9. Si Penguntit Mengancam
Aku dan Wio menghabiskan waktu beberapa menit untuk diam bersama. Masing-masing dari kami menikmati suasana sejuk yang nyaman dengan suara mesin kendaraan yang menjadi lagunya.
Kami akhirnya beranjak saat terdengar teriakan Shinta kalau dia mencari kami. Aku bergegas pergi dengan Wio mengekori, dan kami menemuinya.
Bukan tatapan puas yang kami dapat, melainkan tatapan lebar tidak percaya. Ternyata tidak hanya Shinta yang mencariku, tapi Wursi dan Lana juga.
"Kalian ke mana? Berdua?" Lana menunjukkan dua jari tangannya. "Apa yang kalian lakukan?" Dia sudah memikirkan yang bukan-bukan. Aku sontak mencuramkan alis dan berkacak pinggang.
"Apa salah jika aku bersama Wio?" tanyaku.
"Ti-Tidak." Lana menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Bukankah selama ini kau selalu menghindarinya? Maksudku jika kau ingin ke suatu tempat, kau ingin aku atau Wursi yang menemanimu karena Wio pasti ikut dan dia pasti berpikiran mesum padamu."
Aku membuang napas. "Aku hanya ingin minta maaf kepadanya, sendirian." Aku menekan kata terakhir. "Aku pernah menuduh kalian berkata yang bukan-bukan dan membenarkan aku pengedar. Ternyata yang melakukan adalah anggota kelompok G.A.N.J.A."
"Cobalah berpikir positif saat kami sedang bersama. Tidak selamanya pikiranku selalu tentang mesum, mesum, mesum, dan mesum." Wio menyambung percakapan. Dia menarikku ke badannya, lalu mendekapku, dan aku sontak berteriak marah sebelum menginjak kakinya dan menampar pipinya.
"Mesum lagi!?" Aku berteriak tak suka.
"Sudah. Jeffry mencari kalian. Jangan bertengkar sekarang. Dia tidak menoleransi keterlambatan." Jika Shinta tidak berkata seperti itu, aku sudah melenyapkan Wio dari depanku. Dia benar kalau pikirannya tidak selalu mesum, tapi sekali mesum dia menyebalkan.
Aku menatap tajam Wio untuk sejenak sebelum melenggang pergi bersama Wursi dan Lana. Wio kembali mengekoriku, aku sempat berbalik takut dia memelukku dari belakang dan ternyata dia berhenti beberapa meter tepat di belakangku.
Aku kembali menoleh ke depan dan menaiki tangga.
"LEPASKAN!"
Sesampainya di lantai atas, teriakan penguntit yang diikat terbalik terdengar. Dia memberontak walau terlihat lelah. Diikat terbalik menguras tenaganya.
Jeffry ada di depannya, dia tidak menoleh kala mendengar derap kaki kami yang naik ke lantai atas. Dia memegang sebuah balok kayu, balok kayu itu panjang. Albeta mengelilingi si penguntit, memanas-manasinya dengan kata-kata meremehkan, dan si penguntit kembali memberontak ingin memukul Albeta.
Linda, Bu Rasih, dan Pak Ari sepertinya masih berjaga. Shinta pergi dari sampingku dan bergabung dengan Jeffry.
Aku sengaja tidak mengikutinya. Aku lebih ingin melihat dari jauh dengan Wio, Wursi, dan Lana ada di belakangku, tidak beranjak juga.
"Lepaskan, Bodoh!" pinta si penguntit. Jeffry menyeringai--bahkan walau dia membelakangiku, aku dapat merasakan dia tersenyum mengerikan.
"Tidak akan, Payah!" Perkataan di penguntit barusan ditujukan kepada Jeffry, tapi malah Albeta yang menyahut.
"Aku tidak bicara padamu, Bangsat!"
"Sebut aku bangsat untuk sekali lagi, Dandi! SEBUT AKU BANGSAT SEKALI LAGI!" Albeta berteriak keras. Si penguntit sontak diam. Albeta akhirnya membentaknya untuk diam dengan kalimat yang sama sekali tidak ada unsur membentak di dalamnya.
Si penguntit bernama Dandi itu akhirnya melayangkan tatapan tajam kepada Jeffry. Dada Albeta naik-turun, dia lalu menjauh dari Dandi dan menormalkan sikapnya.
Kali ini Jeffry bertindak, dan aku melangkah maju untuk mendengarkan apa yang mereka katakan.
"Kau sudah salah menguntit kami, Dandi." Jeffry menarik rambut Dandi ke bawah dan dia mendongak. Mata Dandi bergulir ke balok kayu berat di genggaman Jeffry, lalu kembali menatap Jeffry.
"Kalian lebih salah karena mengikatku terbalik seperti ini," sahut Dandi. "Kalian akan merasakan akibatnya. Tunggu saja waktunya." Jeffry menyeringai.
Jeffry melepas rambut Dandi dengan kasar dan mengangkat balok kayunya untuk memukul. Aku sontak menghentikan, membuat Jeffry menoleh padaku. Shinta tampaknya tidak ingin ikut campur dan menjauh beberapa langkah.
"Ini urusanku, Nia." Jeffry berkata penuh penekanan.
"Kau ingin membunuhnya?" Aku menggeleng. "Jika kita membunuhnya, maka-"
"SIAPA YANG BILANG KALAU AKU INGIN MEMBUNUHNYA!?" Jeffry memotong perkataanku. Aku mematung dibuatnya. Matanya berkobar, mataku melebar. Kami berdiri mematung bersama sebelum Jeffry membuang napas dengan keras dan menjatuhkan baloknya.
"Sebelum G.A.N.J.A. menyelamatkannya, lebih baik kita menyiksanya agar jera." Dandi terbelalak. "Kau menghentikanku. Apa masalahmu?" tanyanya pada diriku.
"Kau 'kan bisa mencari benda lain selain balok itu." Aku menunjuk ke balok di genggaman. "Dulu kau tidak memakai itu. Berperikemanusiaanlah sedikit."
Jeffry mengusap wajah. "Lalu dengan apa, huh? Pukulan?" tebaknya.
Aku mengangguk.
Jeffry menatapku sejenak, dia lalu mengepalkan tangan. Dia menyiapkan tinjunya dan memukul tepat di perut Dandi, mulut lelaki itu langsung mengeluarkan dahak bercampur darah.
Jeffry melakukannya berkali-kali: di perut, wajah, atau dada. Untuk dada, dia sengaja memelankan pukulannya. Dia tidak mau Dandi pingsan karenanya, menyiksa tidak akan menyenangkan jika yang disiksa pingsan.
Dandi hanya mengerang dan meringis saat kesakitan. Tubuhnya mulai memar dan setelah dirasa cukup, Jeffry berhenti.
Kalau mengikuti kata hati, aku ingin ikut memukul. Lelaki di depanku sudah memotret yang bukan-bukan tentangku dan ini waktu yang tepat untuk membalas.
Aku menahan diri, aku tidak boleh bersikap sok pendendam. Aku tidak ingin ditimpa masalah serius lagi, sumpah! Akhirnya aku memutuskan untuk menyaksikan.
"Kau tidak cocok berada di kelompok G.A.N.J.A.," kata Jeffry. "Atau sebenarnya, G.A.N.J.A. tidak seharusnya ada di dunia ini."
"Diam kau!" Walaupun kesakitan, Dandi masih bisa menyahut. "Jika G.A.N.J.A. bisa membebaskanku, maka kau dan teman-temanmu itu akan mati dibunuh."
Jeffry terkekeh, lalu tertawa keras. "Dibunuh?" Dia tidak percaya. Jeffry menegakkan badan dan menghela napas. "Mereka tidak akan berani melakukannya."
"Tentu saja mereka berani. Kalian adalah tim yang lemah, terlebih menyelamatkan empat orang yang berbaju sama itu." Dia menatapku, Wio, Wursi, dan Lana bergantian. "Kalian akan mati, bahkan sebelum kalian menyadarinya. Andi tidak akan membiarkan kalian hidup. Kalian pantas untuk mati."
"Seharusnya kau berpikir sebelum bicara, Dandi," sahutku. "Mungkin kaulah yang akan mati sebelum menyaksikan kami mati."
Jeffry menoleh padaku. "Lebih baik selama kami memberimu kesempatan hidup, tutup mulutmu! Jangan membicarakan omong kosong. Tidak ada yang mempercayai omonganmu."
"Ngomong-ngomong, aku percaya." Lana!
Setelah berkata demikian, suasana berubah perlahan menjadi tenang. Dandi tidak berkomentar, dia memejamkan mata menahan sakit dan meringis sesaat, sebelum Jeffry berbalik dan meninggalkannya.
Shinta langsung mengikutinya yang turun ke lantai bawah. Aku yang mulanya menoleh ke arah kepergian Jeffry, menoleh lagi kepada Dandi yang masih menutup matanya.
"Albeta, jaga dia!" suruhku. Aku tak mau berlama-lama menatap si berengsek di depanku itu. Aku pun berbalik setelah Albeta mengangguk.
Aku tak berniat untuk turun, entahlah, aku bingung sendiri jadinya. Turun ke bawah, apa yang akan kulakukan? Tidak ada. Aku membalik badan dan akhirnya duduk di tepi lantai yang tak didinding.
"Katanya mau pergi?" tanya Albeta dari jauh, memain-mainkan tali tambang yang mengikat Dandi.
"Aku tidak punya pekerjaan. Kurasa aku di sini saja, membantumu menjaga," jawabku.
"Ah, aku sangat berterima kasih!" Dia melagukan perkataannya. Aku berdehem kecil, lalu di sampingku, aku dan teman-temanku duduk bersama.
Terkadang kami berbicara pada Albeta, entah hal apa pun yang ingin kami bicarakan. Lelaki supel yang terkadang gila itu selalu menyahut, membuat kami tertarik untuk bercakap dengannya.
Seperti Lana yang bertanya apakah ada perubahan pada Linda. Linda dulunya seorang yang sangat pendiam, dia hanya akan bereaksi jika dirinya terancam.
Dan juga, satu pertanyaan kami yang 4 tahun lalu berusaha dijawab sendiri; apakah Pak Ari dan Bu Rasih suami-istri. Albeta agak segan untuk menjawab, sampai aku berkata, "Kau bisa menjawabnya jika kau sudah siap." Dan tepat setelah itu, dia menjawab dengan cepat.
"Ya, mereka suami-istri. Suami-istri yang menjadi penjahat karena anak mereka dibunuh perampok."
Ah, makanya mereka terlihat ramah kepada anak-anak dan sekali bertindak agak mengerikan. Aku dan yang lain manggut-manggut, membicarakan hal lain kembali, sampai kami lupa kalau Dandi tertidur lelah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top