4. Jeffry
Aku bermimpi. Aku memimpikan sebuah memori 4 tahun silam saat aku pulang ke Sentra. Memori itu sudah lama ingin kulupakan, tapi tidak pernah berhasil dan menyusup ke dalam tidur jika aku kelelahan. Mimpi itu menampilkan sebuah adegan dengan aku sebagai sudut pandang, di mana seorang lelaki mengerikan berdiri di depan dan menghampiriku yang terikat.
Dia mengelus wajahku, lalu leherku, dan bahuku. Kemudian turun ke tulang selangka, payudara, dan perut, lalu paha.
Kemudian dia naik lagi, membuat darahku mengalir tidak karuan. Naik, naik, dan naik sampai dia mengusap bibirku yang basah.
Dia mendekatkan matanya ke mataku, berusaha melihat dirinya yang memantul di netraku lebih dekat lagi. Aku menjaga jarak, aku menunduk, aku tak berani mendongak sampai dia berbisik mengerikan. "Kau akan hancur malam ini."
Kukira malam itu, aku akan hancur karena seseorang memesanku. Ternyata Wio-lah yang memesanku, dengan gaya sok mesumnya dan juga di malam itu, aku tahu kalau dia tidak sepenuhnya nakal.
Jika aku ingat itu, aku akan senyum-senyum sendiri. Pipiku akan memanas dan memerah, karena malam itulah aku sangat dekat dengan Wio dengan pakaian minimku dari lelaki yang tadi mengelus-elus badanku.
Dan mimpi itu pun berhenti. Suara mesin mengambil alih suara napas Wio yang menderu di wajahku.
Semua hal menjadi hitam dan aku membuka mata. Pandanganku buram dan aku terbaring di kasur empuk dengan dua orang yang bercakap-cakap di sampingku.
Aku tidak tahu siapa mereka, yang aku tahu, aku berada di sebuah ruangan terang dengan AC menderu. Aku membuang napas, lalu perlahan membangkitkan diri. Aku tak jadi bangkit dan berbaring kembali kala sakit menyengat menyerang kepalaku dan aku meringis.
Samar-samar kudengar, "Berbaringlah dulu, jangan melakukan apa-apa." Aku menoleh ke orang yang mengucapkan kata-kata itu, lalu setelah melihat wajahnya yang beberapa waktu lalu panik melihatku mencoba membunuh diri, aku mendengkus.
"Di mana aku?" tanyaku lirih. Sebenarnya aku tidak ingin menanyakannya. Ruangan dingin putih di tempat kuberada sudah memberi jawaban. Aku ada di klinik terdekat, atau mungkin puskesmas.
"UKS Lapas."
"La-Lapas?" Aku mengernyit samar.
"Kau masih berada di lapas." Lelaki muda yang masih memakai seragamnya itu menjawab lagi. "Kami mendatangkan dokter dari klinik terdekat agar tidak membawamu ke mana-mana."
Sialan! Seandainya aku berada di klinik atau puskesmas, aku akan langsung kabur dan lari dari orang-orang di sampingku ini. Sayangnya aku berada di lapas, lari tidak lari pun aku akan tetap ditahan.
Hanya saja, kali ini tanganku bebas dari borgol. Namun aku tetap tidak bisa apa-apa, aku terlanjur lemah karena perbuatanku sendiri.
"Kepalaku. Apa yang telah terjadi pada kepalaku?" Aku pura-pura lupa kalau aku membenturkan kepalaku sendiri ke tembok. Aku mengelus perban berlapis-lapis di kepalaku dan terasa basah di sebuah titik. Sepertinya basah karena alkohol atau darah yang masih berusaha keluar.
Dua orang di sampingku saling tatap untuk sesaat. Lelaki muda yang tadi bercakap-cakap denganku mendengkus. "Kamu melukai kepalamu, cukup parah."
"A-Apakah kepalaku baik-baik saja?" Aku khawatir.
"Kau ...." Aku mengernyit kembali karena tak paham. "Kau merasa pusing? Atau ruangan ini terasa berputar."
"Tidak, aku hanya merasakan sakit berdenyut di sini." Aku menunjuk luka di kepala. "Rasanya mataku ditekan dari dalam untuk keluar."
"Tenanglah. Kau baik-baik saja." Tangan lelaki muda itu sudah terangkat untuk mengelus rambutku saat aku menghindar dan rekannya berdehem. Lelaki muda itu tersadar kalau aku bukan anak kecil dan meminta maaf karena ingin menyentuh kepalaku.
Aku bersyukur aku baik-baik saja. Namun aku merasa sedih karena saat aku sedang sakit, tidak ada satupun teman-temanku: Wio, Wursi, dan Lana di sampingku.
Berbeda saat 4 tahun silam di mana aku deman tinggi karena kedinginan. Aku dan Wio menceburkan diri ke dalam sungai, bersembunyi di sana sekitar 20 detik dari kejaran anggota-anggota S.A.B.U. Kukira aku akan tahan dengan suhunya ternyata tidak, aku keluar dengan tubuh menggigil dan saking menggigilnya, aku tak dapat bergerak dan meminta Wio untuk menggendongku.
Di mana mereka semua sekarang? Apakah mereka juga ditahan di lapas berbeda?
Aku menyesal karena tidak memeriksa mobil sebelum berangkat. Sekarang lihat! Liburan kami kacau balau dan mungkin kami akan menghabiskannya di dalam lapas.
Aku pun terdiam. Aku hanya akan bergerak jika disuruh minum obat atau air putih.
Beberapa jam kemudian, aku baikan. Aku bangkit dari berbaring, dibopong dua petugas perempuan di samping kanan dan kiri, sempat limbung karena menghabiskan siang sampai malam dengan berbaring, sebelum dibawa ke lobi, lagi.
Salah satu petugas memberitahu kalau aku dikunjungi oleh tiga teman laki-lakiku. Mulanya aku senang, senyum mengembang di bibir, tapi kemudian kulunturkan dan kupasang wajah datar.
Wio. Dia tega. Apa yang dipikirkannya? Dia boleh bermain-main dengan kepolisian, tapi pikirkan juga yang lain.
Aku pun melihat tiga teman-temanku ingin menghampiriku, tapi dihadang oleh dua petugas. Mereka berusaha menerobos, tapi aku menggeleng dan mereka akhirnya diam menungguku mendekati.
Mereka memakai baju oranye dengan tangan masing-masing diborgol. Sepertinya karena pengakuan Wio, kami semua mendapat imbas dan ditahan oleh kepolisian.
Ada nomor tahanan di punggung mereka, seakan mereka benar-benar rekan seorang 'pengedar'. Mereka beraut sedih, mata Lana berlinang dan Wio menatapku, antara meminta maaf dan ingin mengatakan kebenaran.
"Rekaman itu bukan aku. Percayalah." Dia tahu kenapa aku menatap datar.
"Terima kasih sudah mengerti dengan tatapanku, tapi aku terlanjur marah padamu," sahutku.
Wio tampak tidak percaya, tangis Lana pun pecah.
"Ini karena awak, Wio! Lihat Nia! Kepalanya diperban karena awak!" teriaknya.
Lana begitu perhatian kepadaku, padahal kami hanya sebatas sepupu.
Tatapan Lana dan Wursi mengarah tajam kepada Wio. Mereka ingin Wio menanggapi, tapi muka penyesalan di wajah Wio membuatnya tak dapat berucap.
"Nia, maafkan aku," pintanya kemudian. Aku mengarahkan mata ke lantai marmer, antara ingin memaafkan dan tidak seorang teman yang telah membuatku dikelilingi petugas lapas. "Itu bukan aku. Aku tidak bohong! Seseorang menjebakku, dia menjebak kita semua. Aku tidak punya bukti untuk-"
"Semulanya aku berpikir begitu, Wio," potongku. "Tapi mendengar rekaman suaramu di perekam suara .... Kupupuskan harapanku untuk mempercayaimu lagi."
Wio melebarkan mata.
Aku menatap ketiga temanku. "Kita tidak punya bukti, lagipula masa tahanan hanya 5 bulan ditambah masa rehabilitasi selama 5 minggu."
"K-Kau menyerahkan dirimu? Ini bukan salahmu, Nia!"
"Aku tahu ini bukan salahku, tapi KITA TIDAK PUNYA BUKTI!" Pikiranku sontak kacau. Wio membuatku tak dapat mengendalikan emosi.
Lana dan Wursi terdiam, Wio menatapku penuh sesal.
"Bu, bawa aku pergi!" pintaku kepada petugas perempuan di sampingku. Tak menunggu ditarik, aku pergi dari hadapan mereka dengan wajah tak tahu-menahu.
Mereka bertiga hanya menatapku sampai terdengar suara petugas mereka memanggil. Aku menoleh ke belakang, kulihat teman-temanku itu dibawa ke luar dengan wajah lesu.
Maafkan aku, semuanya. Aku marah kepada Wio, tapi aku malah melampiaskannya kepada kalian tanpa sengaja.
Lagipula, aku ingin memberi pelajaran. Aku cukup marah karena kalian, seharusnya kalian tidak bermain-main saat diinterogasi, terlebih dimintai bicara.
Atau perkataan Wio ada benarnya, seseorang sedang menjebak kami semua?
Aku tak memikirkan itu. Aku berhenti dan mengganti pakaianku dengan pakaian berwarna oranye. Rambutku yang mulanya tergerai, disuruh diikat oleh salah satu dari dua petugas perempuan sebelum aku dibawa masuk ke sebuah koridor.
Koridor itu minim cahaya, sudah gelap catnya, temaram pula suasananya. Di koridor itu, ruangan terbuka yang dilapisi jeruji besi terlihat. Ada satu meja di dalam sana, dan satu ruang tertutup yang mungkin berisi toilet--bisa kutahu karena ada tisu yang memunculkan diri di bawah pintu ruangan itu.
Semuanya berisi, sebagian ibu-ibu dengan wajah babak belur. Sepertinya mereka terjerat kasus; "Seorang Suami Dibacok Istri Karena Ketahuan Selingkuh dengan Janda Desa Sebelah". Aku bercanda, Kawan.
Aku berhenti berjalan dan diarahkan ke sebuah ruangan jeruji. Sepertinya itu adalah ruanganku, salah satu petugas membuka kuncinya dan pintu.
Aku melangkahkan diri untuk masuk sebelum mereka mendorongku dengan kasar. Baru saja hendak masuk, suara berderap kencang terdengar di bagian kiri dan kemudian suara bugh. Kali ini suara itu adalah suara pukulan dan kejadiannya sangat cepat sampai kulihat dua petugas yang tadi bersamaku terbaring di lantai, mengerang sakit. Aku kaget, tambah kaget setelah tanganku ditarik oleh seseorang.
Aku langsung memosisikan kaki agar tidak jatuh. Aku berlari bersamanya dan entah kenapa aku mengikutinya.
Aku dan orang yang menarikku sontak berhenti kala pintu koridor terbuka lebar. Dua petugas berseragam mengarahkan pistolnya kepada kami, membuatku memekik tertahan karena aku tak punya pelindung.
Orang yang menarik sontak berlari dan menghindari lesatan peluru. Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku pun tiarap dan mencium semen, berharap pelurunya tidak mengenai tubuhku.
Suara bugh berkali-kali terdengar. Aku mendongak dan menatap orang yang tadi menarikku memukuli beberapa petugas. Ilmu bela dirinya hebat, pujiku dalam hati. Tak menunggu lama untuknya melumpuhkan para petugas sebelum menarikku untuk bangkit dan berlari bersama lagi.
Kami berhasil menghindari tangkapan dan peluru. Alarm dibunyikan, bergema keras di seluruh bagian lapas, dan aku tidak peduli.
Dalam hati, aku bersyukur karena ada orang yang menyelamatkanku. Namun aku khawatir, aku akan jadi buron dan dicari ke semua sudut kota.
Setelah aku berhenti memikirkan itu, aku sudah sangat jauh dari lapas. Kuperhatikan sekeliling, sebelum ditarik lagi untuk bersembunyi.
Sirene bergema. Aku dan orang itu bersembunyi di sebuah taman. Ada semak-semak, kami bersembunyi di sana. Setelah mobil itu lewat, kami kembali berlari ke jalan keluar lain dari taman dan berlari di keramaian.
Baju oranyeku menarik perhatian. Borgol di tanganku apalagi. Kami berlari dan menerobos gang sempit. Sampai akhirnya kami berbelok dan berhenti di samping sebuah mobil.
"Masuk!" perintah orang yang menyelamatkanku. Sejenak aku terpaku karena suaranya mengerikan, sama dengan suara dari lelaki di dalam mimpiku tadi siang.
Kudengar sirene lagi dan aku bergegas masuk. Setelah aku dan orang itu masuk, barulah mobil mengebut dan memecah jalanan, lalu melesat ke sebuah tempat yang tidak kukenal.
Aku menoleh untuk berterima kasih sekaligus melihat siapa yang telah menyelamatkanku. Aku dan orang itu saling bertatapan dan aku kaget luar biasa.
Dia orang yang sama dalam mimpiku, orang yang pertama kali melecehkanku. Dia orang yang membuatku hampir kehilangan napas karena menyelam selama 20 detik dan hampir terkena hipotermia karena mencelupkan diri ke dalam air bersuhu di bawah nol derajat.
"Jeffry!?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top