25. Demi Nia
"Kau baik-baik saja?" tanya Wio. Dia melihat ke tubuhku, bajuku, lalu melebarkan mata dan kembali menatapku. "Kau-"
"Apa kau pikir semuanya baik-baik saja setelah kau pergi, hah!?" Aku memukul bahu Wio, sebelum menangis dan menunduk.
Wio tak peduli akan pukulanku. "Bagaimana bisa baju ini melekat ke tubuhmu? Apa yang sudah terjadi setelah aku pergi? Kenapa ... kau didandani!?" Wio mengelus bahuku dan kaget karena tak ada satupun kain yang melapisi bagian tubuhku itu. "Gaun tak berkain bahu pula."
"Aku sudah memberitahumu di telepon," jawabku. "Kenapa kau diam saat aku benar-benar membutuhkanmu?"
Wio terdiam. Tampaknya dia memikirkan perbuatannya beberapa waktu yang lalu. Dia meraih wajahku dan menangkupnya. Dia menyeka air mataku, melihat ke jempol yang sudah hitam akibat maskara yang luntur.
Mendadak anak itu menjauhkan tangannya dari wajahku dan menatap ke tepi sungai. "Ayo, menepi! Kau sudah sedingin es." Dia menarik tanganku. Aku menarik balik tanganku dan ... jujur saja, aku menggigil, hanya saja aku ingin berenang sendiri.
"Aku ingin berenang sendiri," kataku.
"Ck! Jangan memperlambat waktu! Kau bisa kena hipotermia. Peluk leherku, aku akan membawaku ke-"
"Tapi-"
"Memangnya kau bisa berenang secepat yang kubisa, hah?" Wio membungkamku. Dia menatap kesal, membuatku menunduk sebelum dia menghampiri dan menarik tanganku.
Dia membalik badannya, lalu memosisikan tanganku memeluk lehernya. Tanganku bersilang dengan dia mengenggam agar tidak terlepas. Setelahnya, dia mulai berenang mengandalkan satu tangan dan dua kaki.
Aku menatapnya dari belakang. Mataku berlinang lagi. Wio kembali, tanpa kusangka--sebenarnya sudah kuduga hanya saja tak yakin. Dia tidak benar-benar marah padaku.
Sejenak aku penasaran di mana Lana dan Wursi. Aku harap mereka bersembunyi agar tak dilukai Andi yang perlakuannya seperti seorang psikopat.
Sesuatu jatuh dari jembatan. Dia masuk ke dalam air, tepat beberapa meter dari tempat aku dan Wio berada.
Wio langsung mempercepat renangnya, sedangkan aku memeluk lehernya. Aku rasa kami berpikiran sama--yang jatuh tadi bukanlah sesuatu yang baik.
Benar saja. Di tempat jatuhnya sesuatu tadi, munculnya seseorang yang menyibak rambut basahnya. Dia tersenyum senang melihatku, lalu menenggelamkan diri dan hilang entah ke mana.
Wajahnya merupakan wajah lelaki tampan bawahan Andi yang sempat kusebut beberapa waktu yang lalu. Beberapa saat kemudian, sesuatu jatuh lagi dari atas dan tenggelam sejenak, sebelum muncul dan itu sebuah senapan.
"Ah!"
Aku ditarik oleh sebuah tangan. Pelukan di leher Wio terlepas dan lelaki itu langsung berbalik untuk merebutku.
Aku ditenggelamkan oleh seseorang yang menekan kepalaku tepat di bawah permukaan air. Aku membuka mata, melihat lelaki itu tersenyum mengerikan, membuatku langsung menepis tangannya di atas kepala dan memunculkan diri ke permukaan.
"Wio!"
Aku sempat berteriak sekali sampai rambutku ditarik oleh si lelaki. Aku kembali masuk ke dalam air, kali ini dia mendorongku ke bawah, menahan tangan dan kakiku, lalu menahanku untuk muncul ke permukaan.
Hidungku sakit karena aku tersedak sedikit air saat ditarik. Sesuatu mirip jarum menusuk-nusuk kepala setelahnya, membuatku memberontak minta dilepaskan agar aku bisa menghilangkan rasa sakitnya.
Pemberontakanku itu memerlukan tenaga dan karena tenaga yang digunakan haruslah besar, perlahan oksigen di dalam tubuh berkurang dan itu membuatku kalap. Aku tak dapat menahan napas lebih lama lagi di dalam air. Aku harus ke permukaan, aku harus memunculkan diri ke permukaan agar aku tidak mati kehabisan oksigen karena lelaki tampan itu.
Pemberontakanku membuahkan hasil kala Wio datang dan menyekap si lelaki. Si lelaki sontak melepasku, fokusnya teralihkan dengan aku berenang cepat ke permukaan. Aku menimbulkan diri dan langsung menghirup rakus udara sekitar sebelum Wio juga muncul bersama lelaki tampan itu.
"Kau yang namanya Wio, huh?"
"Matilah, Nathan!"
Mereka kembali tenggelam, membuatku kalut takut Wio diapa-apakan. Lelaki bernama Nathan itu tampaknya memiliki cukup besar peluang untuk menang. Dia bisa mengalahkan Wio, menahannya di dalam air, tapi aku yakin Wio tidak akan kalah dengan lelaki yang kelihatannya sama tua dengan dirinya itu. Aku yakin Wio akan selamat.
Mereka kembali timbul.
"Nia, cari daratan! Cari bantuan! Di sana ada-" Wio kembali tenggelam dengan Nathan di atasnya. Tangannya sempat menunjuk ke Pulau Kumala, tempat di mana beberapa perahu mulai mendekati jembatan hanya saja dihalangi sebuah bising peluru yang ditembakkan bertubi-tubi dari atas jembatan.
Aku langsung berenang ke fondasi semen jembatan. Fondasi semen itu memiliki permukaan seluas 10x5 meter jika persegi panjang, berbentuk segi delapan yang mana di tengahnya tersambung dengan pylon jembatan. Permukaan itu memiliki tebal sekitar 1 meter yang ditopang beberapa tiang pancang. Aku naik ke sana, menghela napas ngos-ngosan, lalu menatap ke Wio yang berenang menghampiri. Wajahnya sudah berdarah entah diapakan Nathan.
Aku menarik tangan Wio, membantunya naik. Dia berbaring sejenak, terlihat lelah, kemudian bangkit perlahan dan membawaku menjauh.
Tepat saat itu, beberapa orang menjatuhkan diri dari jembatan dan sebuah perahu karam akibat tembakan bertubi-tubi dari atas jembatan. Sebuah perahu berusaha melawan sebelum penumpangnya panik karena sebuah peluru berhasil mengenai perahunya.
Perahu itu ikutan karam.
Orang-orang yang tadi menenggelamkan diri, muncul dengan senapan di tangan. Salah satu di antaranya adalah Dandi, Pak Kumis, dan Nathalia. Mereka murka dan senang bersamaan. Aku mengeratkan tangan ke tangan Wio, takut.
Mereka naik ke permukaan, Wio melindungiku. Dia melawan semua orang itu sendirian. Merasakan tenaga di tubuh sudah pulih, aku pun membantunya.
Aku melawan Nathalia. Dia berusaha menembak, tapi senapannya berhasil kuraih dan kulempar ke lain arah. Kami melayangkan pukulan satu sama lain sebelum aku mendapat tangannya dan langsung menariknya untuk dijatuhkan ke permukaan semen. Dia mengerang kesakitan sebelum aku didekap dari belakang oleh seseorang.
"Tidak ada siapa pun yang bisa menyakiti kakakku!" Nathan menahanku bergerak. Aku langsung menginjak kakinya dan dia pun melepaskanku.
Aku mendorongnya, menyebabkannya kembali jatuh ke air. Fokus kepada Nathan yang kembali tenggelam, kakiku disepak dari belakang, menyebabkan aku langsung jatuh, bokong menghantam keras semen. Belum sempat mengaduh, kakak Nathan itu mendorongku dan kami sama-sama jatuh ke air.
Aku bisa muncul ke permukaan kembali sampai Nathan mendorongku ke permukaan tebal fondasi semen. Punggungku terbentur keras, aku mengaduh, lalu kurasakan dua buah tangan mencekal leher dan dua jempolnya menekan kuat leherku.
Mendadak aku kesusahan bernapas. Aku mangap-mangap. Berusaha melepaskan, tanganku ditangkap oleh Nathalia. Nathan sendiri menurunkan jempolnya dan mencekikku makin kuat. Kata tolong terpatah-patah kuucap. Mataku berdelik ke atas dengan tangan berusaha dilepaskan.
Aku baru saja berada di ambang kematian saat suara dor terdengar dari tepi sungai. Suara dor itu membuat Nathan mengerang. Dia melepas cekikannya, kakak perempuannya langsung melepas tanganku. Nathalia tampak geram dengan diriku yang lemas. Dia menatap ke asal bunyi ledakan, aku juga menoleh dan melebarkan mata tidak percaya.
"Kalian tidak akan bisa membunuhnya jika aku masih hidup." Jarak antara diriku dan tepi sungai cukup dekat, sehingga perkataan Jeffry penuh penekanan itu terdengar.
Aku tidak menyangka dia akan datang dan menembak seorang anggota dari kelompok yang telah memberinya uang hasil penjualan perempuan. Di belakangnya, Albeta, Shinta, Linda, Pak Ari, dan Bu Rasih berdiri. Mereka kembali!
Pak Ari, Albeta, Shinta, dan Jeffry yang berdiri di turapan menjatuhkan diri ke dalam sungai dan tidak muncul sampai beberapa saat setelahnya. Aku dan Lia memaling-malingkan wajah. Nathan hanya meringis sakit memegangi lengannya.
Sampai akhirnya Lia ditarik dari dalam air dan Albeta muncul di depan Nathan. Lelaki itu langsung mendorong Nathan, menenggelamkannya, sebelum Jeffry muncul dengan Pak Ari naik ke permukaan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Jeffry. Wajahnya membuatku diam. Dia menjualku, tapi kelakuannya sekarang membuatku menganggap kalau dia tak menjualku. Dia masih perhatian, seakan saat dia menyerahkanku kepada Andi beberapa waktu yang lalu, dia hanya berpura-pura.
"Jeff, aku butuh bantuanmu!" Teriakan Pak Ari membuat kami berdua terinterupsi. Jeffry langsung naik ke permukaan. Aku juga naik dengan susah payah dan melihat Wio, Pak Ari, dan Jeffry sedang berusaha melawan orang-orang yang kini bertambah.
Aku melihat seseorang yang terkapar, bergerak pelan dengan senapan di tangan. Aku lantas menghampirinya, menginjak tangan dengan kakiku yang entah ke mana sepatu high heels-nya, lalu mengambil senapannya dan membidik, sebelum menekan pelatuk dan terkena satu.
Wio menoleh padaku dan terbelalak. Dia menghampiriku, merebut senjataku. "Kau tidak boleh menggunakan ini!"
"Aku ingin membantu!" pintaku.
"Tidak! Pergilah ke tepi! Bu Rasih dan Linda menunggumu," suruh Wio.
"Tapi-"
Dor! Dor! Dor!
Sebuah tali jatuh dari jembatan dan seseorang tampak turun dari atas ke tempat kami. Dia segera menumpahkan pelurunya ke arah kami, Jeffry, dan Pak Ari. Kami berempat sontak berlindung dengan Wio memeluk badanku.
Tembakan itu menginterupsi Jeffry dan Pak Ari sehingga mereka mendapat balasan atas pukulan yang mereka layangkan. Mereka dipukul habis-habisan, lalu ditahan tangannya. Mereka terduduk, menunduk berusaha menetralkan rasa sakit sebelum tangan mereka ditarik ke belakang, membuat mereka berdua berteriak kesakitan.
"Aku tidak menyangka Nia akan mendapat bantuan." Andi-lah orang yang turun dari tali itu. "Sayangnya, bantuan yang diberikan tidaklah cukup." Andi mengarahkan moncong senjatanya kepada Jeffry.
"TIDAK!" Dor! Satu peluru bersarang di tubuh Jeffry. Pak Ari memberontak, hendak mengobati dan memberi pelajaran kepada Andi sebelum Andi mengarahkan moncong senjata kepadanya dan melakukan hal yang sama.
"HAHAHA!" Dia tergelak. "Hanya begini yang bisa kalian lakukan untuk menyelamatkan Nia, hah!?" ejeknya. Aku dan Wio terbelalak, menatap Jeffry dan Pak Ari yang tampak sudah tak bertenaga. Bu Rasih di seberang sudah berteriak sambil menangis dengan Linda yang menahannya untuk pergi menghampiri.
"Bangsat-"
Dor!
Wio baru saja akan bangkit sebelum Andi mengarahkan cepat moncong senjata sehingga sebuah peluru melayang kepadanya. Andi yang mulanya tersenyum, memurungkan wajah. Wio memegangi dadanya, lalu menoleh padaku yang terbelalak.
"Aku tak berniat menembak dadanya, aku ingin menembak kepalanya." Andi tampak merasa bersalah. "Tidak mengapa. Mungkin tembakan ke Nia tidak lagi salah sasaran."
Aku menoleh kepadanya secepat kilat, kaget dengan mulut terbuka. Aku menggeleng-geleng, menggumamkan kata tidak berkali-kali di mulutku sebelum Wio memeluk tubuhku tepat sebelum peluru kembali melayang.
***
Sedikit penggambaran:') Takut tidak paham dengan deskripsi;)
Pylon = tiang . Tapi membedakan dengan tiang pancang, juga disesuaikan dengan istilah dunia arsitektur, maka ditulis pylon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top