7. Ada Penguntit!

S.A.B.U. Kelompok yang sangat ingin kumasukkan ke penjara itu membantuku. Aku merasa bersalah. Dulu aku membenci mereka dan sekarang mereka menolongku.

Aku berprasangka baik dan juga buruk kepada mereka. Baiknya, S.A.B.U. mungkin akan berhenti jadi pengedar dalam waktu dekat--mereka memiliki pekerjaan sampingan selain mengedar, walaupun kurasa pekerjaan baru mereka itu juga haram. Buruknya, aku takut mereka berpura-pura dan diam-diam bekerjasama dengan G.A.N.J.A. Mereka mengetahui kronologi lengkap aku dijadikan pelaku oleh kepolisian.

Aku ingin menanyakannya kepada Jeffry beberapa jam setelah dia menceritakan kronologi, tapi dia sedang tidak ada di tempatnya. Aku mencari ke sana dan ke sini sebelum bertemu Shinta yang tahu-segalanya-tentang-Jeffry.

"Jeffry mana?" tanyaku pada gadis yang memakai kaos lengan pendek dan celana yang tak kalah pendek itu.

Shinta menyibak rambutnya, lalu meletupkan permen karetnya sebelum menjawab. "Tadi dia ke ... entahlah, dengan mobilku. Dia bersama Pak Ari." Mendadak dia melambai. "Bu Rasih! Bisa ke sini sebentar?"

Aku menoleh ke arah dia melambai. Di arah yang kutatap, seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi sedang membawa batu asah dan menghampiri kami.

"Apa, Nak?"

"Pak Ari tadi ke mana?" tanya Shinta. Pertanyaanku yang diwakilkan membuatku diam dan menunggu jawaban.

"Biasa." Bu Rasih menaikkan dua alisnya. "Beli sabu."

"Jika aku jadi kalian, akan kugunakan uang itu untuk membeli makanan." Aku melipat tangan. Bu Rasih tak menghiraukan--dia masih membenciku karena 4 tahun yang lalu aku melempar batu ke kepalanya.

"Tumben Jeffry membeli." Shinta mengelus dagu. "Ada pembeli?"

"Sepertinya begitu."

"Mereka pergi ke mana?" tanyaku.

"Pokoknya pinggir kota." Bu Rasih akhirnya menyahut perkataanku. "Sudah selesai bertanyanya?" Bu Rasih berbalik. "Ada benda yang harus kuasah." Dia pun melenggang pergi.

Shinta menoleh padaku, aku juga menoleh padanya. "Awak sudah dapat jawabannya, 'kan? Jadi tunggu saja."

Aku meniup poni rambut. "Baiklah. Terima kasih." Shinta melewatiku. Terdengar letupan permen karetnya yang ditiup sebelum aku pergi menemui Wio dan teman-temanku.

Baju oranyeku melambai-lambai diterpa angin. Aku pergi ke lantai atas dan melihat Wio, Wursi, dan Lana duduk di lantai, menghadap ke luar di mana rumah-rumah penduduk berjejer di bawah. Mereka saling bercakap-cakap sebelum menoleh saat aku menyeru. Aku duduk bersama mereka, di samping Wio, sebelum memejamkan mata karena angin sejuk yang berhembus.

"Kau tahu, Nia?" Aku membuka mata dan melirik Wio. "Jeffry bertingkah cukup mencurigakan."

Aku mengernyit. "Maksudmu?"

Lana menyahut. "Dia tahu kalau kita tidak bersalah dan dia tahu siapa pelakunya."

"Aku khawatir dia menjadi pengkhianat," sambung Wio. "Mereka adalah rekan kerja--walaupun tahu mereka sudah berpisah. Mereka bisa saja bekerjasama untuk balas dendam kepadamu--terlebih Kana terbunuh dan kita dianggap dalang oleh mereka."

Aku menyimak perkataan mereka. Aku juga curiga dengan Jeffry. "Setelah dia datang, kita tanyakan kepadanya, bagaimana dia bisa tahu kronologi lengkap kita ditangkap oleh polisi."

"Dia ke mana memangnya?" tanya Wio.

"Pinggir kota, beli sabu," jawabku. "Ada pembeli. Biarkan dia bekerja dulu, lalu setelah pulang, kita beri dia pertanyaan."

Wio, Wursi, dan Lana saling pandang. Kami berempat lalu berbincang ringan dan memuji cuaca sejuk sehabis hujan badai.

"Nia, apakah kita masih bisa pergi ke Balikpapan?" tanya Lana kepadaku, membuatku menunduk tak tahu jawaban. Universitas memberiku libur 3 minggu, dan sekarang sudah menjalani 2 minggu.

"Kita masih punya banyak waktu," jawabku.

"Maksudku, apakah kita bisa berlibur bersama-sama?" Lana memperjelas. "Kita berada pada status yang sangat buruk--buronan. Siapa tahu salah satu dari kita tertangkap dan yang tersisa dijadikan tersangka."

Aku diam. Aku juga tidak tahu apakah kami masih bisa liburan. Yang aku tahu, kami berada pada fase di mana orang-orang membenci kami. Jika kami tetap ingin berlibur, bukan kesenangan yang akan dirasakan, melainkan kesedihan karena ditangkap polisi lagi.

"Jangan bertanya seperti itu, Lana," sahut Wio. "Jika kita tidak bisa liburan, kita bisa liburan lain kali." Aku menatap Wio. "Lebih baik kita fokus untuk melepas status pelaku kita di kepolisian." Wio menoleh padaku. "Tidak mungkin kita liburan sambil menyandang status buronan."

Aku dan Wursi terkekeh.

"Kuharap kita punya bukti berbentuk fisik untuk melepas status menyebalkan ini." Lana membuang napas. "Aku tidak mau berurusan dengan polisi."

"Sudah cukup kita hampir mati karena melibatkan Pak Wendy dalam pencarian S.A.B.U." Perkataan Wursi itu membuatku mengenang masa lalu. "Jangan lagi suatu hari nanti."

Kami berempat menatap langit. Entah apa yang kami pikirkan. Aku membaca pikiran Wio--sangat mudah ditebak dari cara pandang nakalnya padaku. Sepertinya setelah Wursi mengingatkan kami dengan kejadian 'epik' 4 tahun lalu, pikirannya penuh dengan diriku yang memakai baju minim. Aku menyenggol lengannya, ingin menamparnya karena kembali berpikiran mesum tentangku, sebelum terdengar suara mobil dari luar.

"Jeffry." Aku dan tiga lainnya sontak berdiri dan turun ke bawah.

Kami pergi ke depan untuk menyambut Jeffry seakan-akan dia seorang raja. Kami seperti para penggelar karpet merah untuk bangsawan terhormat yang diundang ke acara orang kaya.

Sampai di depan, kami berhenti. Jeffry berjalan tergopoh-gopoh ke dalam, tidak menyapa kami padahal sebelumnya dia senang melakukan itu.

Tidak ada yang dapat menghentikannya, kecuali Shinta. Saat ditanya, dia menjawab berbisik dan kami penasaran.

Shinta akhirnya ditinggalkan dan gadis itu bergegas ke tempat kami. Pak Ari dengan kumisnya mengikuti Jeffry ke atas.

"Ada apa?" tanya Albeta.

"Ada penguntit," jawab Shinta. Dia meludahkan permen karetnya dan mulai menyuruh. "Jeffry ingin kita tetap bersama. Bu Rasih, Albeta, ambil senjata!"

Yang disuruh segera pergi ke tempat di mana mereka menyembunyikan senjata.

"Linda, jaga mereka berempat!" suruh Shinta kepada seorang pendiam berambut kusut. Linda mengedipkan matanya pertanda dia mengerti dan menghadap ke arah kami.

"Kami bisa membantu kalian," tawar Wursi.

"Tidak, yang menguping bukan penguping sembarangan," tolak Shinta. "Tetap bersama dengan Linda. Linda, ini senjatamu."

Linda meraih senjata dan memeriksa peluru.

"Boleh kami mendapatkan senjata juga?" pinta Lana, mengedip-edipkan matanya.

"Tidak."

Shinta langsung berbalik dan pergi ke suatu arah bersama Bu Rasih dan Albeta. Aku menatap Linda yang duduk di rerumputan bangunan. Aku dan teman-temanku saling pandang, lalu bertanya kepadanya sebelum dia menutup telinga.

Dor!

Aku sontak tiarap ke tanah, teman-temanku duduk jongkok di sampingku. Kami kaget mendengar ledakan peluru, dan saat ingin bertanya lagi, suara dor kedua terdengar.

Kemudian aku mendengar teriakan Jeffry yang sedang menyakiti seseorang. Suara orang dipukul terdengar jelas dari gaung bangunan itu, membuatku menoleh ke asal suara.

Setelah merasa kalau tidak ada peluru lagi yang diledakkan, kami membuka telinga. Samar-samar terdengar derap kaki, yang ternyata milik Jeffry yang menarik seorang lelaki dengan kasar.

Jeffry melemparkannya, tepat di depanku, teman-temanku, dan Linda.

Orang yang dilempar hanya meringis dan meminta ampun. Shinta, Bu Rasih, dan Albeta mengarahkan senjata padanya dengan Pak Ari berdiri di belakang Jeffry.

Jeffry jongkok, diraihnya kerah baju lelaki yang sudah lebam itu. Sejenak aku memperhatikan bajunya yang terdapat logo huruf G. Jeffry memukul orang itu tanpa banyak kata dan membuatku berdiri untuk menghentikan.

"Kenapa kau memukulnya?" tanyaku keras. Jeffry yang hendak melayangkan tinjunya kembali, menoleh padaku.

"Jangan berani-berani menghentikanku." Tak menjawab, lelaki itu malah melayangkan tatapan mengancam kepadaku.

Jeffry menoleh lagi pada lelaki di depannya. "Lelaki ini penguntit dari G.A.N.J.A. Dia ingin membeberkan keberadaanmu, Nia." Aku terbelalak. "Untunglah Pak Ari berhasil menggagalkannya."

Aku tidak peduli bagaimana Pak Ari menggagalkannya, yang aku tahu aku marah karena penguntit itu ingin membeberkan lokasiku.

"Ti-Tidak. Aku tidak ingin membeberkan lokasi-"

"OMONG KOSONG!!!" Bugh! "Kita sama-sama pembohong, Bangsat! Dan aku tahu kalau kau berbohong."

Si lelaki tampak murka. "Jadi maumu apa? Kau ingin aku jujur?" tanyanya tak kalah keras. "Baik, aku jujur, aku memang menguntit. Aku dari G.A.N.J.A., kau paham? Sekarang apa yang ingin kaulakukan? KAU HANYALAH ORANG IDIOT YANG MEMIKIRKAN-"

Bugh!

Semurka-murkanya si lelaki, lebih murka Jeffry yang berubah jadi iblis. Si lelaki mengerang keras dan terduduk lemas di tangan Jeffry.

"Apa yang kalian rencanakan, huh? Apa yang kalian mau!?" Ganti Jeffry bertanya. Pertanyaan itu tidak terjawab kala lelaki tadi pingsan akibat tak dapat menahan sakit.

Jeffry baru saja hendak memukul guna menyadarkannya sebelum Shinta menghentikan tangannya. "Lebih baik dia diikat terbalik sampai sadar. Jika kau membunuhnya, kita tidak akan tahu apa yang G.A.N.J.A. rencanakan." Jeffry berangsur tenang.

Lelaki itu melempar lawannya ke tanah dan berlalu sambil memijit pelan jari-jari bukunya. Lelaki yang dilemparkan ditarik oleh Shinta dengan Albeta yang pergi mengambil tali tambang.

Aku masih berdiri di tempat dan tak sadar kalau teman-temanku memanggilku. Sekali sadar, saat Linda menggoyangkan tangan di depan wajahku dan berlalu tanpa menunggu kata-kata yang ingin kuucapkan.

Ternyata benar dugaanku, ada seseorang selain kami di gedung setengah jadi itu. Orang itu menguntitku dan tahu kalau aku bebas. Pertanyaannya, kenapa dia tidak memberitahu pemimpinnya kalau aku bisa ditangkap?

Dia seperti menunda waktu sampai Pak Ari mengetahui kelakuannya, membuatku curiga kepada S.A.B.U. kalau mereka bekerjasama.

Itu mungkin terjadi, mengingat S.A.B.U. dan G.A.N.J.A. memiliki dendam denganku dan tiga temanku. Mereka pernah menjadi rekan kerja, maka tidak mungkin S.A.B.U. tidak membantu mereka.

Mendadak aku teringat beberapa pertanyaanku menyangkut kronologi diriku dan teman-temanku dijadikan pelaku oleh polisi. Aku bergegas menghampiri Jeffry yang mengobati tangannya dan menyeka darah dengan bajunya.

Melihatku menghampiri, Jeffry menoleh. Dia mengusap wajah dan menatapku tak suka. "Ada apa?" Dia berubah judes. Pikirannya kacau.

"Baiklah kalau kau tidak mau di-"

"Ada apa, Nia?"

Baru saja hendak berbalik karena tak enak, aku dihentikan oleh Jeffry yang sontak meraih tanganku. Aku berbalik dan menyentak tanganku darinya, lalu tanpa basa-basi bertanya, "Kau tahu dari mana kalau G.A.N.J.A. menjebak kami?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top