28. Andi Berulah
Pengaruh AC dan oksigen yang membantuku bernapas ini membuat mataku berat sehingga setelah beberapa jam berjaga, aku pun tidur kembali. Lana masih berada di sampingku; terkadang dia bangkit ingin buang air kecil ke toilet yang letaknya satu ruangan denganku.
Dia setia mendampingiku, dan selama itu, dia tak henti berceloteh. Dia menceritakan bagaimana paniknya ia dan Wursi saat aku dan Wio dinyatakan dalam keadaan yang sangat lemah setelah sampai ke rumah sakit.
Kepanikan mereka dipendam Bripka Melati yang kemudian mengurus semua hal yang tak bisa mereka urus. Seperti biaya pengobatan, alat yang digunakan, obat yang dimakan, dan jasa lainnya. Semua kertas Bripka Melati yang menerima.
"Bayarannya .... Kau tidak perlu risau. Kita bisa membayarnya." Dia mengerti akan pikiranku yang malah memikirkan total biaya yang ditanggung dua teman dan polisi wanita itu untukku dan Wio.
Omong-omong, aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Jeffry dan Andi.
***
Aku menikmati kasur empuk rumah sakit yang kenyamanannya dua kali lebih nyaman dari kasurku di Jawa dan Sentra. Napasku berhembus ritmis, begitu menenangkan.
Aku tak bermimpi, tapi merasa nyenyak tertidur. Merasa begitu, aku membuka mata. Namun tak jadi kala terasa sesuatu mengganjal kerongkonganku.
Ganjalan itu sama seperti saat aku dicekik. Ganjalan itu membuatku payah hendak bernapas. Aku membuka mulut lebar-lebar dan berusaha menghirup udara.
Mataku terbuka, aku meraba sekitar. Mana Lana? Di mana dia? Aku membutuhkannya.
Jantungku berdegup cepat dan degupannya sampai ke telinga. Wajahku berkeringat. Mulut berusaha dibuka selebar mungkin agar sesuatu yang mengganjal itu hilang.
Tepat saat itu, aku mendengar kekehan. Saat itu pula, aku sadar bahwa masker napasku dilepas.
Aku kesulitan bernapas tanpa alat itu!
"Akan kupastikan, kau mati malam ini!" Suara Andi terdengar. Aku menoleh kepadanya. Dia menudungi kepalanya dengan tudung jaket. Senyum lebar dan matanya yang melotot terlihat mengerikan dari dalam tudung.
Dia memegang masker napasku. Aku berusaha menggapainya, merebutnya guna dipasang ke wajahku. Tapi tak bisa, malah Andi menahan tanganku. Tubuhku menggeliat-liat. Eranganku keluar, tapi tak ada yang datang karena mendengarnya.
Aku kehabisan napas dengan mata berdelik ke atas. Suaraku tercekat, mirip suara tikus saat dijebak perangkapnya.
Andi tertawa terbahak-bahak sebelum suara bugh terdengar. Dia dipukul oleh seseorang. Dia mundur dan menghantam monitor. Alat-alat di atas monitor jatuh tak bisa menyeimbangkan diri.
Seseorang lagi dengan rambut keriting tersisir rapi berhasil merebut masker napasnya dan segera menempelkannya ke wajahku. Aku menyentak napas, tanganku menggenggam masker napas itu. Napasku berangsur-angsur normal. Meski begitu, dadaku sakit.
"Matilah kau, An-"
"Tidak! Jangan bunuh dia!"
Seseorang yang menempelkan masker napas kepadaku itu menahan temannya yang mengangkat tinjunya tepat di atas Andi yang kerah jaketnya dicekal. "Biarkan hukum yang berbicara. Membunuhnya sia-sia jika suatu hari nanti Nia tetap dicelakai oleh bawahan Andi yang dendam." Aku memincingkan mata. Yang barusan bersua adalah Wursi.
Terdengar erangan tak terima dari temannya. "Kau taat beragama, tentu saja kau tidak akan tega melihatnya terbunuh. Namun, kurasa kau benar. Biarkan hukum yang berbicara. Si payah ini tak cocok untuk kubunuh." Itu Jeffry. Dia melempar Andi ke bawah. Andi pun terbaring tak berdaya.
"Kau buronan terakhir yang belum ditangkap," kata Jeffry. "Kau kabur hanya untuk membunuh Nia. Betapa payahnya dirimu!"
Aku melebarkan mata.
Apa salahku di masa lalu kepadanya sampai-sampai dia rela menjadi buronan hanya untuk melepas masker napasku dan menyaksikanku mati?
"Jelaskan semuanya di penjara." Tepat saat itu, seorang wanita tomboi berdiri di ambang pintu ruanganku. "Andi Mahandra, Anda ditahan!"
Setelahnya, Bripka dan rekan-rekannya meraih Andi dan memborgol tangannya. Pria itu dibawa keluar, Jeffry dan Wursi menghampiriku. Mereka bertanya apakah aku merasa sakit karena masker napas yang dilepas. Sakit dada, meski demikian aku menggeleng.
Ada tatap ragu di mata mereka setelahnya.
***
Benar kata Lana, suaraku tidak selamanya hilang. Perlahan dengan pasti, suaraku kembali. Mulanya serak, sakit jika kupaksa bersua. Lama-lama enak dikontraksikan. Aku bahkan sudah mulai bicara setelah beberapa hari menggunakan isyarat tubuh untuk menjawab semua perkataan temanku.
Dokter bilang, paru-paruku sedikit terluka. Air sungai mengikis dindingnya sehingga jika aku merasa perih di dada, paru-paruku bekerja agak ekstra. Untuk itulah, aku perlu tenang dan tidak memikirkan sesuatu yang setidaknya membuat paru-paru berkontraksi lebih kuat dari biasanya. Sejenak perih di dada membuatku tak berani minum. Minum membuat sakit di dada kembali.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku bisa berdamai dengan perih. Sakit perlahan hilang, minum aku tak merasakan apa-apa. Aku pulih.
Semenjak masker napas dilepas, aku memakan apa pun sampai habis. Persetan dengan berat badan yang akan dicek saat aku kembali masuk akademi! Aku ingin sehat secepat mungkin dengan cara makan.
Dalam hati, aku girang karena semakin hari, diriku semakin membaik. Itu pertanda kalau sebentar lagi aku akan keluar dari rumah sakit dan menyambung liburan yang sempat terjeda.
Namun, aku sedih karena selama aku terbaring di kasur, batang hidung Wio tak tampak sekalipun. Wursi bilang kalau dia sedang memulihkan diri--aku tahu, tapi Jeffry yang kelihatan belum pulih pun sempat menjengukku. Tidak mungkin dia tidak bisa.
Wio masih marah padaku rupanya. Tangisnya hari itu hanya tangis karena melihatku menangis. Tangisnya hari itu sempat kusangka tangis penyesalannya karena pergi dariku--itu benar, hanya saja saat ini aku merasa dia ... berbohong. Buktinya dia tak mengunjungiku barang sehari. Artinya dia masih marah padaku.
Jeffry dirawat jalan karena dirinya harus segera disidang. Dia menyerahkan diri, mengungkap identitasnya, dan menjadi saksi kalau aku dan teman-temanku tidak bersalah.
Bripka Melati mulanya tidak percaya kalau dia tahu aku tidak bersalah karena lelaki itu mengatakan kalau Andi adalah rekan bisnisnya di masa lampau. Akan tetapi setelah mendapat informasi kalau dia tahu semua hal mengenai kasus yang dia tangani, maka Bripka Melati pun menjadikannya saksi.
Aku harap hukum membela yang benar dan menindak yang salah. Aku harap keadilan menunjukkan keputusan terbaiknya.
***
Beberapa jam yang lalu, saat aku disuapi Lana dengan bubur--makanan paling kubenci jika sakit--Wursi datang bersama seorang perawat. Perawat itu bilang kalau aku sudah diperbolehkan keluar, dengan beberapa obat resep dokter dan konsultasi rutin 2 minggu.
Sontak saja, Lana berkemas dan merapikan ruangan. Dibantu Wursi, mereka menyiapkanku yang akan pergi dan beberapa jam menunggu, petugas-petugas rumah sakit masuk ke ruanganku.
Mereka memeriksa tekanan darah juga kolesterol. Bertanya apakah dadaku masih sakit dan diriku merasa mual. Aku menggeleng karena tak ada satu dari terkaannya yang benar.
Setelah itu, infus dicabut dan diberi plester. Sebuah kertas kecil disodorkan kepada Lana: sebuah resep obat.
Kemudian, mereka semua pamit pergi dan aku turun pelan-pelan dari kasur. Menginjak lantai, aku sempat limbung dan setelah beberapa saat, bisa berjalan dengan normal dengan diri asing karena sudah lama tidak berjalan ke luar ruangan.
Lana membantuku berjalan, sedangkan Wursi menggendong tas besar di punggungnya dan mengenggam tas lain yang tak begitu besar. Air mineral dipegang di tangan satunya. Beberapa kali dia berhenti guna membenarkan posisi tas di punggung.
Aku sudah sampai di lobi saat melihat Bripka Melati dengan kacamata hitamnya bersandar di meja resepsionis. Dia mengambil sebuah kartu dari atas meja, lalu tersenyum dan pamit, kemudian mendekatiku dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Sudah baikan?" tanyanya. Aku mengangguk.
Wanita itu mengenggam bahuku. "Aku membayar sebagian biaya pengobatanmu. Teman-temanmu hanya bisa melunasi setengah." Aku baru saja akan menyahut sampai .... "Jangan ditolak!" Aku manyun dan menanggapi tak enak Bripka Melati. Dia tersenyum, lalu melepas kacamatanya dan mengaitkannya ke baju berkerahnya.
"Anggap saja hadiah karena kau tidak terbukti bersalah." Terpaksa aku mengangguk guna menghargai perbuatannya.
Bripka Melati kemudian berbalik dan berjalan ke luar. Lana mengajakku, aku mengangguk, sampai aku terhenti karena seorang lelaki dengan kertas plastik besar di tangannya.
Di kertas plastik itu, aku bisa dengan mudah menebak kalau isinya cemilan bermacam-macam. Aku menatap heran si lelaki. Apa yang ingin dia lakukan dengan makanan itu?
"Wio, kita belum ke Balikpapan, tapi kau sudah membeli banyak makanan. Uang kita mulai sekarat. Pikirkan mobil Nia!" Lana protes. Pikirannya tak sesuai dengan pikiranku. Aku menatap Wio dengan tatapan lain.
Kembali, rasa penyesalan itu hadir. Emosi menguasai diriku. Wio tampaknya begitu, tapi memilih diam, balik menatapku.
Mataku berlinang. Aku sempat mengira pertemuan kami di pylon jembatan merupakan pertemuan terakhir. Hal itu dipatahkan dengan Wio berdiri di depanku.
Aku melepaskan tanganku dari Lana dan maju selangkah. Kuharap aku tak salah lihat.
Aku maju lagi selangkah, setelahnya air mataku dengan deras keluar. Aku mengepalkan tangan, mengendalikan emosi. Aku menangis di tempat hingga menarik perhatian orang lain.
"Wi," panggilku di tengah-tengah isakan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top