8. G.A.N.J.A. Punya Banyak Anak Buah
"Ceritanya panjang."
Memangnya ada ceritanya pendek? Terlebih mengenai empat orang remaja yang dijebak dan dituduh kepolisian?
"Untuk itulah ceritakan sekarang selagi kau masih punya waktu," pintaku.
Jeffry berbalik, menatap permukiman. Dia gundah untuk sesaat. Wio, Wursi, dan Lana mendekatiku.
"Aku bingung memulai dari mana," kata Jeffry. "Kalian pasti mengira kalau aku mengada-ada."
"Belum cerita mana tahu," sahut Wursi yang akhirnya direspons buangan napas dari Jeffry.
"Kemarin sore, kami mendapat telepon dari salah satu anggota G.A.N.J.A. Dia meminta kami untuk bergabung ke sebuah hal, tapi kutolak karena penjabaran hal apa yang membuat kami harus bergabung tidak jelas dan juga aku menyimpan dendam kepada pemimpin mereka.
"Pak Ari sedang mencari target di pinggir kota sebelum melihat mobilmu masuk ke kota. Mobilmu--yang jika kau sadar--diikuti oleh seseorang dan Pak Ari mengikutinya.
"Kalian berhenti di sebuah hotel dan anggota G.A.N.J.A. itu pergi. Pak Ari pulang dan memberitahu kalau awak akan dijebak.
"Kami belum tahu kalau saat itu awak sudah dijebak. Sampai akhirnya kami kembali ke hotel dan sempat memergoki dua orang polisi membuka paksa pintu mobilmu.
"Mereka memasukkan sebungkus ganja ke kursi supir sebelum kau datang dan mematikan mobil. Aku cukup hafal wajah para mantan anggota dan anggota G.A.N.J.A., jadi kurasa mulai saat itu kau mulai dijebak."
Jeffry membuka laci meja yang didudukinya dan mengeluarkan selembar foto. "Aku dan Pak Ari mengikutimu, jaga-jaga kalau G.A.N.J.A. kembali berulah padamu. Bukannya G.A.N.J.A. yang datang, polisi yang menyamar menjadi pemudik--kali ini polisi sungguhan--menghentikanmu.
"Aku belum tahu bagaimana bisa mereka menganggap kalau kau yang memiliki sebungkus ganja itu." Jeffry menyodorkan foto di tangannya ke tanganku dan aku mengambilnya.
Foto itu sama dengan foto dalam stopmap folio yang disodorkan Bripka Melati kemarin siang.
"Aku mengikutimu sampai ke kantor porles, lalu saat semua orang lengah akibat teriakan ketidakterimaanmu, aku mengambil stopmap di atas meja interogasi dan mengambil salah satu fotonya."
Aku mendongak dari foto di tangan. "Itu berbahaya," ujarku. "Bagaimana jika mereka mencarinya?"
"Polisi?" Jeffry terkekeh. "Mereka tidak akan mencari itu."
Aku terdiam. Memang, polisi tidak mencari foto itu karena mereka punya cadangan di kamera mereka.
"Justru, Nia." Jeffry bangkit dan mengambil pelan fotonya dari tanganku. "si pemotretlah yang akan mencarinya. Dan kau tahu? Hampir semua orang yang terlibat kasus ini pernah bekerja pada G.A.N.J.A."
"Jadi." Aku dan Jeffry menoleh pada Wursi. "si pemotret, orang yang bertransaksi dengan wajah Nia, serta orang yang ditransaksi, merupakan orang-orang yang bekerja pada G.A.N.J.A."
Jeffry mengiyakan. "Dan .... Kejutan! Penguntit yang diikat di lantai atas adalah pemotretnya."
"Apa!?"
"Dia mencari foto ini. Sangat mengherankan foto yang disimpan rapi di dalam stopmap folio hilang entah kenapa." Jeffry menggoyang-goyangkan foto di tangannya. "Seseorang pasti memberitahunya kalau ada orang yang tahu Nia tidak bersalah dan orang itu profesional di bidang pencurian." Perkataannya terkesan menyombongkan diri. "Dan seseorang itu tahu siapa pencurinya, yaitu aku--lagipula aku terang-terangan memancingnya dengan cara menampakkan wajah ke CCTV."
"Jadi, dia ingin mengambilnya kembali sekaligus membeberkan lokasimu. Mungkin karena sibuk mencari dan menguntit, dia lupa memberitahu lokasimu pada atasannya." Jeffry kembali menyimpan foto tersebut dalam lacinya. "Pak Ari berhasil menggagalkan, dia cukup berpengalaman dalam bidang peretasan. Aku sudah merasakan ada seseorang yang mengintaiku, tapi aku diam saja."
Tepat saat itu, Shinta dan Albeta turun dari lantai atas. Mereka meletakkan senjata di tempat senjata itu semula berada dan melapor kalau mereka sudah mengikat terbalik si penguntit.
"Kerja bagus," puji Jeffry. "Beristirahatlah." Shinta dan Albeta mengangguk sebelum pergi ke atas lagi untuk menjaga si penguntit sekaligus beristirahat.
"Apakah benar dia belum membeberkan lokasiku?" tanyaku yang merasa masih ragu.
Jeffry menoleh. "Dia terlalu fokus mencari di mana foto yang kucuri berada. Dia juga terlalu fokus menguntit, memperhatikan diam-diam aktivitas orang-orang sini, dan mendengarkan perbincangan kita tadi pagi. Karena itulah aku selalu bilang 'Padahal Wio tahu' yang sebenarnya dia tak tahu." Wio mencuramkan alis. "Aku ingin memancing si penguntit untuk mendekati Wio yang masih dalam pengawasanku.
"Sejak dia tahu kalau aku-lah yang menyelamatkan kalian, dia sadar betapa pentingnya membeberkan lokasi kita kepada pemimpinnya. Namun, dia sudah sangat terlambat. Kami berhasil mengetahuinya dan membatalkannya." Jeffry melewatiku dan yang lain. "Aku ingin ke atas. Jangan khawatir, Pak Ari, Bu Rasih, dan Linda menjaga bangunan ini. Aku jamin tidak akan ada lagi seorang penguntit masuk ke sini." Dia pergi ke atas.
Aku dan teman-temanku menatap kepergiannya. Jawabannya agak memuaskan. Rasa curigaku pada Jeffry mulai berkurang. Aku menoleh pada teman-temanku dan mereka menatapku.
"Sepertinya kita salah mencurigainya. Dia betindak untuk kita," kata Wursi.
"Namun bukan berarti kita mempercayainya sepenuhnya," sahut Lana.
"Memangnya ada yang janggal dengannya sampai-sampai kau tidak mempercayainya sepenuhnya?" tanya Wio.
"Lana benar, Wio. Kita belum boleh mempercayai Jeffry sepenuhnya. Kita hanya perlu yakin kalau Jeffry membantu kita sampai akhir. Terkadang akan ada yang namanya pengkhianatan." Aku ditatap kembali oleh teman-temanku.
Tidak ada yang menyahut. Kami pun berpencar. Beberapa berkeliling bangunan, beberapa ke atas untuk melihat kondisi terkini penguntit. Aku dan Wio memilih untuk berkeliling.
Saat berkeliling, aku menunduk. Aku memikirkan perkataanku di mana aku marah kepada Wio. Setelah aku tahu kalau itu bukan suaranya, aku menyesal. Aku tak tahu harus meminta maaf dengan cara bagaimana, makanya aku ikut dia.
"Suasananya sangat nyaman." Lagi-lagi, lelaki itu memuji sekitar. Dia menghirup napas panjang dan menghembuskannya dengan senyuman.
Jika aku tidak kuat iman, senyumannya itu akan membuatku diabetes. Begitu manis, tapi aku membuang muka ke arah lain.
"Aku jadi ingat Sentra." Aku menoleh pada Wio dan Wio juga menoleh kepadaku. "Masih ingat saat subuh kita berjalan bersama untuk pulang?"
"Aku masih ingat," jawabku. "Kita berjalan beberapa kilometer dan rasanya bukan lelah, tapi senang karena cuacanya sejuk dan kita berjalan bersama--hari itu aku cukup khawatir awak akan mengapa-apakanku karena aku memakai baju ketat." Aku terkekeh.
"Jika kau ingin tahu, aku sangat ingin melakukannya saat itu juga bersamamu." Wio menjilat bibirnya. "Kau benar-benar lebih dari seksi, kau tahu?" Dia mendekatkan tubuhnya padaku.
"Wio!" Tanganku sudah terkepal untuk meninju Wio jika dia tidak mundur dan terkekeh serak.
Kalau boleh mengakui, Wio benar. Aku lebih dari seksi saat berhasil lolos dari kejaran S.A.B.U. Apalagi kami hanya berdua saat mencari jalan keluar dari hutan. Saat itu dia menahan mati-matian agar tidak melecehkanku.
"Maaf."
"Maaf diterima."
Kami pun diam dan menatap ke depan. Terdengar riuh bunyi mesin dari kejauhan dan klakson yang sekali-kali bergema.
"Wio," panggilku, "aku minta maaf juga karena marah kepadamu."
Wio tampak bingung. "Marah kepadaku? Kapan?"
"Kemarin malam saat aku akan dimasukkan ke dalam penjara."
Wio mengangguk-angguk. "Aku 'kan sudah bilang kalau aku bukan pelakunya. Lain kali jika pikiranmu kacau, tetaplah berpikir positif terlebih kepada teman-temanmu, Nia."
Aku suka jika Wio berubah menjadi bijak. "Aku kira sangat tidak mungkin ada yang mengirim rekaman palsu kepada polisi. Hukumannya sangat berat jika seseorang melakukannya. Jadi, aku marah padamu."
Wio mengangkat tangannya, hendak mengelus rambutku tapi aku menepisnya.
Wio terkekeh lagi. "Saat diinterogasi, ada yang bertanya siapa kau dan apa hubunganku denganmu. Aku menjawab 'Nia pacarku. Aku cinta dia sampai mati' dan saat itu aku sadar kalau perekamnya tidak berjalan."
"Siapa juga yang mau merekam perkataan konyolmu kalau aku pacarmu?" Aku tertawa kecil.
"Siapa tahu ada. Jika ada, maka dia akan menjadi saksi bukti cintaku padamu."
"Halah!" Aku menampar lengan Wio, tidak terlalu kencang. Kami tertawa bersama dan kemudian menikmati pemandangan dalam diam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top