21. Penyesalan

Apa maksud dari semua ini? Aku dijual diam-diam oleh Jeffry kepada Andi. Aku dijual kepada G.A.N.J.A.! Bagaimana bisa ini terjadi?

Aku sempat menoleh kepada Jeffry yang berdiri tak jauh di samping Andi. Aku harap dia membaca pikiranku dan menjelaskan semuanya kepadaku sebelum aku dibawa pergi oleh seorang pria yang kelihatannya mahir menggoda wanita ini.

"Gadis ini meminta penjelasan." Andi menoleh pada Jeffry. Tatapan lurus Jeffry membuat Andi menoleh padaku. Dia tersenyum.

"Kau tidak butuh penjelasan. Tebak saja bagaimana Jeffry menjualmu diam-diam saat kau mati-matian berusaha yakin kepadanya." Andi memegang daguku. "Namun jika kau tetap menginginkan penjelasan, akan kuberikan di mobil saat di perjalanan. Itu jika kau tidak melawan. Jika kau melawan, kau tidak akan menerima satu pun penjelasan yang akan menjadi titik terang bagaimana bisa kau dibeli."

Aku menatap Jeffry, berharap dia sedang bermain-main. Namun, wajah datarnya yang sama seperti saat kami pertama kali bertemu menunjukkan keseriusan. Aku menggeleng tidak percaya.

"Aku sudah berusaha yakin kepadamu kalau kau bisa membebaskanku." Mataku berlinang. "Awak menjebakku, menjualku kepada orang lain diam-diam padahal aku tak pernah melakukan suatu kesalahan pun kepadamu." Mataku panas.

"'Suatu kesalahan' katamu?" Jeffry menyinggung. "Kau kira aku tidak tahu kalau kaulah yang membunuh Kana?"

Dia mengungkit masa lalu, dan jika itu benar, maka aku akan langsung tunduk kepadanya agar dimaafkan dan memohon tidak jadi dijual kepada G.A.N.J.A. Namun karena itu tidak benar, aku memberontak.

"Katamu aku bukan pelakunya!" teriakku. Suara parau keluar dari mulut, air mata turun dari pelupuk, hati sesak seakan ditimpa sesuatu.

Jeffry menekur. Dia tak menyahut. Pemberontakanku terhenti melihatnya diam. Aku tahu dia tidak menuduhku sebagai pembunuh Kana. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Apa pun yang akan terjadi malam ini." Jeffry kembali menatapku. "aku tidak akan menyalahkanmu," kataku.

"Kami tidak akan melakukan ini jika kami tidak miskin." Jeffry menarik napas, lalu menghembuskannya. "Kami harus pergi. Nikmati waktumu bersamanya." Dia berbalik, menganggap waktu tak akan sempat menyahut perkataanku.

"Jeff," panggilku. Dia terus berjalan dan masuk ke dalam mobil. Shinta dan Albeta yang memegangiku menyerahkanku kepada Dandi dan seorang pria tua dengan kumis melintang. Aku memberontak kala mereka ingin mengenggamku.

Shinta dan Albeta ikut masuk ke mobil. Pak Ari sebagai supir sudah mengatur tuas dan memundurkan mobil hitam curiannya. Aku berusaha melepaskan diri dari Dandi dan pria berkumis itu agar bisa menyusul mereka, setidaknya menepuk-nepuk kacanya seperti di drama-drama lokal. Namun, mereka pergi begitu cepat, membuatku terdiam karena mereka tidak main-main seperti yang aku pikirkan.

"Bawa dia ke mobil!"

Aku segera menoleh. "Tidak. Tidak!" pintaku saat diriku diseret. "TOLONG!" Aku berteriak senyaring yang kubisa, berharap seseorang mendengar dan menyelamatkanku.

"Diamlah!" Suatu hal menyengat punggung yang kemudian menjadi kesakitan paling sakit yang pernah kurasakan. Sakitnya menjalar ke dada dan ke kaki, mematikan sejenak semua anggota saraf dan dibuat tegang saat sakit menjalarnya lewat. Sakit itu menusuk, menimbulkan nyeri tajam, kemudian panas, setelahnya kesemutan. Kepala dan badan seketika kejang dengan kaki sampai pinggul mati rasa. Aku langsung lemah dan tak lagi memberontak sehingga pria berkumis tadi dapat melepasku. Aku dipegangi Dandi dan dimasukkan ke dalam mobil.

Di dalam mobil, aku tak dapat melakukan banyak hal untuk berusaha membebaskan diri. Itu memudahkan Dandi dan Andi untuk mengikat kedua tangan dan kakiku. Andi pergi ke kursi depan dan duduk di sana sedangkan aku terbaring dengan kepala dipangku Dandi.

"Selamat malam, Nia," ucap Dandi. Aku mengernyit samar sebelum Dandi menjentikkan jarinya tepat di depan mataku. Mataku langsung memberat dan akhirnya aku tertidur. Ingatan akan diri yang dijual dan berada di mobil orang asing hilang dibawa angin.

***

Aku tertidur.

Aku sadar aku tertidur.

Setelah sadar, rasa kantuk pun menghilang, mata tak lagi memberat. Aku langsung saja membuka netra dan mendengar suara mesin, merasakan mobil sedang berjalan.

Aku tak lagi dipangku Dandi. Aku bersandar di jendela. Bapak berkumis itu masih setia menyetir. Andi ada di sampingnya dengan Dandi di sampingku.

Aku masih dalam kondisi diikat. Aku menggerakkan tangan, tapi ikatan itu tak bisa dilepas. Aku pun menghembuskan napas, putus asa. Aku menoleh ke jendela kaca di mana sangat banyak bangunan tinggi yang kutebak adalah perkantoran.

Mobil yang kutempati melambat dan berbelok. Mobil itu memarkirkan diri di tempat parkir sebuah gedung.

Perasaanku mulai tidak enak. Terlebih Andi keluar dan dia membuka pintu barisan belakang--pintu di mana aku berada. Dia menyeringai arogan, aku beringsut mundur. Andi langsung meraih tanganku dan menarikku keluar. Aku sedikit lagi jatuh ke aspal karena perbuatannya. Tak sempat memosisikan tubuh dengan baik, dia kembali menarikku.


"Aw!" Aku memekik karena genggamannya di tangan. Dia mengenggamku seakan aku akan lari darinya jika genggamannya longgar.

Kami berjalan bersama Dandi dan bapak berkumis tadi yang mengekori. Sejenak terdengar suara berdentum di depanku. Namun kami tidak ke sana. Kami berbelok dan menelusuri lorong panjang yang gelap sebelum aku dihempas ke lantai dan derap kaki terdengar sejenak.

Saat itu pula aku sadar ikatan di kaki sudah dilepas.

Aku berusaha berdamai dengan kegelapan yang ada di sekelilingku. Napasku berderu. Sayup-sayup suara berdentum tadi terdengar di telingaku.

Lampu dinyalakan dan aku menunduk. Mataku belum siap menerima cahaya yang tiba-tiba datang itu.

Setelah dirasa siap, aku mendongak. Darahku langsung berdesir, mataku melebar. Aku gemetar ketakutan kembali dan beringsut mundur. Gigiku bergemetak, dahi berkeringat. Aku tak pernah menyangka akan sedekat ini dengan mereka.

Ya. Anggota G.A.N.J.A.

Andi duduk di sebuah sofa tunggal, Dandi dan Pak Kumis bersandar di tembok.

Ruangan berukuran 3x3 yang mengingatkanku akan ruang interogasi itu juga diisi seorang perempuan dan seorang laki-laki tampan rupawan. Rasanya aku pernah melihat si perempuan entah di mana. Tapi karena takut, aku tak berpikir lebih lanjut di mana aku menemukannya.

"Selamat datang, Nia," kata Andi. "Selamat datang di dunia yang akan membuatmu sengsara sampai mati." Semua orang langsung menyeringai mengerikan.

Beragam pikiran buruk menghantuiku. Dari dibunuh sampai diperkosa sampai mati.

"Tidak seburuk dibunuh dan diperkosa." Pria itu ... membaca pikiranku. "Kurang dari itu." Dia bermaksud menenangkan tapi percuma saja kala wajahnya tak sefrekuensi.

"Aku tak tahu bagaimana menjabarkannya." Andi mengerjap. "Dan ... maaf karena aku tak sempat memberitahu bagaimana bisa Jeffry menjualmu diam-diam kepadaku." Dia berbelok topik. Aku menggerutu dalam hati karena Dandi membuatku tertidur sehingga aku tak tahu apa yang terjadi sampai Jeffry menjualku.

"Ngomong-ngomong, mau tahu apa saja yang akan terjadi padamu setelah ini?" Andi menyeringai lebar.

***

Aku terduduk di belakang pintu. Aku memeluk dua kakiku dan menangis sejadi-jadinya. Suara parauku terdengar menyakitkan hati. Di kamar serba mewah itu, aku terduduk, menangis karena menyesal dan marah yang bercampur.

Andi baru saja mencicipi tubuhku. Dia menyentuh badanku. Dia meremas payudaraku dan syukurlah, dia tak sampai ke bagian bawah perut. Setelah puas, dia meninggalkanku di kamar mewah itu, lalu menguncinya dari luar sehingga aku merosot, memohon dengan suara parau agar dia mau membukakan pintu.

Aku tahu apa yang akan terjadi padaku selanjutnya, dan bak gadis polos yang diam-diam dijadikan pemeran wanita film porno, aku hanya bisa mengikuti skenario. Aku berada di bawah kendali Andi sebagai sutradara. Jika aku berani melawan, maka Andi-lah pengganti pemeran pria yang akan menjadi kawan main si pemeran wanita. Dia mengancam akan menyetrumku, menjebak keluargaku, dan memenjarakan teman-temanku. Itu membuatku tak bisa apa-apa. Terlebih dia punya bukti palsu agar dapat menyakinkan pihak berwajib kalau bukan dialah pelakunya.

Aku bahkan lupa memasang celana oranyeku saking menyesalnya. Celana itu dilepas Andi yang nyaris mencicipi tubuhku, bahkan sampai ke ujung jari kaki dia mengecupnya.

Aku bisa saja melawan saat dia melecehkanku. Namun, dia membawa alat penyetrum--bentuknya mirip senter, ada dua kawat di ujungnya yang nyaris menyatu di ujung depannya--sehingga dia bebas melakukan apa pun yang dia mau dengan ancaman alat itu.

Alat itu sakit. Aku tak bisa menahan sakitnya. Aku tidak mau merasakannya lagi. Semua tubuh dirasa meradang dan suhu badan langsung naik-turun tidak karuan.

Namun, aku beruntung Andi tidak melakukannya sampai selesai. Dia meninggalkanku kala ingat kalau tujuannya mencicipi tubuhku hanya untuk memeriksaku sebelum dijual.

Jika kau bertanya kenapa bukan lelaki muda tampan rupawan tadi, Dandi, atau bapak berkumis saja yang mencicipi tubuhku, maka aku akan menjawab kalau aku bukan tipe yang mereka sukai.

Namun, siapa pun dia, aku tak akan mau tubuhku dicicipi olehnya. Jika tidak karena alat penyentrum tadi yang langsung menempel di kulit pinggang, sudah kupastikan Andi mati di tanganku.

Aku mengelap air mata. Menangis tidak ada gunanya. Kunci di pintu tidak akan terbuka mendengar isakan lirihku. Sekarang aku harus membuat rencana agar di kemudian waktu aku dapat bebas dari Andi dan meminta bantuan.

Sejenak aku putus asa karena kejadian beberapa tahun lalu terulang lagi saat ini. Di mana aku terjebak di sebuah kamar, sendirian, kemudian memikirkan rencana tanpa Wio yang entah akan menolongku atau tidak.

Mengingat Jeffry, aku murka. Bisa-bisanya dia menjualku tanpa izin. Jikalau dia meminta izin, tidak akan kuizinkan biarpun nyawa yang dipertaruhkan. Lelaki itu sudah sangat dibutakan uang. Aku mengutuk diriku yang pernah memercayainya.

Mengingat Wio, aku menyesal. Dia pergi sebelum aku mengetahui kebenaran. Dia benar, Jeffry bukan orang baik-baik. Namun aku malah menolak penyataannya. Hasilnya beginilah.

Hatiku sesak. Aku marah kepada diri sendiri. Aku memaki dan mengumpat. Puas, aku kembali menangis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top