3. Bertemu Bripka di Ruang Interogasi
Aku dikelilingi oleh petugas berpengaman lengkap nan mengerikan. Mereka semua memakai bulletproof, berseragam dengan nama tersulam, dan memakai topi--kecuali yang duduk di depanku, dia memakai kacamata hitamnya.
"Jangan heran mengapa kau ada di sini, Nak." Dia kembali bersua, melepas kacamatanya. Aku tak terlalu melihat namanya yang terjahit di dada, tapi setelah melihat wajahnya yang mirip Kimberly Ryder--sebenarnya aku sudah melihatnya dari tadi, tapi aku ingin memastikan kalau bentuk matanya berbeda--aku terbelalak.
"Bripka Melati," panggilku pelan. Siapa yang akan menyangka polisi wanita keren di depanku itu adalah dia.
"Senang bertemu denganmu lagi, Nia." Jika aku tidak ada di ruangan interogasi, mungkin aku sudah pingsan karena disapa langsung oleh seorang Bripka. Aku terobsesi dengan kepolisian, pangkat-pangkatnya, para petugasnya, dan sekarang dia, tapi sayangnya sangat tidak memungkinkan untukku pingsan di dalam ruangan jika tidak mau urusan menjadi panjang. Jadi aku berjaga.
"A-Ada apa sebenarnya? Bagaimana bisa aku ...." Aku mengingat-ingat bagaimana bisa aku berada di ruangan interogasi. Aku mengingat mobil, jalan, dan teriakan samar seorang lelaki, dan pukulan telak di wajah.
Aku meringis. Kenapa luka pukulnya tidak langsung bereaksi setelah aku sadar? Sakit di wajah menjadi-jadi. Aku kembali meringis dan memegangi wajahku dengan tangan diborgol.
Aku pun mengingat semuanya. Aku dipukul, mobilku digeledah, dan setelah aku pingsan, aku di bawa ke sini.
Mendadak aku lupa siapa yang meneriakiku. Siapa pun mereka, aku tidak ingat bagaimana rupanya dan aku tidak peduli.
"Kau memikirkan jawabannya, 'kan? Maka jawab sendiri." Bripka Melati memberi isyarat tangan kepada asistennya yang berdiri di belakang, menyuruh pergi ke suatu meja di sudut. Asistennya mengangguk, lalu berdiri tegak, balik-kanan-bubar-jalan, dan kembali dengan stopmap folio berisi di tangan.
Bripka itu mengucapkan terima kasih dengan isyarat. Si asisten mengangguk dan kembali berdiri istirahat dengan dada dibusungkan.
Bripka Melati membuka stopmap folio dan memperhatikan sekilas kertas bertulis di depannya. Dia melirikku, lalu membuang napas, dan memutar stopmap folionya sebelum menyuruhku untuk membaca.
"Coba baca apa yang menyebabkanmu bisa sampai ke sini!" suruhnya. Aku melongokkan kepala dan membaca satu-persatu kata sampai aku terpaku sejenak pada tulisan "kasus yang menjerat."
"Baca nyaring-nyaring!" Bripka Melati mengeluarkan kegalakkannya. Aku sempat cengar-cengir dan membaca kasus yang menjerat, dan setelah selesai, aku terdiam di tempat.
Bacaannya: "ND (singkatan untuk namaku) ditangkap karena mengedarkan narkotika jenis ganja. Setelah diperiksa lebih lanjut, dia positif narkoba. Dia sempat berhenti di sebuah musala dan bertransaksi dengan seorang warga. Warga tersebut kami bekuk dan dia mengakui kesalahan, dan juga membenarkan kalau ND-lah yang telah bertransaksi dengannya."
Aku berusaha menahan air mata untuk mengalir. Sangat memalukan calon polisi yang sedang menempuh pendidikan terbaiknya menangis di depan calon atasannya.
Aku kembali membaca dengan mulut tak dapat menahan getar. "ND bertindak sangat normal sehingga saat berada di hotel Kemala, dia tidak dicurigai. Mobilnya sengaja dibunyikan agar dia keluar dan menyembunyikan satu bungkus ganja yang merupakan pesanan terakhir di bawah kursi supir. ND dan tiga lainnya pergi dari Tenggarong menuju ke Balikpapan. Pembeli terakhir dari ganjanya berada di Balikpapan, akan tetapi tidak tertera nama dan alamat."
"Kami sedang menyelidikinya," kata Bripka setelah aku selesai membaca. Aku tak dapat bergerak walaupun hanya mengedipkan mata, air mata tumpah tanpa izin mengenai stopmap folio di bawah.
"Di bungkus ganja itu, ada sidik jarimu. Halaman selanjutnya adalah bukti kalau kau melakukan transaksi di musala." Aku langsung membalik halaman yang ditempel dua buah foto yang diambil tersembunyi.
Foto satu, berada di depan musala. Diambil diam-diam di sebelah tiang listrik, di dalam semak belukar.
Foto kedua, berada di samping musala. Diambil diam-diam dari sisi lain musala. Fotonya agak buram, tapi wajahku tercetak jelas di sana.
Aku mengedarkan narkotika? Tidak, aku tidak melakukannya. "Aku memang berhenti di sana karena ingin beristirahat. Teman-temanku ada yang beragama Islam dan aku menyuruh mereka untuk melaksanakan salat Asar." Aku mendongak dan menatap Bripka dengan pandangan menyakinkan. "Percaya padaku. Foto ini palsu. Wajah ini memang mirip denganku, tapi itu bukan aku." Aku menunjuk foto kedua di mana wajahku--wajah orang yang mirip denganku--tergambar buram.
"Penjahat tidak akan mengaku sampai mereka dipaksa," sahut Bripka Melati, malas. "Kamu tidak memiliki bukti yang dapat membebaskanmu dari status pelaku--atau bawahan si pelaku. Kau sudah jelas bersalah dan-"
"Bripka, aku tidak bohong!" Aku berdiri dan langsung dipegangi oleh dua petugas di belakangku. Mereka menyuruhku duduk dengan kasar dan aku menolak. "Aku memang positif narkoba, mobilku memang berbunyi tadi malam. Tapi bukan aku yang membunyikannya, aku sudah positif narkoba sejak bertahun-tahun silam."
Bripka memutar malas bola matanya. "Aku tahu apa yang kaupikirkan, Bripka. Aku merasakan perasaan lelah menginterogasi seorang pelaku yang mengaku-ngaku korban. Tapi aku bukan pelaku, aku bukan bawahan pelaku, aku adalah korban, aku bersumpah!"
"Duduk!"
Aku kembali duduk dengan air mata mengalir deras.
"Jangan menangis! Jika kau melakukan, maka akui saja dirimu, tidak perlu menangis untuk memelas padaku!" suruh Bripka yang terdengar muak itu.
Bripka, aku tidak akan menangis jika aku memelas. Aku menangis karena aku tidak punya bukti yang dapat membebaskanku dari status buruk ini.
Teman-temanku. Aku sontak mengingat mereka. "Bripka, teman-temanku tahu semuanya," ucapku lantang. Aku menggebrak meja dan berdiri kembali. "Mereka ikut denganku dan kemarin kau melihat mereka, 'kan? Tanyai mereka! Mereka tahu apa yang-"
"Mereka mengaku, mereka rekan-rekanmu. Mereka diam karena kau memaksa." Bripka menyuruh asistennya untuk mengeluarkan sesuatu dan keluarlah sebuah ponsel. Dia mengutak-atik dan memutar sebuah pembicaraan, sebuah rekaman yang suaranya terdengar familier, dan itu membuatku duduk kembali. "Ya, dia memang seorang pengedar. Ekonomi yang menurun menyebabkan dia malas berkuliah, dan saat melamar pekerjaan, dia tidak pernah diterima. Dia pun menjadi seorang pengedar."
Wio, setega itukah?
"Kau tidak punya bukti lagi," kata Bripka Melati. "Mengakulah! Aku malas memperpanjang urusan."
Aku diam. Entah kenapa di saat-saat seperti ini, aku memikirkan pepatah berani karena benar, takut karena salah. Apakah ada pepatah diam karena benar, bersua karena salah? Karena itulah yang sedang kurasakan. Aku tak tahu harus menyahut apa dan aku merasa benar. Aku bukan seorang pengedar.
"Mengaku!" suruh Bripka, sepertinya itu adalah permintaan terakhirnya. Aku mendongak, lalu menggeleng. Bripka Melati tidak terkejut, dia menyuruh dua petugas di belakangku untuk menarikku. Aku memberontak dan berteriak, tapi kekuatan para petugas yang membopongku lebih tinggi daripadaku.
Aku keluar dari ruangan interogasi dan teriakanku bergema di koridor ruangan. Aku masih memberontak sangat keras saat aku diseret di ruangan utama.
Aku keluar dari gedung kepolisian dengan nama besar di atasnya: Porles Kutai Kartanegara. Aku terdiam dan menyadari kalau aku kembali ke Tenggarong dan tersadar setelah masuk ke mobil polisi.
Saat keluar, berpuluh wartawan berusaha memotretku. Tapi wajahku ditutup oleh dua polisi yang membawaku.
"Ke mana kalian akan membawaku!?" tanyaku keras. Dua petugas yang satu laki-laki satu perempuan itu tidak menjawab dan mengapitku.
Aku memberontak, aku berharap mereka jatuh dan aku bisa keluar dari mobil. Tapi, entah kenapa aku selalu gagal dan berhasil diapit. Aku diamankan, dan kali ini dengan senjata sehingga aku duduk diam dengan air mata.
Mobil pun bergerak dengan sirenenya. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku di antara rambut-rambutku.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti. Aku mendongak untuk melihat ke mana aku di bawa dan ditarik kembali oleh petugas perempuan.
Aku ditarik sampai ke depan gedung sebuah lapas. Lapas kelas B untuk perempuan, para pegawai yang bekerja berbaris di pintu masuk seakan menyambutku.
"Amankan dia! Dia tidak mau mengaku," kata petugas perempuan di sebelahnya. Aku sontak bertingkah dan menyakinkan mereka semua kalau aku tidak bersalah. Aku telah dijebak, tapi mereka tidak percaya.
Aku beralih tangan dan ditarik ke dalam lapas. Aku meraung-raung di lobi dan menarik perhatian banyak orang.
Aku ditarik dan dilempar ke sebuah ruangan kosong yang hanya disinari mentari hangat yang masuk lewat ventilasinya. Suasana ruangan terang karena cahaya yang masuk memantul ke lantai marmer, pantulannya menyinari sudut-sudut yang mulai menghitam oleh lumut.
"Diam di sini!" ucap yang menarikku, tak kalah garang dari Bripka Melati. Aku bangkit dan ingin keluar, tapi pintu tertutup dan dikunci olehnya.
Aku menggedor-gedor dan menabrakkan diriku ke pintu. Aku berusaha membukanya sampai melorot jatuh ke lantai.
Tangisku adalah satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu. Air mata yang keluar menyebabkan rambutku lepek dan aku berubah mengerikan.
Tak beberapa lama kemudian, pintu ruangan dibuka kembali. Aku dibangkitkan oleh seorang petugas yang lain lagi mukanya, di bawa ke sebuah tempat di mana telepon kantor terletak dan seseorang sedang mengangkatnya.
"Panggilan untukmu." Telepon itu disodorkkan kepadaku. Aku mengambilnya dan menempelkan di telinga, lalu terdengar teriakan Bapak di seberang telepon yang marah besar.
"Awak menggunakan mobil Bapak untuk mengedarkan ganja? Anak seperti apa awak!"
"Jika Mamak tahu kelakukan awak gak ni, sudah dari kecil Mamak bunuh awak dengan racun tikus."
Aku kembali menumpahkan air mata, dan akhirnya kulepas telepon dan pergi ke ruanganku. Aku menutup pintu dan menghampiri sisi lain ruangan, lalu membenturkan keras-keras kepalaku ke sana.
Darah merembes keluar saat petugas tadi membuka pintu agar aku berbicara kembali dengan Bapak dan Mamakku. Dia sontak berteriak panik dan berusaha menghentikanku yang mengerang sambil menangis, sampai dia berteriak memanggil rekan dan teman-temannya pun datang.
Aku masih memberontak dengan darah mengaliri wajahku. Aku tidak tahan. Aku mau mati saja daripada hidup di dalam penjara.
Sampai akhirnya, pemberontakan itu berhenti perlahan karena aku dibius. Suntikan menancap di tengkukku dan membuat mataku berat dan sayu.
Penglihatanku buram lagi dan menghitam. Gravitasi tidak lagi kurasakan, aku terbaring tak sadarkan diri, lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top