30. Kedermawanan Hati Seorang Bripka
Di kantor polisi, aku, Wio, Lana, dan Wursi mendapat permintaan maaf dari beberapa polisi yang telah menangkap kami. Mereka memohon-mohon pada kami agar tidak diadukan kepada pihak berwenang--kami tidak punya pikiran seperti itu, berurusan dengan pihak berwenang ribet. Kami langsung memaafkan agar semuanya cepat selesai.
Sekarang aku tidak memakai pakaian oranyeku. Aku memakai baju berkerah putih dengan lengan pendek, bercelana biru langit yang merupakan jeans panjang.
Wio, Lana, dan Wursi juga. Tidak ada satu pun dari kami memakai pakaian oranye. Wio memakai jaket kesayangannya, Lana memakai kaos lengan pendeknya, dan Wursi kaos lengan panjang dengan celana tak kalah panjang. Pokoknya baju kami tidak ada warna oranye-oranye-nya.
Di lobi, Bripka menata satu-persatu barang kami yang mereka sita. 3 buah ponsel, 3 buah tas berukuran sedang, 1 tas besar, sebuah kertas plastik berisikan beberapa makanan, dan kunci mobil.
"Kunci mobil?" gumamku, bingung.
Bripka Melati rupanya mendengar gumamanku. "Kami tahu di mana mobilmu setelah kami mendengarmu akan kabur dari Andi." Wanita itu membuatku semakin bingung. Bagaimana bisa dia tahu kalau aku akan kabur dari Andi?
"Yah, ceritanya panjang." Bripka menutup dua wadah besar yang telah menyimpan dengan baik barang-barang kami--mendadak aku penasaran bagaimana Shinta dan Jeffry mencuri dompet juga kunci mobilku. "Aku sudah menceritakannya kepada tiga teman-temanmu itu." Dia mengambil sesuatu di kantong jaket kain yang dikenakannya. Dia mengeluarkan 4 buah dompet.
Aku menatap sejenak dompet sebelum menatap Wio, Wursi, dan Lana yang memperhatikan Bripka Melati.
"Nia, SIM-mu hampir mati." Aku menoleh. "Kapan kau akan memperbaruinya?"
"Eh? Benarkah?" Bripka Melati mengeluarkan surat izin mengemudiku dan menunjuk ke tanggal di mana surat itu tak dapat dipakai lagi dan harus diperbarui sebelum tanggal itu.
"Setelah aku mendapatkan barang-barangku kembali, aku akan segera memperbaruinya," kataku.
Bripka Melati mengangguk-angguk, lalu melipat surat berlaminating itu hingga masuk ke dompet. "Perbarui segera ya."
Aku mengangguk.
Bripka Melati menarik napas. "Kalian bisa mengambil barang-barang ini."
Tangan Lana langsung menyambar ponsel dan dompetnya sedangkan Wursi meraih tasnya. Wio menarik sebuah tas besar yang akan dibawanya sedangkan aku membawa kertas plastik berisi makanan. Sisanya Lana dan Wursi yang mengenggam.
Bip! Bip!
Suara klakson mobil. Aku dan teman-temanku saling pandang.
Kami bergegas ke luar dan melebarkan mata. Mobilku ada di halaman kantor, dalam keadaan bersih mengkilap tanpa penyok.
"Ini mobilku?" tanyaku, heran. "Mana penyoknya?" Aku berlari ke belakang mobil. Tidak ada penyok yang dihasilkan Jeffry, padahal aku yakin bagian belakang mobil menabrak depan mobil patroli di jalan sempit hari itu.
"Kami memperbaikinya."
Aku menoleh ke belakang, di mana Bripka Melati berdiri dan menghampiriku. Di sampingnya, orang yang mengendarai mobil berdiri.
"Anggap saja ini permintaan maaf kami karena menangkap orang yang salah." Bripka Melati mengedip. Aku merasa tidak enak.
"Bripka, bayarannya-"
"Tidak usah diganti," potong Bripka. "Kami ikhlas."
"Tidak! Biarkan aku mengganti." Aku merogoh tas dan merasakan uang merah bergulung masih ada di tempatnya.
"Tidak usah."
"Biarkan-"
"Tidak usah!" Perkataan tegas Bripka Melati membuat tanganku yang mengenggam selembar uang merah menggantung di tempat. "Tidak usah, kau dengar?"
Aku menurunkan tangan, memasukkan gulungan merah itu ke dalam tas dan selembar uang itu ke dalam kantong celana. "Aku merasa seperti ... telah memeras kalian untuk memperbaiki mobilku," kataku, terus terang.
"Ayolah!" Bripka Melati menepuk-nepuk bahuku. "Terima saja, oke?" Aku menatap Bripka Melati, dalam. Dia tersenyum hingga lesung pipinya terlihat.
"Terima kasih, Bripka," ucapku. Bripka Melati mengangguk, lalu menyuruh orang di sampingnya untuk memberikan kunci cadangan yang digenggamnya kepadaku.
"Oh, ya, Nia." Aku menoleh kembali pada Bripka Melati. "Perlu kauketahui, akibat perkataanmu, beberapa anak buahku keluar dari jabatannya dan menghilang entah ke mana," bisiknya. "Kurasa benar kalau mereka anak buahnya Andi di kepolisian. Aku menyesal memiliki anak buah penjebak seperti mereka."
"Itu belum seberapa, Bripka," sahutku. "Masih banyak yang belum kauketahui dengan pria itu." Bripka tampak terkejut. "Sebanyak apa anak buahnya, di mana saja mereka. Namun kukira, kau tidak perlu menangkap mereka untuk dipenjarakan. Mereka akan memenjarakan diri sendiri karena pemimpin mereka sudah dipenjara."
Bripka Melati mengangguk-angguk. "Menyakinkan. Baiklah, aku akan menunggu mereka memenjarakan diri."
Aku tersenyum.
"Ngomong-ngomong, sudah siang. Kapan kau akan ke Balikpapan?" Pertanyaan Bripka Melati itu membuatku teringat akan tujuan semula perjalanan panjang ini. Aku langsung permisi dan masuk ke dalam mobil. Wio, Wursi, dan Lana pun menyusul masuk.
Aku mengelus setir. Terlalu banyak hal yang kulalui sebelum aku memegang setir ini dalam keadaan bukan-lagi-seorang-pelaku. Aku menoleh pada Bripka Melati yang bersandar di kaca mobil yang terbuka. "Perbarui SIM-mu, baru berlibur. Mengerti?"
Aku mengangguk. "Baik, Bripka."
Brioa Melati tersenyum simpul. "'Bu' saja."
Aku terkekeh. "Baik, Bu."
Bu Melati merogoh kembali sakunya. "Ini nomor ponselku. Mungkin kita bisa mengenal lebih dekat." Aku menerima kartu pengenal yang dia sodorkan. Ada foto Bu Melati di sana, alamatnya, tempat dia bekerja, nomor ponselnya, dan nomor kantornya.
"Aku alumni akademi yang kau masuki, lho."
Aku kaget. "Wow." Aku tak bisa mengatakan apa pun. "Aku memilih akademi yang alumninya tersebar di seluruh Indonesia."
"Belajar yang rajin ya," kata Bu Melati.
Aku memberi hormat. "Baik, Bu Bripka Melati Sulistiowati."
Bu Melati membalas hormatku, menurunkan tangannya, aku menyusul, kemudian menghidupkan mobil.
"Aku pergi dulu, Bu." Aku pamit.
"Hati-hati di jalan! Jangan sampai kursi supirmu diseludupkan ganja lagi."
Aku tertawa. "Iya, iya."
Setelahnya, aku pun menginjak gas, keluar dari halaman kantor. Aku melaju ke kantor di mana kantor itu khusus memperbarui SIM.
.
"Teman-teman."
Aku sudah selesai memperbarui SIM, hanya butuh waktu sekitar satu jam setengah.
Aku kembali meremas setir seperti di halaman kantor tadi. Wio dan lainnya tengah memakan cemilan dalam kertas plastik tadi. Katanya sebentar lagi kedaluwarsa, harus dihabiskan secepat mungkin.
"aku tak menyangka liburan kita ... sehebat ini." Aku terkekeh.
Lana langsung menoyor kepalaku. "Hebat matamu! Kau dan Wio bodoh, mau saja dibunuh orang."
Wio menampar kepala Lana. "Kau yang bodoh! Kau ke mana saja saat kami berusaha mempertahankan satu sama lain?"
"Seperti kau tidak tahu saja Lana ngapain," kata Wursi. "Dia lemah. Sempat ditangkap tapi aku berhasil membebaskannya. Bersyukurlah, Lana. Kau tahunya hanya jadi beban."
Lana menggaruk kepala sambil ter-haha-hihi.
"Sudahlah." Wio melirik jam di layar ponselnya yang sedang baterainya sedang diisi lewat colokan mobil. "Sudah mau sore, Nia. Mau menginap dulu atau langsung ke sana." Dia tampak khawatir.
"Perjalanan dari sini ke Balikpapan hanya 3 jam." Aku meremehkan kekhawatiran Wio. "Kita bisa datang sebelum malam." Aku mulai melajukan mobil.
"Ya sudah. Terserahmu." Wio melepas jaketnya dan menutup wajahnya dengan itu. "Aku mengantuk. Aku mau tidur."
"Silakan."
Sedangkan Wio tertidur, Wursi dan Lana memakan cemilan yang berjumlah banyak itu.
.
Hari mulai beranjak malam saat aku menghentikan mobil tepat di depan rumahku. Rumahku itu ada dua sebenarnya, hanya saja dipisahkan dengan pagar beton sehingga kelihatannya satu rumahku satunya lagi rumah orang. Rumahku terletak di sebuah kompleks perumahan yang masih dibangun. Meski begitu, suasana di perumahan itu sangatlah nyaman dan strategis. Itu rumah Mamak yang telah dibelinya dua tahun yang lalu khusus untukku yang menunggu keberangkatan pesawat jauh-jauh hari dan Pira yang akan mengikuti jejakku kuliah di Jawa.
Aku lelah. 3 jam bukan waktu yang sedikit. Aku hanya menatap jalanan menanjak dan menurun, juga berkelok-kelok. Hanya ada jurang dan hutan di samping kanan-kiri jalan. Tapi untunglah, aku berhasil sampai ke Balikpapan.
"Kita sudah sampai." Tepat setelah itu, aku menguap. Terdengar erangan di belakang. Sebenarnya semua orang tertidur dari tadi.
"Lima menit," kata Lana.
Aku menggeleng-geleng, lalu membuka pintu. "Tidak mengapa jika kalian masih mau tidur." Aku membuka bagasi. "Tidurlah sampai aku mengunci kalian di luar rumah." Langsung saja, Lana bangun dan membuka pintu.
"Bangun, hei! Bangun!" Dia membangunkan Wursi yang langsung kaget.
"Mengagetkan saja!" Dia menampar lengan Lana.
Lana mengaduh. "Awak habis mimpi buruk ya?" tebak Lana dengan mata menyipit.
"Sudah! Kemasi barang-barangmu!" Wursi menyingkirkan badan Lana dan keluar dari mobil. Dia membantuku mengangkat tas-tas besar dan tepat saat itu Wio menghampiriku.
Dia melepas earphone yang dari tadi terpasang di telinganya. Dia menggulungnya dengan rapi sebelum memakai jaket dan mengantonginya. Dia lalu membantu Wursi dan aku memberitahu mereka bermalam di rumah satunya. Sedangkan satunya aku sendirian yang akan bermalam di sana.
"Kau tidak takut hanya sendirian?" tanya Wio.
"Bilang saja kau mau satu rumah denganku." Aku menatap datar Wio yang agaknya mesumnya tidak hilang setelah dirinya ditembak tiga kali dan berhasil selamat.
Wio tersenyum. "Memang. Boleh, 'kan?" Dia menyatukan dua telapak tangannya, memohon, sampai-sampai Wursi yang ditolongnya memekik karena satu tas berat milik Lana terjatuh di satu sisi.
"Wio!" teriak Wursi.
Wio terkekeh tanpa merasa bersalah. "Maaf." Dia kembali menolongnya.
Aku menggeleng-geleng.
"Jangan mau," bisik Lana. "Kalau kau mau hamil muda, silakan."
Aku menampar lengan Lana. "Jaga omonganmu!"
Lana terkekeh, lalu masuk ke rumah di mana Wio sedang membuka kunci pintunya.
Aku di rumah satunya.
Tas tergendong di punggung dengan tas ransel di bahu. Aku sempat dihentikan tetangga yang penasaran siapa 3 lelaki yang aku bawa. Aku jujur dan sedikit menyelipkan sindiran agar tetanggaku itu tak menggosipkanku dengan lelaki-lelaki itu.
Si tetangga mengangguk, lalu masuk lagi ke rumahnya. Aku masuk juga ke rumahku. Baru saja membuka pintu, senyumku luntur melihat debu di mana-mana.
Inilah yang kubenci kala punya rumah beton. Cepat kotor. Lebih baik aku memiliki rumah kayu.
.
"Sebenarnya, Nia, kepolisian memiliki sebuah tim peretas handal bersertifikat nasional, anggota BIN, dan mereka bekerjasama dengan kepolisian. Tim ini sudah menduga kalau kau akan mengambil ponselmu, tapi takut salah ambil ponsel karena ponsel kita sama jenis sama warna, maka dipasang layar pengidentifikasi sidik jari ke keempat ponsel kita. Setelah Lana memegang ponsel itu, maka sidik jarinya teridentifikasi dan itu berarti lokasinya bisa dilacak. Tim melapor pada kepolisian, kepolisian memastikan, ternyata Lana bersama denganmu, lalu mereka ... bagaimana menjelaskannya ya? Meng-scan lokasi sekitar Lana lewat sidik jarinya dan menemukan kita, jadi walau kita berpisah dan kau tidak ada di sekitar Lana, kau masih bisa dilacak.
"Mereka tahu kau dibawa Andi, maka dibentuklah sebuah kelompok penyamaran. Seorang kaya membelimu, dia rekan mereka. Mereka berakting--menyamar, 'kan--dan kau berhasil menuntaskan mereka bertiga dan mengambil alih mobil. Ponsel di laci mobil dipasangi layar pengidentifikasi sidik jari, juga dipasangi perekam suara. Maka saat mendengarmu meneleponku, mengutarakan keinginan, mereka bergegas melapor pada kepolisian. Lalu diadakanlah penyekatan di jembatan.
"Hebat, bukan? Oh, ya, perlu awak ketahui, orang yang membawa kami sampai ke perbatasan jalan semen dan jalan setapak juga seorang penyamar dari kepolisian. Sengaja ingin ke Sentra untuk menyelidikiku, Wursi, dan Lana. Oh, aku mengantuk. Jadi, hanya itu cerita Bripka Melati kepada kami."
Aku tercengang mendengar cerita Wio yang bangun karena haus yang kemudian tidur lagi. Aku tak mampu berkata-kata. Kepolisian bekerja terlalu hebat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top