22. Pergi dari Andi

"Kami akan menjualmu, kau akan dibeli, kau akan dibawa pergi dari sini, dan Dandi serta Pak Kumis mengikuti kalian jika mereka berdua tidak diberi izin membawamu ke rumah mereka dengan menumpang mobil.

"Di jalan sepi, Dandi dan Pak Kumis akan menghentikan si pembeli dan membunuhnya dengan kejam. Kau mungkin bisa menontonnya sesaat sebelum kau dibawa kembali lagi ke sini.

"Kami akan meretas rekeningnya, mengambil semua uangnya dan memalsukan kematiannya. Kami tidak akan dicap bersalah. Banyak dari anggota kami merupakan seorang petugas di kepolisian dan detektif.

"Begitu seterusnya. Kau dijual, pembeli dibunuh, kau pulang, lalu dijual lagi. Berulang-ulang.

"Kau tidak akan dihamili oleh mereka. Jadi, tenanglah."

***

Sudah jam 3 pagi kurang 5 menit. Detak jam terdengar ritmis, menjadi lagu selain suara berdentum-dentum itu. Aku menatap kosong lantai di bawah, aku sedang duduk di atas kasur. Badanku pegal karena duduk di belakang pintu. Aku pun beralih tempat dan memakai celanaku. Beberapa gigitan tercetak di paha dan betisku dan itu membuatku mengulang kembali adegan di mana Andi menciumi kakiku sampai jari-jari kakiku.

Dia menjijikkan. Kakiku itu bau, terlebih aku belum mandi hampir seminggu ini. Namun, dia tetap mengecupnya. Dia menggigitnya sekali-kali hingga aku mengerang karena kesakitan.

Dia tak seperti Wio atau Jeffry yang ketika ciumannya melayang ke badan, maka akan membuat kepayang. Andi lebih ke memuaskan dirinya sendiri daripada memikirkan si pemuas yang merasa tak dipuaskan--aku tidak meminta dipuaskan!

Lelah dengan kaki, dia ke tukang selangkaku. Dia menciumnya penuh nafsu, berusaha membuatku mendesah, tapi tidak berhasil karena aku sakit hati dan menahan tangis.

Pernah suatu waktu aku berusaha menolaknya, memberontak keras di bawahnya. Dia menempelkan alat penyetrum ke pinggangku dan berkata, "Aku belum menekan tombolnya. Jika aku menekannya, mungkin badanmu tak bisa tegak lagi."

Aku menangis.

"AKU TIDAK MENYURUHMU MENANGIS!

"JADI APA MAUMU!?" sahutku, tak kalah nyaring.

Andi sudah kelihatan murka karena aku berani menyahut perkataannya. Namun dia mengendalikan diri dengan mengerang keras, lalu menjatuhkan wajahnya ke samping kepalaku, berbisik, "Jika dari awal kau mendengarkan Wio, kau tidak akan berada di sini bersamaku. Jadi jangan salahkan aku jika aku mencicipimu. Salahkan dirimu yang sudah salah mengambil keputusan." Dia pun mencium telingaku sebelum turun ke leher dan naik ke telinga lagi.

Perkataannya itu membuatku merenung saat ini. Dia benar. Jika dari awal aku mendengarkan Wio, semua ini tak akan terjadi.

Krek!

Aku menoleh ke pintu kamar di mana pintu itu kini terbuka lebar. Dua orang perempuan membungkuk hormat kepadaku. Mereka memakai pakaian pelayan dengan tas tergandeng di tangan.

"Apa yang-"

"Dandani dia dengan baik, semuanya" Seorang perempuan muncul di belakang mereka, lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. "Pembelinya orang yang kaya. Kalian harus membuatnya begitu cantik sehingga lelaki lain terpikat."

"Baik, Nona." Dua wanita paruh baya itu mengangguk, lalu menghampiriku yang langsung turun dari kasur.

"Apa yang ingin kalian lakukan?" Aku menahan mereka. Si perempuan yang tadi menyuruh terkekeh geli.

"Kami harus menyodorkan barang bagus kepada pembeli yang kelihatannya kaya." Si perempuan menghampiriku, melewati dua wanita paruh baya itu. Dia membusungkan dadanya, melipat tangannya, dua kancing baju kerahnya dibuka dari atas dan belahan dadanya terlihat. Rambut bergelombangnya membuatku menjadi dingin. Dialah orang yang membuat luka di kepala kembali tercipta. "Jika barang itu jelek, maka kami harus memolesnya agar kelihatan bagus, kecuali dia memang tidak bisa diubah." Dia tersenyum miring.

Aku mengepal tanganku. Ingin sekali kupukul perempuan di depanku ini jika saja dia tidak tahu bela diri.

Si perempuan menunjuk ke arah kursi. "Pergilah. Bu, bawa dia!" suruhnya.

"Baik, Nona." Dua wanita itu pun menggandeng tanganku. Aku dibawa menjauh dan didudukkan di kursi meja hias yang ada di kamar itu.

Bayangan si perempuan yang duduk sambil menyilangkan kakinya di pinggir kasur tercetak di cermin. Selama dua ibu-ibu itu mendandaniku, mataku hanya terarah padanya. Dia tersenyum licik.

Aku tidak tahu apakah malam ini, pembeliku itu benar-benar seorang yang kaya sehingga perempuan itu nampaknya menyewa pendandan pengantin berbayaran mahal. Aku tak peduli, aku tak mau tahu. Malam ini adalah malam di mana kebebasan akan bisa kuraih lagi. Aku sudah punya rencana.

.

Aku didandani begitu cantik. Ibu-ibu pendandan tampak puas akan hasil yang mereka peroleh. Kini aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku di mana pakaianku telah diganti. Rambutku tergerai, sedikit bergelombang karena suatu alat pembentuk rambut yang bentuknya panjang--aku tak tahu namanya.

Aku memakai sebuah gaun shoulder-off. Baju itu sobek di paha kiri sehingga paha dan betis kiriku terlihat.

Gaun itu dihiasi bulatan-bulatan kecil yang memantulkan cahaya. Pantulannya berwarna-warni. Gaun itu begitu pas di badan.

Gaun itu menutup payudaraku, itu bagus. Gaun ini lebih baik dari gaun merah yang kukenakan 4 tahun lalu. Aku sedikit ... menyukai baju ini.

Suara penyemprot parfum terdengar. Uap langsung mengarah ke muka dan gaunku. Seketika, diriku yang tak mandi mendadak harum karena parfum itu. Jika aku mempunyai satu, maka aku tak perlu mandi setiap hari. Cukup parfum itu yang mewangikan tubuhku sehingga aku dianggap sudah mandi.

"Selesai." Dua wanita itu tersenyum girang. Mereka membalikku, memperlihatkan bagian depanku kepada perempuan tadi yang wajahnya berseri-seri.

"Kerja bagus!" pujinya. Dia bangkit dan merogoh kantong roknya. Dia mengeluarkan satu gepok uang yang warnanya merah semua. Dua wanita itu langsung mengambilnya dan membereskan peralatan sebelum pamit pergi.

"Kau sangat cantik," pujinya lagi selagi mereka berkemas. Aku diam sampai dua wanita itu keluar dari kamar. Setelah keluar, barulah aku menyahut, "Jika perkataanmu sarkas, lebih baik kau diam, tidak usah memujiku."

Si perempuan tertawa. "Aku benar-benar memujimu, Bodoh!"

"Apa sudah-"

Aku dan si perempuan menoleh ke pintu di mana Andi berdiri, ternganga melihatku yang sudah berubah.

"Wow." Dia kagum. Andi mendekati si perempuan, mengelus bahunya sesaat, si perempuan tersenyum, mengangguk, dan mereka berbicara lewat bahasa isyarat sebelum Andi beralih kepadaku.

"Dandanannya tidak buruk, Nathalia," pujinya, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Netral. Tidak terlalu cantik dan tidak terlalu jelek."

Perempuan bernama Nathalia itu tersipu. "Aku memesan pendandan langsung dari sebuah salon ternama di Samarinda. Makanya dia kelihatan cantik walaupun make-up-nya hanya sedikit."

"Wow." Andi kembali mengucapkan itu.

Aku melebarkan mata kala tahu aku berada di Samarinda. Aku tidak terlalu mengenal jalan-jalan di kota itu. Aku hanya mengenal bagian Tenggarong dan Jawa Tengah. Namun, aku akan tetap berusaha.

"Cepat bawa dia! Pembelinya sudah datang." Andi berbalik. "Aku akan mengajaknya berbincang sejenak. Setelah itu, kita jalankan misi." Lia tersenyum.

"Baik, Bos!"

Lia--kuperpendek--langsung menarik tanganku. Aku hanya mengikut.

Aku dibawa ke ruangan berdentum-dentum yang dari tadi tidak berhenti-henti. Lia membuka pintu, menarikku masuk, sebelum aku melebarkan mata karena ruangan itu merupakan sebuah klub.

Klub ini lebih tertata, lebih besar, dan lebih mewah daripada klub di mana Wio mencium leherku agar tidak ketahuan penyamar kepolisian dan penyamar G.A.N.J.A. Aku berada di lantai dua klub. Lautan manusia bisa kulihat di bawah, di lantai dansa yang berada di lantai 1.

Lia langsung menarikku, menerobos beberapa lelaki yang masing-masing menggandeng pasangannya. Tatapan mereka sempat terarah padaku sebelum wajah mereka dipalingkan pasangannya. Si pasangan terlihat cemburu. Si lelaki kembali fokus padanya dan terdengar kecupan setelahnya.

Di klub ini, lampunya berkerlap-kerlip. Suasana temaram dan bergetar-getar karena suara berdentum dari musik yang dimainkan seorang DJ di atas panggung.

Di klub ini, tidak hanya kutemukan lelaki berpasangan perempuan atau perempuan berpasangan lelaki. Ada juga pasangan sesama perempuan dan sesama laki-laki di sini. Mereka tampak menikmati menjalin cinta satu malam dengan sesama jenis.

Di beberapa bagian, terdapat panggung. Di panggung itu, penari erotis meliuk-liukkan badannya, membuat tegang penonton yang duduk di sofa tepat di depan panggung.

Meja bar dan botol-botol minuman keras tertata di bagian lain tempat ini. Kursi tinggi hampir semuanya diduduki. Masing-masing yang duduk mengenggam gelas kecil yang beberapa berisi dan beberapa tidak.

Aku dan Lia berhenti di sebuah kursi sofa di mana di depannya, beberapa minuman keras dan gelas-gelas kecil berisi terletak. Di atas meja kaca, sebuah koper tergeletak, tak berani disentuh Andi yang tatapannya tak putus dari koper itu.

Seorang pria, mungkin berumur 30 tahun, tampan rupawan, dan dilihat dari jas: dia kaya, tampak mengajak Andi berbincang. Andi menanggapi, tapi beberapa kali matanya tak fokus. Dia meneguk ludah melihat koper di atas meja kaca, sebelum dipanggil Lia.

Dia pun mendongak. "Ah!" Dia berdiri. "Ini pesananmu, Tuan." Andi menghampiriku. Lia mundur dan dia berdiri tepat di sampingku.

Orang kaya rupawan itu menatapku, dari kepala sampai kaki. "Dia kelihatannya kaku," komentarnya dengan wajah kecut.

"Dia baru soalnya," sahut Andi. "Tapi kupastikan, dia lebih memuaskan daripada wanita-wanita yang pernah kaubeli." Andi menyakinkan.

Si orang kaya perlahan tertarik. Dia pun berdiri.

Dia menghadap ke arahku, menatap ke dadaku dan gaunku. Dia tersenyum setelahnya. "Kurasa kau benar."

Andi menghela napas.

Orang kaya itu menyodorkan tangan. "Koper!" pintanya. Salah satu dari anak buahnya--dia punya 2 anak buah yang sama-sama memakai jas--meraih koper di meja kaca dan menyerahkannya dengan terhormat.

Si orang kaya membuka koper dan memperlihatkan isinya kepada Andi. Mata Andi berbinar-binar dan setelah kopernya ditutup, si orang kaya menyuruh Andi untuk segera mengambil koper itu.

"Jika dia memuaskan, bahkan melebihi ekspektasiku, maka bayarannya kutambah. Aku akan mengirimkannya lewat rekening. Beritahu nomor rekeningmu lewat telepon." Si orang kaya menoleh padaku. Aku menunduk.

"Bawa dia!" Dia menyuruh dua anak buahnya.

"Tuan," panggil Andi, "saya juga mempunyai anak buah dan mereka bersedia untuk-"

"Tidak usah." Aku terbelalak. "Aku juga punya anak buah. Tidak perlu repot-repot." Pria itu melebarkan peluang membebaskan diriku!

Andi terdiam cukup lama, lalu mengangguk-angguk. Dia pasrah, pura-pura pasrah lebih tepatnya. Si orang kaya pun berlalu dengan aku dibawa oleh dua anak buahnya di samping kanan dan kiriku.

Sebelum Andi berhasil membunuh si kaya ini, aku terlebih dahulu harus dapat mengalihkan kendali mobil. Malam ini akan menjadi malam paling berbahaya dalam hidupku. Maut adalah ganjaran jika aku gagal. Jika aku tidak mengambil resiko, aku akan mati di tangan Andi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top