6. Kembali Berhadapan Dengan Kelompok Berbahaya

10 nasi campur tergeletak di atas terpal yang menjadi alas. Angin kencang pertanda badai yang akan datang menerpa kemah terpal yang berada di dalam bangunan setengah jadi itu.

Bangunan itu berada di atas bukti, bisa terlihat permukiman warga dari sana dan sungai Mahakam terbentang jauh yang di depan. Bangunan itu sudah ditinggalkan, ada tanda di depannya menunjukkan kalau bangunan itu telah dihentikan karena uang yang digunakan merupakan uang korupsi.

Mungkin karena tidak ada yang ingin menghabiskan uang dengan menyewa mobil penghancur, bangunan setengah jadi itu dibiarkan. Banyak graviti dan tanaman merabat, jika saja tak hati-hati saat berjalan, aku akan menginjak ekor anak ular atau menginjak sampai mati anak katak yang bersembunyi.

"Biar kutebak, kalian membeli nasi bungkus ini dengan uang haram?"

Nasi bungkus sama dengan nasi campur, di daerahku. Di mana nasi bercampur kuah kental kacang gado-gado, lauk ayam atau ikan dengan kacang hijau goreng, tempe goreng yang dipotong kecil-kecil, dan kerupuk sebagai tambahan.

Wursi beringsut mundur. Dia seorang yang tulen dalam agamanya. Agamanya mengajarkan agar tidak memakan makanan yang dibeli dari hasil penjualan narkotika--apa pun yang diharamkan. Katanya sifat si pembeli yang membeli dengan uang hasil penjualan itu akan turun kepadanya, dia tidak mau itu terjadi.

"Jangan sok suci, deh." Shinta mengibaskan tangan. "Makan saja. Lagipula kau punya uang?"

Wursi mencuramkan alis. "Aku tidak boleh makan makanan haram."

Shinta baru saja hendak menyahut sampai Jeffry mendahului. "10 nasi campur ini halal, jangan khawatir."

Bukannya tenang, Wursi semakin mencuramkan alis. "Aku tidak percaya. Pekerjaan kalian haram, itu artinya uangnya juga haram. Aku ndik mau makan."

"Wursi," panggilku, "uang yang mereka pakai adalah uangku."

Wursi terbelalak. Dia duduk kembali--sempat ingin pergi karena tidak mau memakan makanan yang dibeli--dan bertanya, "Uangmu? Bagaimana bisa? Bukankah semua barang kita diambil?"

"Hei, kau tidak ingat 4 tahun lalu Shinta mencuri kartu ATM-ku?" Umurku 16 tahun saat itu, aku punya satu ATM pelajar. ATM itu cukup banyak tabungannya, tapi dicuri oleh Shinta.

Wursi mengingat-ingat, lalu mengangguk setelah ingat. "Mereka memakai uangmu? Berani-"

"Itu sesuai permintaanku," potongku. "Bagiku tidak masalah memakan makanan yang dibeli dengan uang haram, tapi mengingatmu, kurasa lebih baik memakai uangku saja. Kebetulan Shinta tidak menggunakan ATM-nya."

Shinta mendengkus. "Bagaimana tidak? Aku saja baru menemukannya saat memperbaiki kursi belakang yang sudah patah dua hari yang lalu. Bayangkan saja, aku mencurinya darimu agar aku mendapatkan semua uangmu, tapi ternyata kartunya jatuh dan bersembunyi di bawah kursi paling belakang selama 4 tahun."

"Kartu itu membuat semangatku yang ingin mengambil uang dari ATM-mu kandas." Shinta meraih satu nasi campur dan membukanya, lalu memakannya dengan tangan tanpa dibasuh terlebih dahulu.

Wursi menatap aku dan Shinta bergantian. Kemudian dia menetapkan tatapannya padaku, bermimik tidak percaya dan ragu. "Selama ini kau selalu mengeluarkan uangmu. Padahal kau dikenal pelit, terlebih tentang uang."

"Hei, itu tidak benar!" sergahku.

Wursi terkekeh. Dia pun mengambil nasi bungkusnya.

Dia tidak meminta maaf dan malah memakan nasi bercampur kuah kental kacangnya dengan lahap. Aku baru saja ingin mencari urusan dengannya jika Wio tidak menepuk bahuku. "Jeffry bilang kalau dia akan mengatakan semuanya setelah sarapan." Aku pun segera mencomot satu bungkus nasi dan memakannya dengan cepat.

Jeffry sedang duduk di lantai atas, menikmati air hujan yang mulai turun dengan deras, kata Shinta. Terpal melambai liar terkena angin, jika saja tidak ditahan tepat waktu, mungkin kami kalut hanya karena sebuah terpal.

Aku naik ke atas lewat tangga. Jeffry berada di lantai teratas. Dia berdiri di tepi lantai yang hanya ditopang tiang-tiang semen. Lelaki yang tua 2 tahun dariku itu bersandar di salah satu tiang tanpa mempedulikan kakinya yang sebentar-sebentar terkena guyuran hujan. Dia tampak menikmati cuaca yang sedang marah.

Setelah petir menggelegar barulah kuhampiri Jeffry dan memanggilnya.

Jeffry menoleh, lalu tersenyum. Dia menegakkan tubuh, lalu menghadap ke arahku. "Ada apa?"

"Wio bilang setelah sarapan, awak akan memberitahuku siapa pelakunya." Aku harap Jeffry mengerti pelaku yang mana maksudku.

Jeffry menatap ke bawah sejenak, kemudian er-oh-ria. "Wio padahal tahu."

Aku berdecak. "Aku malas turun-naik tangga untuk sekarang."

"Benarkah?" Jeffry mengejekku. "Bukankah kau mau jadi polisi?"

"Iya, aku tahu. Tapi-"

Cettar!

Aku sontak menutup telinga. Kilatan putih sempat mengisi pandangan sebelum ledakan dari petir yang menyambar terdengar.

"Bahkan petir pun tidak mau jika aku yang memberitahumu." Jeffry tersenyum dan berjalan melewatiku. "Ayo, ke bawah. Kurasa berbahaya jika kita berdua berbicara di sini."

Aku terdiam beberapa saat. Berbahaya ... hal pertama yang aku pikirkan adalah sambaran petir yang mungkin mengincar kami untuk disambar. Tapi setelah dipikirkan lagi, Jeffry sepertinya merasakan seorang penguping dan aku rasa aku juga merasakannya!

Ah, mungkin dia mengatakannya karena takut aku dan dia tersambar petir. Lagipula di tempat dia semula berdiri, cukup terbuka. Akan sangat berbahaya di tempat terbuka saat badai petir datang.

"Tunggu aku!" Aku segera menyusul Jeffry yang sudah sampai ke lantai bawah.

Jeffry pergi ke tempat di mana dia tidur dan berbaring di sana. Dia melirikku yang berhenti, lalu menepuk sebelahnya, dia ingin aku berbaring di sana tapi aku tidak mau.

"Di sini lebih baik," ucapku dari jauh. Jeffry tersenyum sekali lagi, sebelum mulai memberitahuku siapa yang telah menjebakku dan yang lain.

"Aku pernah bilang kepadamu kalau kami tidak sendirian." Aku mengangguk. "Kami punya banyak rekan dan kami saling mambantu satu sama lain."

"Namun kau tahu, kami mengundurkan diri." Pernyataan Jeffry membuatku terbelalak.

"Kalian mengundurkan diri? Apa maksudmu?" Aku terkejut.

Jeffry menatap ke langit-langit. Dia menarik napas panjang. "Bos mengurangi upah kami, entah kenapa. Kami sempat adu jotos dengan kelompok lain yang berhasil mengungguli kami, tapi akhirnya kami berakhir mengundurkan diri."

"La-Lalu." Aku baru tahu kalau S.A.B.U. tidak lagi bekerja pada seseorang yang dipanggil "Bos" itu. "bagaimana kalian mencukupi kebutuhan kalian?"

"Mencuri, memeras, mengemis, dan memerkosa dengan bayaran." Jeffry tersenyum kepadaku saat mengucapkan kata memerkosa. "Namun kami semua bekerja di sebuah toko roti dan jika ada kesempatan, kami mencuri uangnya jika uang kami menipis."

Pernyataan Jeffry benar-benar membuatku kaget. Aku tidak pernah menyangka kelompok berbahaya itu mengundurkan diri dan bekerja sendiri. Aku sempat bingung saat pertama kali bertemu Jeffry, tidak ada tulisan es-titik-a-titik-be-titik-u-titik di baju mereka. Aku mengira karena mereka ingin berpakaian berbeda di kota sehingga tak sempat menjahit nama kelompok mereka di sana. Ternyata mereka mengundurkan diri dan tidak acuh dengan identitasnya.

"Pantas saja tidak ada tulisan es-titik-a-titik-be-titik-u-titik di bajumu," sahutku.

Jeffry yang memejamkan mata, membuka dan melirikku sebelum berdeham panjang.

"Tapi, apa hubungannya antara pelaku dan pengunduran dirimu?" Lana mendadak ada di sampingku, aku kaget kembali dan sempat beringsut mundur saat yang berbicara rupanya Lana.

"Bukankah Wio sudah memberitahumu?" Jeffry berucap jengkel, dia berubah entah kenapa.

"Wio? Dia tidak tahu apa-apa." Lana melipat tangan. "Aku sudah menanyakannya berkali-kali padamu dan katamu Wio tahu. Saat aku bertanya kepada Wio, dia tidak tahu. Apa maksudmu?"

Jeffry bangkit dari berbaringnya dan menggaruk tengkuk. Lana memasang wajah masam, demikian juga aku yang ternyata dibohongi oleh Jeffry.

"Baiklah, aku akan memberitahu kalian semua kalau begitu. Bisa panggilkan mereka?" pinta Jeffry kepada Lana. Lana memajukan mulutnya untuk sesaat sebelum teriakan panggilannya bergema karena memantul ke pondasi bangunan.

Tak beberapa lama kemudian, Wio dan Wursi datang. Lana mengajak mereka duduk dan setelah duduk, mereka bertanya.

"Aku ingin memberitahu siapa yang telah menjebak kalian."

Wursi dan Wio menjatuhkan rahang, mereka beringsut mendekat dan memaksa Jeffry untuk mengatakannya.

"Kami terdiri dari 4 kelompok: S.A.B.U., G.A.N.J.A., A.R.A.K., dan satunya aku lupa." Kami mendatarkan wajah. "G.A.N.J.A. adalah saingan kami, dan mereka berhasil menandingi kami."

"YA!!!"

Tepat saat petir menggelegar, tiba-tiba lelaki cokelat--lebih cokelat dari Jeffry--melompat ke samping kami dan berteriak keras. "Mereka kelompok yang sangat payah! Mereka menyogok Bos agar kami diberhentikan."

"Tunggu, diberhentikan?" Aku menoleh kepada Jeffry setelah menormalkan detak jantung. "Katamu kalian mengundurkan diri."

"Sebelum itu. Aku dan pemimpin kelompok G.A.N.J.A. sempat berkelahi memperebutkan siapa-kelompok-pengedar-narkotika-paling-hebat-di-Kalimantan." Jeffry menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Kami tetaplah yang pertama dari yang pertama. Namun karena kelompok payah itu mulai menyogok Bos dan memberitahu yang bukan-bukan--dan kami tidak tahu bagaimana cara untuk menghentikan dan mempertahankan kedudukan, maka kami mengundurkan diri."

"Biar kusingkat." Wursi mengerutkan dahi. "Sebelum mengundurkan diri, kalian pernah hampir diberhentikan oleh Bos kalian karena berkelahi sesama rekan kerja. Dan karena tidak jadi diberhentikan, rekan kalian menyogok si Bos agar kedudukan kalian diturunkan." Wursi memain-mainkan jarinya. "Karena kalian tidak dapat mempertahankannya, kalian mengundurkan diri. Begitu, 'kan?"

Jeffry mengangguk.

"Lagipula, upahnya juga tidak teratur karena kelompok itu. Lain dengan A.R.A.K. yang tidak berani bermain-main dengan kami. Dia dan S.A.B.U. menjadi imbas kecurangan G.A.N.J.A."

"Baiklah, aku sudah cukup tahu mengapa kalian berhenti bekerja kepada Bos." Aku menatap Jeffry setelah menunduk untuk menyimak perkataannya. "Sekarang beritahu aku, siapa pelakunya!"

Jeffry baru saja hendak menjawab setelah aku mengatakan, "Jangan basa-basi!" Jeffry mengendikkan bahu dan lalu menjawab mantap. "Pelakunya adalah G.A.N.J.A."

***

Ge, a, en, je, a. Aku mengepalkan tangan memendam amarah. Wio sedari tadi memukul-mukul bantal yang diberikan Jeffry untuk melampiaskan kemarahannya. Wursi dan Lana meminum air putih bergelas-gelas untuk mendinginkan pikiran.

Setelah kami tahu pelakunya, Jeffry menceritakan kronologi yang menyebabkan aku bersalah. Salah satu anggota G.A.N.J.A. merupakan sahabat dari pemimpin S.A.B.U. yang lama, dia telah mengintaiku bertahun-tahun di Sentra dan menjalankan rencana yang sudah sangat lama dibuatnya setelah aku pergi liburan.

Dia menguntitku tanpa sadar. Dia mengingat-ingat di mana saja aku berhenti untuk beristirahat. Dia tahu wajahku, lalu kata Jeffry, seorang temannya yang sama-sama rekan satu tim membuat topeng. Pembuatan topeng tidaklah lama--mustahil! Aku pernah membuat topeng wajah Michael Jackson saat masih bersekolah dan hasilnya hancur padahal aku membuatnya berminggu-minggu.

Mereka menggunakan topeng itu, lalu bertransaksi dengan salah satu warga. Warga yang ditransaksi pun merupakan mantan anggota G.A.N.J.A., mereka bekerja sama.

Malamnya saat aku baru saja diperiksa Bripka Melati, mereka membuka paksa mobilku. Bagaimana mereka membukanya, padahal ada polisi yang berjaga di depan hotel? Polisi-polisi itu juga mantan anggota G.A.N.J.A. yang bekerja di kepolisian. Mereka bekerja sama dan menyeludupkan bungkus ganja ke kursi supir mobilku. Bangsat!

Dan rekaman suara, itu bukan Wio. Salah satu anggota G.A.N.J.A. multisuara, dia bisa meniru suara siapapun sekali dengar.

Petugas yang menginterogasi Wio adalah petugas yang merupakan salah satu anggota kelompok sialan itu. Dia keluar, meminta rekaman suara Wio yang telah dibuat, dan setelah dikirim, dia memberikan ponselnya pada asisten Bripka Melati. Tadi saat menginterogasi Wio, dia tidak menyalakan perekam dengan sengaja.

"Kami memang kelihatan sama, Nia. Sama-sama kelompok pengedar," kata Jeffry. "Tapi mereka lebih berbahaya. Untuk itulah aku membantu kalian semua."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top