23. Permintaan

Kini aku duduk di dalam mobil bersama si orang kaya tadi. Mobil sudah berjalan pelan di jalanan kota. Dari mulanya gedung-gedung perkantoran yang kulihat, berubah menjadi bangunan-bangunan rumah yang begitu mewah.

Kukira jarak antara klub malam itu ke rumah si orang kaya ini dekat setelah aku melihat rumah-rumah itu. Ternyata itu bukan komplek perumahannya. Mobilnya sama sekali tak berbelok ke salah satu rumah di komplek tersebut.

Hawa dalam mobil bisa dibilang kurang enak. Mobil ini dilengkapi fasilitas di mana kursi barisan depan dan barisan belakang dipisah oleh sekat hitam dengan jendela kecil di tengahnya.

Dua anak buah si orang kaya berada di barisan depan, menyetir mobil dan bercakap sejenak. Aku dan si orang kaya hanya diam. Meski begitu, aku tahu dia sedang mencari kesempatan berduaan denganku di mobil itu.

Benar saja. Tangan lelaki itu mulai nakal. Pahaku memang sedikit tertutup, tapi dia mengelusnya yang masih dilapisi kain. Begitu sensual.

Aku tak menoleh kepadanya karena sentuhan itu. Sampai dia memalingkan wajahku ke wajahnya. Kami bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.

"Katanya kau memuaskan. Benarkah?"

Aku memincingkan mata. "Lakukan jika kau mau tahu jawabannya," jawabku. Si lelaki melebarkan mata, lalu tersenyum senang dengan tangan meraih kancing jas, kemudian melepasnya dari atas.

Dia melepas dasi dan sementara itu, dia mendekatkan wajahnya padaku. Dia melepas sabuk pengamannya dan pengamanku dengan tangan satunya, lalu mendorongku perlahan-lahan sampai aku tersandar di pintu mobil.

Satu kakinya naik ke atas kursi, lelaki itu mulai mendekati leherku. Dia memiringkan kepalanya, aku hanya diam dan memejamkan mata kala dia mengecupnya.

Menyangka tak ada perlawanan dariku, dia pun menyentuhku. Dia menarik tengkukku, menenggelamkan wajahnya ke leherku dan menciuminya naik-turun. Aku tetap diam dengan mata kosong.

Sampai akhirnya, aku mengangkat lututku mendadak dan tepat mengenai kemaluannya. Dia langsung berhenti, memegangi selangkangannya, mengerang kesakitan dengan dua anak buahnya yang langsung menoleh kaget.

Aku menarik si orang kaya ke bawahku dan menekan perutnya dengan kakiku. Aku bangkit dari duduk, meraih pistol yang baru saja hendak ditodongi salah satu anak buah dan mengarahkannya balik kepadanya. Aku juga menekan kuat-kuat sekat hingga sobek.

"ARGH! LEPASKAN! SAKIT!" Si orang kaya mengerang. Tentu saja, aku menekan kuat bagian perutnya dengan high heels. Jika aku menekannya lebih kuat lagi, perut si lelaki mungkin akan bolong. Erangannya itu membuat si pengemudi berkeringat dingin, terlebih rekannya ditodongi senjata dan sebuah peluru siap ditembakkan.

"Hentikan mobil ini dan keluar!" suruhku kepada si pengemudi. Si pengemudi meneguk ludah. Dia menggeleng pelan.

"Kau!" Dor! Aku tak dapat menahan diri untuk meletuskan peluru. Peluru melesat, meleset, orang yang kuarahkan pistol langsung pingsan di tempat dan si pengemudi langsung menghentikan mobilnya.

"Kuncinya masih ada di tempat kunci." Dia langsung keluar. Dia membuka pintu barisan pertama dan mengeluarkan rekannya.

Aku membuka pintu barisan kedua dan menarik si orang kaya agar keluar dari mobilnya. Setelah si orang kaya dirangkul anak buahnya guna ditepikan, barulah aku masuk ke dalam mobil dan mengambil alihnya.

Tidak kusangka akan semudah ini. Namun aku harus tetap waspada. Andi menyuruh Dandi dan Pak Kumis untuk mengikuti mobil ini. Mereka mungkin sudah tahu kalau sekarang akulah yang mengendalikan mobil ini. Mereka akan balik menyasarku. Aku harus cepat kembali ke Tenggarong dan mengakui kesalahanku kepada polisi agar masalah cepat selesai.


Aku berhenti di perempatan, menunggu lampu merah berganti sebelum kulihat lewat spion kanan kalau sebuah mobil melaju ke arahku. Aku terbelalak, bisa diketahui kalau mobil itu mobilnya Dandi dan tanpa menunggu lampu berubah jadi hijau, aku tancap gas.

Suara mesin yang berderu kencang terdengar mengisi kesenyapan malam yang akan berganti pagi. Kuharap ada polisi yang berpatroli. Dia akan melindungiku dari anggota G.A.N.J.A. itu.

Kali ini aku tak segan melakukan drift meski belum berpengalaman. Suara decitan ban kala aku mengebut dan mengerem sambil memainkan setir menjadi musik tersendiri di telingaku.

Aku jeli menatap ke arah mana aku akan pergi. Aku berbelok-belok. Terkadang setelah berbelok ke suatu persimpangan, aku berbelok lagi guna mengecoh mobil itu.

Sampai akhirnya aku sampai di sebuah mal terkenal di Samarinda. Mal itu dilengkapi tempat parkir bawah tanah. Aku langsung berbelok pergi ke sana.

Aku masuk ke dalam parkiran, turun dan turun, mengerem dan mengegas. Lalu aku bersembunyi di sebuah parkiran kala mobil itu masih ada di dua lantai atas di atasku. Aku mematikan mesin, keluar, dan mengunci mobil. Aku ke luar, tiarap di bawah mobil, menggeser-geser badanku dan memperkirakan apakah akan terlihat atau tidak.

Sejenak terdengar suara deru mobil yang mendekati mobilku. Sekedar informasi, cukup banyak mobil yang parkir di tempat ini. Entah punya siapa dan kenapa bisa parkir di sana.

Terdengar suara pintu yang ditutup. Kemudian aku mendengar langkah kaki. Satu persatu kaca dipecahkan. Aku menahan napasku untuk berbunyi. Tepat setelah itu, sepasang kaki berdiri di depan pintu mobil barisan depan.

Sampai akhirnya tibalah saat bagi kaca mobilku dipecahkan. Aku masih menahan bunyi napasku dan menghindari pecahan kaca yang memantul ke arahku.

Si pemecah berusaha membuka mobil, lalu berdecak. "Tidak mungkin mobil yang ini. Mobil ini terkunci dan tidak ada Nia."

Setelahnya, dia pergi. Suara pintu mobil yang ditutup disusul suara mesin. Suara mesin itu semakin jauh dan aku keluar dari persembunyian.

Aku memeriksa bagian depan, kanan, kiri, dan belakang dan masuk ke dalam mobil setelah dirasa aman. Aku menyalakan mobil kembali, menderukan mesin, tidak ada hal yang terjadi, aku pun menghela napas dan keluar dari parkiran, lalu mengebut mencari tempat aman.

Aku cemas sepanjang jalan. Aku takut orang-orang itu menemukanku. Rasa takutku berkurang setelah aku menemukan jalan menuju perbatasan Samarinda. Perbatasan itu ditandai dengan sebuah bukti tinggi di mana di samping jalan menuju bukit itu, sebuah perumahan modern dan perusahaan besar bertempat.

Jalanan benar-benar sepi. Ada lampu jalanan berwarna kuning yang beberapa berkerlap-kerlip. Aku membuang napas. Aku menyentuhkan dahi ke setir. Aku menghela napas panjang sebelum menoleh ke laci mobil yang terbuka--sempat kubuka setelah berhasil kabur dari G.A.N.J.A. untuk menyimpan pistol.

Aku melihat-lihat ke sana dengan bantuan lampu jalanan yang bersinar temaram, lalu tak sengaja menyentuh permukaan licin yang setelah kucomot merupakan sebuah ponsel.


Aku membukanya, tidak bersandi sama sekali! Aku tersenyum. Kemudian aku pergi ke kontak dan menekan beberapa digit angka sebelum bunyi tut tut tut terdengar.

Aku menunggu dengan perasaan kembali bercampur aduk. Hatiku tak karuan. Aku merasa frustasi untuk sesaat.

"Halo?" Setelah telepon tersambung, aku melongo tidak percaya. Dengan cepat air mata terkumpul di pelupuk, sebelum akhirnya tumpah karena emosi sampai ke puncak.

"Hai, Wio."

.

Aku memperdengarkan isakan lirihku kepada Wio yang tidak mematikan teleponnya. Dia mendengarkannya, lalu membuang napas dan berkata, "Langsung ke inti."

Seandainya anak itu tahu betapa menyesalnya aku dan betapa remuknya hatiku, maka dia tidak akan bertanya seperti itu padaku. Rasanya ponsel mau terlepas dari tangan karena diriku mendadak lemah. Aku benar-benar merasa bersalah akan semua kesalahan yang telah aku perbuat. Aku payah!

"Jawab atau telepon-"

"Baik," potongku. Wio pun diam. Dia mempersilakan.

Aku menarik dan membuang napas berkali-kali. Punggung tangan mengusap air mata berharap cara itu dapat menghentikan tangis. Aku menempelkan tangan di dada, mengelus-elusnya. Aku memejamkan mata, menetralisir perasaan sebelum mengutarakan niat. "Kau benar, Jeffry jahat."

Wio hanya diam, membuatku meneruskan.

"Dia menjualku diam-diam kepada G.A.N.J.A. Sekarang aku sudah lari dari mereka. Aku sedang menyelamatkan diri."

Masih tak ada sahutan dari Wio.

Air mataku mengalir lagi.

"Jika saja kau mengerti apa yang kurasakan." Aku mulai kesusahan hendak berbicara karena hati yang sesak. "kau akan mengerti apa yang telah terjadi."

Wio masih diam.

Dia ... masih marah padaku.

Aku menarik napas. "Kau di mana?" Aku iseng bertanya seperti itu.

"Perbatasan antara jalan bersemen dan jalan setapak menuju Sentra." Anak itu menjawab.

Aku membuang napas. "Kau ... bisa kembali lagi ke sini?" Aku terisak. "Aku ... membutuhkanmu."

Wio lagi-lagi tidak menjawab!

"Tunggu aku di jembatan penyeberangan antara Tenggarong ke Tenggarong Seberang. Jika kau tidak mau, kau-"

Tut, tut, tut.

Telepon terputus, baterai ponsel habis. Aku membuang napas. Sepertinya Wio tidak akan datang untuk menjemputku. Dia sudah dekat dengan Sentra dan tidak memungkinkan baginya kembali hanya untukku yang sudah bersalah padanya.

Aku memasukkan telepon kembali ke dalam laci dan kembali memegang setir. Harapanku rasanya pupus. Aku merasa aku akan kembali lagi kepada Andi.

Polisi kuduga tidak akan dapat membantuku karena Andi bilang, dia punya banyak anak buah di kepolisian dan detektif. Aku akan berakhir juga di tangan Andi. Tak sadar aku menangis lagi.

Hatiku remuk, lalu disayat. Begitu sakit terlebih isakanku terdengar lagi dan hal itu membuat dadaku semakin sesak.

Aku mengingat semua hal yang telah kulewati akibat keteledoranku. Aku lupa memeriksa kursi supir sebelum berangkat dari hotel, aku menghancurkan mobil Bapak, aku bersalah kepada Wio, dan sekarang, putus asa saat ingin kabur dari G.A.N.J.A.

Namun, aku tak bisa menyerah begitu saja. Setidaknya aku bisa sampai di Tenggarong walaupun Wio tidak ada di sana. Aku akan melindungi diriku sendirian dari Andi, tanpa bantuan orang lain. Bukankah aku bisa membuat rencana? Aku menghapus air mataku. Bersedih tidak akan membuat semuanya baik-baik saja.

Maka dari itu, aku pun kembali tancap gas. Aku harus tetap kembali ke Tenggarong meski nanti tetap berakhir di tangan Andi. Aku akan melihat kota itu untuk sekali lagi. Aku akan memuaskan mata dan diri sebelum dibawa Andi kembali ke tempatnya untuk dihukum.

Aku akan mengadakan liburan kecil-kecilan sendirian dengan status buronanku. Anggap saja aku sedang liburan ke Balikpapan.

Balikpapan, aku merasa bersalah kembali. Aku berbohong kepada Wio, Wursi, dan Lana kalau akan mengajak mereka pergi ke Balikpapan guna menikmati pantainya. Ternyata karenaku, kami semua terjebak kasus dikambinghitamkan dan akhirnya berakhir berpisah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top