31. Pernyataan

"Nia, api!"

Mataku terbuka lebar. Aku langsung bangkit dari berbaringku dan berdiri. Aku langsung ke kamar, mengambil tabung pemadam kebakaran. Saat aku kembali kepada Lana, aku bertanya gelagapan. "Mana apinya?" Lana mengerjap, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Kena tipu!" Dia tergelak. Wajahku memerah.

"Lana!"

Aku meletakkan tabung pemadam dan mengejar Lana. Dia pergi ke luar, aku berhenti di ambang pintu. Aku mengucek-ucek mata, sudah pagi rupanya. Kemarin agaknya aku kecapaian, sampai-sampai tidur dengan pakaian sama dengan kemarin.

Kemarin, begitu banyak hal yang kulakukan di rumah. Membersihkan setiap sudut loteng dengan kemoceng, lalu menyapu lantai, kemudian mengepelnya. Aku membersihkan kamar mandi dan mengelap-elap beberapa lemari berkaca. Tidak banyak perabot di rumah, jadinya merapikan tidak membutuhkan waktu lama. Setelahnya, aku berencana untuk terjaga karena Lana menawariku sebungkus nasi goreng yang mereka beli, tapi nyatanya aku tertidur duduk sampai tak sadar berbaring di karpet berbulu ruang tamu.

Aku bingung. Rasanya kemarin aku mengunci pintu rumah. Bagaimana pintu ini bisa terbuka. Sontak saja, pikiranku langsung kotor dan aku mengambil sandal untuk dilempar ke Lana yang sudah segar.

"Kau! Apa yang kaulakukan kepadaku? Bagaimana bisa pintu ini bisa dibuka olehmu?" tanyaku.

"Aku bisa membukanya. Ada pintu lain dalam rumahmu yang tersambung ke rumah kami, jadi kami lewat sana. Dan ngomong-ngomong, aku tidak melakukan apa pun kepadamu, termasuk Wio dan Wursi," jawab Lana, mengambil sandalku dan balik melemparnya padaku.

Aku menangkap sandal, lalu menguap. "Kau tidak berbohong? Bohong itu dosa lho," kataku, masih lesu.

Lana mengiyakan. "CCTV-mu menyala. Kau bisa lihat apa yang terjadi padamu saat kami tahu ada pintu yang menghubungkan rumahmu dengan rumah kami, jika kau tidak percaya." Dia menyakinkan.

Aku mengangguk-angguk, lalu meregangkan otot. "Aku mandi dulu, setelah itu kita cari makan." Aku kembali masuk rumah.

Aku mandi, mengganti baju, lalu memeriksa rekaman CCTV, apakah Lana benar kalau mereka bertiga tidak mengapa-apakanku. Terkadang aku tak bisa percaya kepada mereka bertiga selamanya. Mereka sudah dewasa, pasti memiliki hasrat untuk melakukan hubungan.

Aku menghela napas lega karena Lana jujur. Tiga di antara mereka tidak mengapa-apakanku. Mereka hanya kaget karena ada pintu yang tersambung ke dalam rumahku, setelahnya mereka menutup pintu dan tak berani membukanya lagi, sampai Lana membuka dan mengagetkanku.

By the way, CCTV dalam rumah tepat mengarah ke pintu yang tepat berada di dapur itu.

Aku pun mengambil dompet dan tas setelahnya.

"Cari makan, yuk!" ajakku. Wio, Wursi, dan Lana begitu segar dipandang. Lelaki-lelaki tampan itu memiliki pesonanya sendiri-sendiri.

"Sebenarnya aku sudah membeli satu." Wio dengan rambutnya yang tergerai melirik pintu. "Soto ayam 4 bungkus. Kami tidak ingin memakannya terlebih dulu sampai kau bangun."

Aku sudah menduga kalau mereka akan terlebih dahulu membeli makan pagi. Aku mengenal mereka bertiga, yang jika menginap di tempat orang, kalau tidak ada orang berjualan makanan di pagi hari, maka mereka akan memasak. Untuk diri mereka dan pemilik rumah.

"Cari makan di supermarket maksudku." Aku masuk ke mobil. "Ikut?" Langsung saja, tiga lelaki itu masuk ke dalam mobil. Wio sempat berbalik untuk mengunci rumah.

"Ikut!" Lana bersorak. Mereka semua sudah berada di dalam mobil.

"Uang?" tanyaku, memastikan. Aku tak dapat terus mentraktir mereka.

"Ada. Tenang saja," jawab Wursi, yang disambut anggukan oleh Wio dan Lana.

Aku mengendikkan bahu. "Baiklah, kita berangkat."

Dan begitulah pagi di hari pertama liburan kami yang sebenarnya ini.

Berbelanja di supermarket cukup melelahkan, tapi menyenangkan. Ada satu lantai supermarket yang isinya bermacam-macam wahana permainan. Kami semua bermain di sana dan menghabiskan waktu makan piza di sebuah kedai.

Tiga teman laki-lakiku membeli barang yang berbeda-beda, kendati ada persamaan karena mereka masing-masing membeli pakaian.

Aku? Aku membeli makanan, minuman, dan beberapa novel. Aku tidak terlalu tertarik dengan barang-barang di supermarket karena hampir semua barangnya dirasa tidak akan berguna untukku--selain menghiasi rumah dan lemari pakaian.

Setelah pulang, barulah kami memakan sama-sama belanjaanku tadi. Wio, Wursi, dan Lana berbincang, dengan aku terkadang menyahut karena hanyut dalam novel yang tadi kubeli.

Siang terlewati sangat cepat. Wio dan Lana tertidur di teras. Wursi sedang melaksanakan salat. Aku ke rumahku, ingin menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke pantai.

Tepat jam setengah 5, Wio dan Lana bangun, lalu bergegas mengganti baju. Aku memperingati mereka agar membawa baju ganti. Mereka mengiyakan dari dalam rumah.

Aku bercakap sebentar dengan Wursi dengan celana pendek barunya yang tadi dibeli di supermarket. Dia tampak berkharisma.

Dia mengalihkan pandang selama berbicara denganku--aku memakai celana setengah paha dengan kaos putih berlengan gulung sampai siku dan jaket jeans tak berlengan. Dia begitu menjaga matanya, walaupun aku memakai pakaian pantas.

Setelah Wio dan Lana siap, kami pun pergi ke pantai.

Jarak pantai dan perumahan cukup dekat. Keluar dari jalan perumahan, lalu jalan raya, lalu belok ke jalan menuju ke pantai. Ditotalkan, kurang lebih 500 meter. Dekat, bukan? Bahkan tak sadar karena berbincang, kami sudah sampai di sana.

Lana dan Wursi langsung berlomba untuk mencelupkan diri ke air pesisir itu. Aku dan Wio mendekati mereka, Wio menyusul. Sedangkan aku duduk di pantai, membiarkan celana pendekku kotor karena sebenarnya aku mengalami trauma dengan air sejak aku sadar kalau aku meninggal karena tenggelam.

Trauma air, tapi tetap memaksa diri untuk mandi.

Aku duduk dan mengukir pasir dengan kepiting yang terkadang berjalan melaluiku. Kepiting itu masuk ke sarangnya, tepat matahari seperempat tenggelam dan sisanya menyusul.

Saat itu, Wursi dan Lana tengah berburu keong dan kerang. Saat itulah aku sadar kalau Wio tidak ada. Aku menoleh ke sana-sini, berusaha mendapatkan visualnya.

"Hei." Wio menepuk bahuku. "mencariku?"

"Kau mengagetkanku!" Aku menampar lengannya. Wio terkekeh, lalu duduk di sampingku.

"Kenapa kau tak ikut mandi?" tanyanya.

Aku membuang napas. "Aku trauma saat aku tenggelam," jawabku.

Wio terdiam sesaat. "Kau tahu? Aku sempat menyangka kalau kita tidak bisa berlibur sampai ke sini," ujarnya. "Kami sudah dekat dengan Sentra saat kau menelepon. Siapa sangka beberapa jam setelahnya, awak dan aku ... celaka." Dia menunduk.

"Aku juga sempat menyangka demikian." Aku mendengkus. "Tapi menyenangkan juga ya berurusan dengan pengedar narkoba, terlebih dengan Andi."

Wio langsung menoyor kepalaku. Aku tergelak. "Kau tahunya yakin pada orang yang salah. Lain kali dengarkan temanmu yang kaupercayai ini, baru orang yang kauyakini itu." Dia menggerutu.

Sejenak Wio menoleh ke samping kiri yang membuatku mengikuti arah tatapnya. Sekumpulan gadis berpakaian pendek berusaha menggoda Wio dari kejauhan.

Aku merasakan hatiku terbakar dan pipiku memerah. Tatapku yang mulanya sedih karena trauma air, menjadi cemburu--aku cemburu tanpa ... alasan.

Wio lalu menoleh padaku. Saat itu aku menunduk. Dia meraih badanku dan mendekatkannya ke wajahnya. Saat aku mendongak, hidungku bersentuhan dengan hidung Wio.

Aku melirik sekumpulan wanita tadi yang wajahnya perlahan murung. Aku kembali menatap Wio yang mengedipkan mata, lalu aku tersenyum dan memeluknya.

Sekumpulan wanita itu pun pergi.

"Kau benar-benar mencintaiku rupanya." Aku teringat perkataan Jeffry yang membaca pikiran Wio sebelum dimasukkan ke dalam mobil polisi.

"Yah, aku tak berani menyatakannya sampai kau lulus kuliah." Pipi Wio bersemu. "Agak aneh seorang polisi dicintai oleh pemanen buah sawit sepertiku."

Aku tertawa. "Kau kira aku memandang derajat, hah?" Aku mengelap air mata yang mengucur. "Selagi awak tulus, aku akan menerimanya."

Wio tersenyum simpul. Dia benar-benar manis.

"Ngomong-ngomong." Wio meraih tanganku. "ayo berendam sebelum ombaknya tinggi." Dia menariknya, aku pun tertarik, lalu menyentuh air. Aku melompat ke arah Wio sebelum Wio menurunkanku dan menyakinkan kalau air itu tidak akan mengapa-apakanku. Akhirnya aku berani dan berjingkrak-jingkrak, sampai aku lelah dan kembali ke tepian, tepat matahari sudah setengah tenggelam ke laut yang dari jauh terlihat pertambangan batu bara.

Aku dan tiga lelaki itu mengambil foto. Satu, berdua, bertiga, dan berempat dengan tongsis. Wursi menawarkan dirinya untuk memotretku dan Wio membelakangi matahari terbenam. Wursi menghitung, dari 3 sampai ke 1, dan sebelum dipotret, aku mencium pipi Wio secara refleks.

Wio terbelalak, dia menatapku meminta jawaban. Aku melihat hasil dari Wursi, tepat saat aku mencium Wio. Wursi dan Lana melongo karena aku malah senang dengan foto itu--mereka berharap aku tak menyukainya, singkatnya, mereka iri.

Setelah itu, Wio tak berani dekat denganku. Perlu dia ketahui bahwa, gadis yang dicintainya diam-diam ini, juga sedang mencintainya terang-terangan.

***

Liburan kami berjalan sangat menyenangkan bahkan sampai detik ini. Sayangnya, karena kasus yang menimpa diriku itu, dua hari liburanku terbuang--aku baru menyadarinya sekarang. Sekarang aku tengah bersiap menuju ke Balikpapan, setelah lima hari beristirahat di Sentra. Wio, Wursi, dan Lana akan mengiringi kepergianku. Pira memelukku, tak mau lepas.

Sehabis pulang dari Balikpapan, Mamak memelukku. Dia menangis terharu sebab tahu aku rupanya bukan pelaku. Keluargaku mengadakan acara kecil-kecilan, sebagai bentuk tanda syukur kepada Tuhan yang masih memberiku kesempatan hidup di luar penjara. Aku tak menceritakan apa yang kulakukan agar bebas dari tuduhan. Toh, Mamak dan Bapak tidak mau bertanya karena takut kepikiran. Hanya Pira yang kuberitahu dan itu pun kusuruh dia untuk diam.

Aku menutup bagasi mobil, lalu menarik napas. Aku menatap ke arah teman-temanku yang menatapku. Mamak dan Pira berdiri di samping mereka, tersenyum. Bapak sudah masuk ke mobil. Aku menghampiri Mamak lagi dan memeluknya.

"Hati-hati ya." Mamak mengelus rambutku. Aku mengangguk, lalu mengecup pipinya dan mengacak rambut Pira.

"Jangan lupakan kami, Nia. Jangan lupa membawakan oleh-oleh saat balik ke sini," kata Lana, diiyakan oleh Wursi.

"Jangan lupakan Tuhan ya." Wursi mengedip. Aku terkekeh, lalu mengangguk.

Wio tampak diam--ingin mengatakan sesuatu tapi tak berani mengatakannya. "Wi, ada yang mau kaukatakan sebelum aku berangkat?" tanyaku. Wio menoleh secepat kilat.

Aku menghampiri Wio. "Bisiki saja aku kalau kau tidak berani mengatakannya keras-keras." Aku tahu dia gundah karena kami yang saling mencintai terpisahkan oleh pendidikan.

Aku berdiri di depan Wio, dia mencondongkan tubuh dan berbisik di telingaku. "Jika kau memiliki seorang yang ... merupakan calon suamimu di Jawa, kabari aku ya. Jabarkan bagaimana hidupnya dan apa pekerjaannya. Jika kau mau menjalin cinta dengan dia di sana, silakan."

Bisikan Wio itu membuatku tak dapat berkata. Aku tak tahu serius itu dia mencintaiku. Dia bahkan memikirkan apakah aku akan didekati lelaki lain yang nantinya akan mengajakku memadu kasih. Dia menginginkanku, tapi berserah kepada nasib.

"Itu tidak akan terjadi," bisikku. "Jika kau rela menungguku, maka aku akan datang kepadamu. Tak peduli berapa banyak lelaki yang meminangku. Kau hanya perlu tulus."

Wio menarik dirinya, berdiri tegak. "Hati-hati di jalan." Ada makna lain pada perkataannya: "Hati-hati karena tanpaku, kau bisa celaka."

Artinya, aku harus pintar memilih lelaki di Jawa untuk dijadikan teman.

Aku mengangguk. "Nia, kita akan berangkat sebentar lagi." Sampai Bapak menyeruku.

"Aku pergi dulu!" Aku berlari, masuk ke dalam mobil dan membuka kaca. "Aku akan kembali saat libur semester!"

"Bahkan tidak kembali pun tidak mengapa, Nia," sahut Wursi, yang lengannya langsung ditampar Lana dan Wio.

Aku tertawa.

Setelahnya, mobil pun berjalan. Aku melambai-lambai tangan, mengeluarkan tubuhku sebagian dari mobil sebelum memasukkan kembali karena mobil berbelok.

Aku duduk di kursi sebelah Bapak di mana dia menjadi supirnya. Lagu Sheila On 7 berjudul Pemuja Rahasia terdengar di kabin.

Aku menoleh ke jendela, merenung akan apa yang telah terjadi. Liburan ini liburan paling hebat yang pernah kualami. Rasanya aku ingin mengalaminya lagi.

Liburan ini membuatku mengerti akan jalan pikir seorang yang tobat, tapi kembali melakukan kejahatannya yang dulu. Demi ekonomi, contohnya si Jeffry.

Juga, aku belajar untuk tidak terlalu yakin pada orang lain dan menghindari narkotika. Dua hal itu akan menjerumuskanku ke hitamnya kehidupan. Dua hal itu akan menghentikan perjalanan belajarku yang sudah setengah jalan menuju kesuksesan ini.

Aku tak menyangka di liburan kali ini, Wio ternyata mencintaiku. Setelah kupikir-pikir, aku juga mencintainya, tapi memilih fokus kepada pelajaran.

Entah apa yang akan kami temui di kemudian hari. Apakah A.R.A.K. atau rekan satunya S.A.B.U. menculikku dan memberi pelajaran karena memenjarakan dua kelompok rekannya sekaligus, atau ada kejutan tersendiri mengenai cintaku. Aku tak ingin menebak.

Setidaknya, aku tahu bahwa penjualan narkotika di Indonesia didasari oleh minimnya pendapatan. Jika pendapatan banyak pun itu artinya dia ingin membuat generasi penerus bangsa ditelan lubang hitam dan akhirnya perkembangan Indonesia terhambat. Kemudian bangsa ini dihancurkan oleh narkotika yang padahal si dia yang melakukan.

"Kami tidak akan melakukan ini jika kami tidak miskin."

Baik. Jeffry, kau tidak salah, tapi kau juga tidak benar.

Narkotika tidak akan membuat hidupmu bahagia atau kaya. Narkotika menjerumuskan--untunglah hari itu aku tidak banyak diberi makan sabu.

Aku tersenyum.

Aku suka hidupku.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top