, panjang," jawab Naufal apa adanya.

            "Ihh, lo mahhhh! Lo sih nggak jagain Gina baik-baik, jadinya gini nih. Gue baru pergi dua hari juga," gerutu Leah yang hari ini memakai knitwear berwarna marun dengan slingbag berwarna hitam yang tersampir di pundak kanannya.

            Naufal tidak merespon apa-apa. Cowok itu hanya melengos sebal sembari menggerutu di dalam hati. Naufal juga sebenarnya sedih, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Toh ia hanya berstatus sebagai sahabat Gina. Ia bahkan tidak mengira kalau Gina akan melakukan tindakan nekat seperti itu. Semuanya di luar dugaan Naufal. Sesayang itukah Gina pada Ghana sehingga ia rela membiarkan dirinya tertembak seperti ini? Apa coba bagusnya Ghana? Apa yang Ghana punya sementara tidak ia punya? Apa?

            Tunggu. Kenapa juga Naufal harus memikirkan hal itu? Apa jangan-jangan ia cemburu? Ah, tentu saja tidak. Ia hanya kesal karena sahabatnya itu telah melakukan tindakan sebodoh ini hanya demi seorang lelaki yang belum tentu akan menjadi suaminya. Ya, hanya itu.

            Tapi ... berbicara tentang Ghana, Naufal jadi teringat akan percakapan mereka kemarin malam.

            "Lo ... Ghana kan?" tanya Naufal dengan tangan kiri yang masih memegang pintu.

            Ghana, yang berdiri cukup jauh dari Naufal itu menatap Naufal sebentar, sebelum akhirnya ia bertanya balik, "Lo pasti Naufal, kan?"

            "Gue—"

            "Gue boleh ngomong sebentar sama lo?" potong Ghana sambil melangkah mendekati Naufal.

            Naufal kemudian mengiakan ajakan Ghana tersebut dan mereka berdua pun duduk di bangku besi yang terdapat di koridor. Malam ini rumah sakit sudah sangat sepi. Tidak ada lagi orang yang berlalu-lalang. Kedua orangtua Gina sedang pulang sebentar untuk menyiapkan segala keperluan Gina dan mereka di rumah sakit. Rencananya, ayah Gina akan menginap di rumah sakit untuk menjaga anaknya itu.

            Jadi, di sinilah Ghana dan Naufal. Sama-sama menatap ke arah tembok koridor yang dicat putih itu tanpa berniat mengucapkan satu patah kata pun. Keduanya tetap terdiam sampai akhirnya Ghana membuka suaranya.

            "Lo tau nggak, apa bagian terberat dari mencintai?" tanya Ghana dengan pandangan yang masih tertuju lurus ke arah tembok.

            Naufal, yang sedang setengah menunduk itu menoleh sedikit ke arah Ghana, meminta jawaban.

            "Melihat orang yang lo cintai sakit karena lo. Dan karena itu juga, mau nggak mau lo harus ngelepasin dia, meskipun itu berat buat lo," jawab Ghana dengan senyuman getir terukir di wajahnya, dan Naufal menyadari hal itu. "Well, I just want her to be happy, man," lanjut Ghana. "Gue nggak bisa pertahanin dia lagi kalo selama ini yang gue lakuin hanya menyakiti dia. Itu terlalu egois."

            Naufal masih tetap diam. Cowok itu hanya mengembuskan napasnya sekali, kemudian kembali menunduk. Well, sepertinya, Naufal tahu mengapa Ghana mengatakan hal ini. Karena tadi, ketika Ghana sedang berbicara dengan Risa, ibu Gina, Naufal ada di sana. Naufal sedang duduk di dekat mereka sambil diam mendengarkan. Bukan bermaksud untuk menguping, tapi kebetulan saja ia ada di sana dan tak ada seorang pun menyadari kehadirannya.

            "Mungkin abis ini, gue bakal menghilang dari hidup dia. Dan mungkin, dia bakal menganggap gue sebagai cowok berengsek yang nggak tau diri karena udah ngilang gitu aja setelah dia mengorbankan diri dia buat gue. Tapi ini adalah satu-satunya cara buat nebus kesalahan gue sama dia. Gue nggak mau dia menderita lagi karena gue. Gue nggak mau dia nanggung sakit lagi karena gue. Dan gue mau ... dia bahagia tanpa gue," jelas Ghana panjang lebar.

            Naufal mengembuskan napasnya sekali lagi. Entah kenapa, kata-kata yang diucapkan Ghana seperti menohok hatinya. Dirinya ternyata tidak jauh berbeda dengan Ghana. Ia juga telah menyakiti hati Gina berkali-kali, dan entah mengapa, gadis itu masih tetap berada di sisinya, sebagai sahabatnya. Dan sebenarnya, Naufal diam-diam merasa sedikit lega karena akhirnya biang kerok bernama Ghana itu akhirnya memutuskan untuk pergi dari hidup Gina. Tapi di sisi lain, Naufal tidak siap untuk melihat Gina patah hati. Naufal tidak ingin melihat sahabatnya itu bersedih lagi, karena Naufal juga ingin melihat Gina bahagia, meskipun itu bukan dengan dirinya.

            "Tolong jangan bilang ke Gina kalo gue pernah ngomong gini ke lo. Gue cuma mau nitipin—bentar, bukan nitipin, tapi lebih tepatnya, balikin—dia ke lo, karena gue akhirnya sadar, kalo emang lo yang sebenarnya ditakdirin buat Gina. Lo yang bisa bikin dia bahagia. Jadi, tolong lakuin hal itu." Ghana tersenyum di akhir kalimatnya dengan wajah yang sudah menoleh ke arah Naufal, lalu melanjutkan, "Gue pamit. Pastiin Gina bahagia, ya, ketika gue nggak ada." Dan setelah itu, Ghana beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkah pergi.

            Dan senyuman terakhir Ghana di malam itu, masih terpatri di kepala Naufal sampai kepada detik ini. Sebab, Naufal tahu,

            Bahwa merelakan Gina, merupakan keputusan terberat Ghana dalam hidupnya.

***

AKHIRNYA BISA NYENTUH DUNIA ORANYE INI LAGIIIIII

so hepi karena finally bisa balik ngetik lagi huhu😭😭 *pake bahasa anak jaksel wkwkwk*

btw, apa yang ingin kalian katakan setelah membaca part ini? kira-kira Gina jadinya sama siapa nih? Naufal atau Ghana? Komen ya!

Love, alis.

13 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top