/1/
HAL pertama yang Gina lihat ketika membuka matanya adalah langit-langit ruangan yang berwarna putih. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya ia berusaha untuk duduk dan melihat ke sekeliling.
Ini ... di rumah? batinnya. Sejak kapan gue ada di rumah?
Gina memegang kepalanya yang sedikit pusing, lantas teringat sesuatu. Matanya mendelik dan detak jantungnya bertambah cepat. Dengan segera, ia bangkit dari posisi duduknya dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju dapur.
"Eh, Non Gina udah sa—"
"Tadi siapa yang bawa aku ke sini?" potong Gina dan membuat Bi Rosa yang sedang mengelap piring setengah kering untuk dimasukkan ke dalam lemari itu langsung berhenti berbicara.
"Anu ... Bibi sih nggak tau namanya, Non, tapi tadi dia pas dateng bawa kamu tuh babak belur gitu mukanya, kayak abis berantem," jawab wanita bertubuh gempal itu.
"Terus sekarang dia di mana?" cecar Gina lagi.
"Kayaknya sih udah langsung pulang, Non. Soalnya pas Bibi balik lagi buat cek keadaan kamu, dia udah nggak ada. Nggak pamit juga dia," jawab Bi Rosa dan membuat Gina langsung berjalan menuju ruang tamu lagi dan mengambil ponselnya.
Napas Gina tidak teratur sekarang. Matanya basah. Tangannya yang bergetar terus saja menggulir layar ponselnya, mencari satu nama di sana. Gina yakin sekali kalau tadi ia terjebak di tengah tawuran dan hampir saja terkena lemparan batu jika tidak ada orang yang menolongnya. Gina yakin sekali kalau tadi ada orang yang menolongnya, dan orang itu adalah ... Ghana.
Ghana yang juga ikut terlibat dalam aksi tawuran itu.
Kini, pikiran Gina kacau. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan cowok itu? Bagaimana jika ia ditusuk? Bagaimana jika ia ditangkap polisi? Bagaimana jika ia terkena lemparan batu dan tidak sadarkan diri lagi?
Gina terus menerus menggigit bibir bawahnya, sampai akhirnya ia menemukan kontak cowok itu dan langsung menekan tombol hijau. Gina lalu menempelkan ponselnya di telinga sambil terus berharap cowok itu mengangkat panggilannya dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun nyatanya, yang Gina dapatkan hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang sedang ia tuju tidak dapat dihubungi. Tangisan Gina tumpah. Ia mencoba menghubungi nomor cowok itu lagi, hingga akhirnya yang ia dapatkan hanyalah keputusasaan.
Nomor Ghana tidak aktif.
***
Sementara itu, tak jauh dari rumah Gina, seorang lelaki tengah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Cowok itu tidak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi pada dirinya, karena satu hal yang ia tahu:
Dirinya sudah tidak layak lagi untuk hidup.
Bagaimana mungkin ia bisa hidup sekarang, jika ternyata satu-satunya hal yang dapat membuatnya bertahan hidup kini telah lenyap? Bagaimana ia masih bisa menjalani hidup, jika satu-satunya hal yang memotivasinya untuk tetap hidup itu kini telah hancur? Ghana pikir, Gina adalah satu-satunya kunci kebahagiaannya.
Tapi ternyata ia salah.
Karena Gina pun kini telah menjadi penghancur hidupnya.
Kenangan demi kenangan bahagia bersama gadis itu kembali terlintas di benaknya, bersamaan dengan perkataan-perkataan ayahnya yang membuatnya sadar bahwa kata bahagia memang tidak pantas untuk dirinya. Semua tawa, semua tangis, semua canda, semua luka, kini menghantuinya. Pandangan Ghana kosong. Angin sore bertiup kencang, menghempas wajahnya yang dialiri air mata. Lebam di wajahnya bahkan kini sudah tidak terasa lagi.
Dan dengan secepat yang ia bisa, ia melaju pulang ke rumah.
***
Hal pertama yang Ghana lakukan begitu sampai di rumah adalah membuka ruangan yang berada di dalam garasi mobilnya itu, lalu berjalan terseok-seok masuk ke dalamnya. Dengan mata yang basah dan napas yang terengah-engah, Ghana bersimpuh di hadapan sebuah kardus berwarna coklat, lalu membuka tutup kardus itu perlahan-lahan. Ketika kardus itu terbuka, luka lama yang terpendam di hatinya juga kembali terbuka. Pelan. Sangat pelan. Begitu pelan hingga rasanya sangat menyakitkan.
Ghana kemudian mengeluarkan sebuah buku bersampul merah muda dari dalam kardus dengan tangan yang bergetar. Ketika tangannya memegang buku tersebut, air matanya jatuh dan membasahi sampul buku yang sudah berdebu itu. Napas Ghana tidak teratur. Dadanya sesak. Ghana kemudian bersandar pada tembok yang berada di dekatnya, lalu kembali membuka buku itu, seperti tiga tahun yang lalu, ketika ia pertama kali membuka lembaran-lembaran buku tersebut dan menguak rahasia yang tersembunyi di dalam keluarganya.
Pelan-pelan, jemarinya menyentuh lembaran buku yang sudah usang itu, lalu kembali membaca satu per satu kata yang tertulis dalam buku tersebut, sambil menikmati perihnya luka dan dusta yang sudah diciptakan oleh kedua orangtuanya itu. Lembar demi lembar berlalu, dan Ghana akhirnya menemukan foto wanita yang sudah ia cari sedari tadi.
Foto wanita yang terdapat di lemari pajangan rumah Gina.
Ghana mengambil salah satu dari sekian banyaknya foto yang terdapat di sana, lalu berteriak sekencang mungkin. Tidak ada lagi kata yang dapat menggambarkan kehancuran dirinya saat ini. Ghana mengerang, mengeluarkan segala kecewa, amarah, dan sakit yang ia rasakan. Namun, sekencang apapun ia berteriak, sekuat apapun ia menangis, rasa sakit itu tetap ada. Rasa sesak dan penyesalan itu tetap tinggal, bahkan setelah berkali-kali ia mencoba untuk melepaskannya.
Berbagai pertanyaan kini kembali menghantuinya. Kenapa harus Gina? Kenapa dari sekian banyaknya orang di dunia ini, harus Gina yang terlibat di dalam gelapnya masa lalunya? Kenapa harus dirinya yang mengalami semua penderitaan ini? Kenapa ia harus dilahirkan jika ia hanya hidup untuk disiksa oleh luka?
Dan untuk yang ke sekian kalinya,
Ghana merasa ingin mengakhiri hidupnya.
***
Fanya menutup pintu kamarnya dengan napas yang terengah-engah. Matanya basah. Pikirannya kacau. Pelan-pelan, ia terduduk di lantai, lalu bersandar pada pintu kamarnya. Perkataan Refo waktu lalu kembali terngiang di telinganya.
"Ghana ... dia udah punya cewek."
Fanya terisak. Dadanya sesak. Seperbagian dirinya terasa hilang. Sebagian hatinya terasa hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menerima bahwa yang dicintai oleh Ghana adalah kakak tirinya sendiri. Bayangan Ghana yang mencium kening Gina di sofa ruang tamu itu kembali terbesit di ingatannya. Fanya menekuk lututnya, lalu memendam wajahnya di antara kedua lututnya tersebut. Dirinya kembali mengingat wajah bahagia Gina yang habis pulang dari suatu tempat yang ia kira bersama Naufal, tapi nyatanya adalah bersama Ghana. Ia juga baru sadar bahwa boneka besar yang terdapat di kamar kakaknya itu ternyata berasal dari Ghana.
Jika Fanya tahu kalau akhirnya akan menjadi seperti ini, mungkin ia tidak akan pernah menaruh rasa pada cowok itu. Jika Fanya tahu kalau pemilik hati Ghana ternyata adalah Gina, mungkin ia tidak akan pernah berharap pada cowok itu. Tapi sayangnya, semuanya sudah terjadi. Fanya sudah telanjur menyukai cowok itu, dan ia tidak tahu bagaimana cara menghilangkan rasa sakit di hatinya sekarang.
Dan kini, Fanya mengutuk garis takdir yang mempertemukannya dengan Ghana.
Karena kini ia tahu, bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan bersama cowok itu.
***
Kenapa pendek kak? Karena aku nggak kuat nulisnya :"
Udah lama nggak nulis dan sekalinya nulis langsung yang begini. Mau menangis :""
Oiya, karena udah lama nggak nulis, aku takut kalau gaya nulis aku jadi beda atau jadi nggak dapet feelnya. Jadi tolong komen ya kalo kalian merasa ada apa-apa gitu, biar aku bisa perbaikin dan kita bisa sama-sama enak juga kan bacanya hehehe.
Anyway, buat yang baru baca banget dan nggak ngerti ini kenapa bisa tiba-tiba begini, kalian harus beli buku pertamanya dulu ya biar bisa lebih ngerti! Kalian bisa beli di shopee atau di tokopedia (kalau di shopee gratis ongkir), dan kalau kalian belinya di store aku, kalian bisa dapet diskon loh! PvsC jadi 65k, G & G jadi 55k, dan Januari jadi 55k. Udah sama TTD loh! Ayo tunggu apa lagi! Apalagi khusus buat yang beli Januari, kalian juga bisa dapet special note-nya. Bagi yang mau beli, bisa langsung DM aku ya! Thank u <3
Luv, alis.
8 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top