20. Baru Sadar
Kepergian Wio menyesakkan hati. Dia pergi bersama Wursi dan Lana dan meninggalkanku bersama Jeffry.
Aku tak bisa bilang dia tega melakukan itu padaku. Mungkin ini juga salahku yang terlalu membela lelaki yang menatapku dengan tatapan bersalah di sampingku.
Namun, aku membela agar tidak terjadi perpecahan, tapi Wio menganggap lain pembelaanku itu.
Aku tahu Jeffry jahat, tapi itu dulu. Aku yakin kalau dia akan menolongku sampai akhir.
Aku menunduk.
"Albeta, Pak Ari, ikuti Wio, Wursi, Lana! Pastikan mereka tetap aman," suruh Jeffry. "Shinta, Linda, Bu Rasih, tenangkan Nia. Aku akan membuat siasat agar tiga anak itu mau kembali, sendirian."
Aku menoleh pada Jeffry yang menatapku. "Aku tak bisa biarkan mereka pergi begitu saja." Sesak di hati berkurang. Aku menyungging senyum.
"Ayo, Nia," ajak Shinta, menarik tanganku. Aku mengangguk sebelum beranjak dari depan Jeffry.
Aku kembali ke persembunyian.
***
Jeffry pergi lagi kala tahu sesuatu terjadi pada seseorang. Tidak jelas apa yang terjadi karena Pak Ari mengatakannya dengan berbisik, membuat kecemasanku menjadi dan aku gelisah kalau panik di wajah Pak Ari itu pertanda Wio dan lainnya dalam masalah.
Aku ingin ikut Jeffry sebelum dia menolaknya mentah-mentah. Urusan itu berbahaya. Dia semakin membuatku cemas.
Aku sangat ingin ikut, tapi Bu Rasih menahan. Dia, Shinta, dan Linda tak mau sesuatu terjadi kepadaku. Aku berusaha menyakinkan kalau aku akan baik-baik saja.
Namun, menyakinkan orang tua yang trauma kehilangan anak itu begitu susah. Aku tak dapat lepas dari tangannya, ditarik tiga perempuan berbeda umur ke persembunyian balik, dan disuruh tenang.
Aku tak akan bisa tenang kala teman-teman satu desaku ditimpa masalah. Tunggu! Aku tak boleh menganggap mereka ditimpa masalah terlebih dulu. Bisa jadi mereka berbuat onar dan ... ditimpa masalah ringan, tapi dalam pandangan Pak Ari, mereka ditimpa masalah besar.
Aku hanya perlu tenang dan yakin semuanya akan baik-baik saja, sampai terdengar derap yang ternyata Jeffry dan Albeta. Mereka ngos-ngosan sesaat sebelum kuserbu dengan pertanyaan.
"Apa yang terjadi pada Wio?" tanyaku.
"Wio?" Jeffry mengernyit. "Aku tidak mengurus Wio. Aku mengurus salah satu kenalanku yang ditimpa masalah."
Bahuku melorot.
"Wio sudah tidak ada." Giliran Albeta berkata. "Dia sudah pergi, entah dengan siapa dan mobil siapa."
Aku terbelalak. "Me-Mereka pergi? Benar-benar pergi?" tanyaku tak percaya. Semula kupikir, Wio, Wursi, dan Lana hanya akan pergi ke suatu tempat yang masih dicakup kecamatan Tenggarong. Aku mengira perkataan Wio kalau dia mau pulang ke Sentra bohongan.
Albeta mengangguk.
"Sayang sekali," kata Jeffry. "Dia pergi tepat setelah seseorang tahu kalau kalian tidak bersalah."
Aku terbelalak dan menoleh cepat. "Benarkah?" tanyaku setengah memekik.
Jeffry mengangguk. "Sayang sekali," ujarnya lagi. "Tapi, kita bisa menghapus status mereka. Jika mereka jadi pulang ke Sentra, akan kujamin mereka tidak akan diikuti polisi. Mereka juga tak perlu datang ke kantor polisi untuk mengkonfirmasi bahwa mereka tidak bersalah. Seorang oknum polisi menjadi saksi kalau G.A.N.J.A. pelakunya."
Mataku berbinar-binar. Di balik kesedihan, pasti ada kesenangan. Sayangnya, kesenanganku tidak didampingi tiga teman laki-lakiku. Aku tetap merasa sedih.
"Karena Wio sudah pergi, kita akan menemuinya. Hanya kita. Pak Ari sudah siap dengan mobil yang berhasil dicurinya."
Aku kaget. "Mencuri mobil?"
"Mau bagaimana lagi." Albeta mengendikkan bahu. "Kau pasti tak mau mobilmu digunakan lagi." Aku mengangguk-angguk.
Sejenak terdengar suara mesin di pinggir jalan. Mesin itu berhenti tepat di bawah jembatan dan kami keluar dari persembunyian. Terlihat Pak Ari membuka kaca jendela dan mengendikkan kepala menyuruh kami segera masuk ke dalam mobil. Jeffry mengangguk. Dia pun mengajakku.
Saat hendak melangkah, mendadak aku berhenti. Orang-orang sudah berlari untuk masuk. Jeffry baru menyadari kalau aku tidak menyusul setelah dia membuka pintu mobil depan.
Tiba-tiba aku ingin tinggal saja. Aku tak dapat jauh dari tempat di mana aku dan Wio menghabiskan waktu sebagai buronan. Namun, seruan Jeffry membuat pandangan kosongku terangkat dan kaki bergerak. Aku berlari kecil, meraih pintu mobil, lalu masuk dan duduk berhimpit dengan Linda.
Tepat setelah pintu mobil tertutup, Pak Ari menekan gasnya.
.
"Polisi. Aku tak pernah menyangka yang tahu aku tidak bersalah merupakan anggota kepolisian," ungkapku, jujur. Terus terang, kukira yang menjadi saksi hanyalah warga lokal yang kebetulan iseng melihat G.A.N.J.A. memasukkan ganja ke kursi supir.
"Mengejutkan, bukan?" tanya Jeffry. "Aku juga sama terkejutnya denganmu."
"Ngomong-ngomong, kau tahu dari mana kalau dia tahu Nia tidak bersalah?" tanya Shinta.
"Aku punya banyak kenalan, 'kan?" Jeffry menyeringai. Seringaiannya tampak di spion kiri. "Salah satunya yang tadi terluka entah kenapa. Dialah yang memberitahuku."
"Dunia benar-benar ladangnya kejutan" bisik Linda kepadaku.
"Kau yakin dia bisa membelaku?" Sekarang, aku mengutarakan kegundahanku. "Kepolisian itu keras. Mereka tidak akan mempercayai pekerjanya secepat yang kita kira."
"Tenang." Jeffry menenangkan. "dia punya begitu banyak bukti untuk membebaskanmu, Wio, Wursi, juga Lana."
Aku menatap ke bawah. "Dari mana dia mendapatkan bukti-bukti itu?"
"Rupanya dia kasihan melihatmu mati-matian mengatakan kalau kau tidak bersalah. Maka dia mengambil cuti, menyelidiki kasusmu sendirian, berhasil mendapatkan pelaku sebenarnya dan juga lokasinya, dan bukti-bukti lain berupa rekaman, juga foto dari peretasan CCTV," jawab Jeffry. "Tenanglah, Nia. Semua akan baik-baik saja. Kau selangkah menuju kebebasan. Kujamin kau tidak akan dicurigai lagi."
Aku menghela napas, mengurut dada, berharap perkataan Jeffry terbuktikan.
Aku tak pernah menyesal dengan Jeffry. Kendati membuat masalah, mereka berhasil mencari penyelesaian untuk masalahku. Mereka lebih mementingkanku daripada diri mereka sendiri. Sejenak aku berpikir bagaimana tanggapan Wio saat tahu dia, Wursi, dan juga Lana akan dibebaskan oleh anggota kepolisian itu.
Laju mobil menurun dan berhenti pada akhirnya. Kami berada di sebuah jalan sepi. Kami berhenti di pertigaan, persimpangan Bukit Biru, jalan Robert Wolter Monginsidi di mana Porles Kutai Kartanegara berada, dan Loa Kulu. Mobil berhenti di jalan masuk ke Loa Kulu, kota kecil pinggiran yang sering dijadikan lalu lintas orang-orang yang ingin perjalanannya dilamakan.
Aku turun dari mobil. Yang lain menyusul. Setelah kami semua keluar, sebuah mobil dari arah berlawanan menyeberang. Mobil itu berhenti tepat di depan mobil kami dan mesinnya pun mati.
"Itu dia." Aku berdiri di samping Jeffry yang menyenggol lenganku. Mataku makin berbinar dan senyum tak sadar tersungging lebar.
Pintu mobil terbuka dan keluarlah seorang pria tinggi besar dengan rahang tajamnya. Dia memakai baju kerah berlengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana. Di hidungnya, bertengger kacamata hitam yang akhirnya dilepas.
"Hai, Andi!" sapa Jeffry. Dia mendekati pria muda itu dan menjabat tangannya.
"Hai, Jeffry." Senyum kecilku melebur. Bibir membentuk garis datar sempurna dengan kepala menekur.
Jeffry tidak bercerita apakah dia sudah berkenalan dengan pria bernama Andi itu. Mendadak pria itu tahu namanya. Tidak mungkin saat Jeffry keluar memberikan sabu tempo hari, dia menemuinya dan berkenalan.
"Dia yang namanya Nia?" Pertanyaan bersuara berat itu membuatku mendongak kembali dan berusaha menunjukkan senyum yang tak manis-manis-amat. Andi menatap ke arahku, lalu menoleh pada Jeffry yang mengangguk, kemudian mereka berdua menoleh bersamaan dan mengukir senyum yang ditujukan untukku.
"Ya. Gadis yang kaubeli tiga hari lalu."
Aku terbelalak.
.
Aku ... dibeli?
Itu berarti, selama ini aku dijual!
"Penampilannya kurang dari ekspektasiku," kata Andi. Tersirat nada kecewa dalam perkataannya. "Namun, janji tetaplah janji. Maka aku menerimanya." Andi tersenyum kepadaku.
Aku mundur selangkah. "Jeffry, apa maksudmu? Apa maksudmu kalau dia membeliku? Apa yang kau bicarakan?" tanyaku dengan bibir gemetar.
Jeffry mendekatiku. Dia mencondongkan tubuh kepadaku. Kepalanya tepat berada di samping kepalaku. Mulutnya bisa kurasakan berada tak jauh dari telingaku.
"Aku butuh uang, Nia."
Apa!
"Jadi, aku menjualmu," kata Jeffry, tak merasa berdosa dan kembali menegakkan tubuh.
Lelaki itu membuatku mematung. Jadi, sebenarnya aku tidak diajak menemui orang yang tahu aku tidak bersalah, tapi diajak menemui pembeli diriku.
"Awak tega." Aku menatap Jeffry. "Apa salahku?" Air mata mengalir keluar lewat sudut.
"Kau tidak bersalah sebenarnya. Kau hanya seorang tersangka penembakan Tuan Kana dan bukan gadis yang selalu penasaran seperti saat masih di Sentra." Jeffry tersenyum kecil. "Namun, aku butuh uang. Menjual dan mengharapkan seseorang untuk membeli sabu tidak akan membuatmu kaya."
Darahku langsung mendidih. "Dasar mata duitan!" teriakku.
Jeffry terkekeh. "Semua orang membutuhkan uang. Semua orang rela melakukan cara haram untuk mendapatkannya." Jeffry mendekatkan kepalanya padaku. "Jika status yang kusandang tidaklah buruk, aku tak akan menjualmu kepada Andi." Aku sadar dengan Andi.
"Ja-Jadi, pria itu bukan-"
"Tentu saja bukan, Sayang," potong Andi, membuatku menoleh padanya. "Namun untuk pengetahuan tentang keterlibatanmu dengan kasus pengedaran ganja, itu aku."
Aku terbelalak.
"Tentu saja itu kau." Jeffry kembali tertawa. "Bukankah kau yang menjebak Nia?"
Aku menoleh lagi pada Jeffry.
"Benar." Aku kembali menoleh pada Andi. "Aku yang menjebakmu."
Aku menoleh berulangkali kepada Jeffry dan Andi. Aku menggeleng-geleng. "Ini pasti mimpi. Kalian pasti bercanda." Dua orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Oh, Nia. Malang sekali nasibmu." Andi menjentikkan jarinya. Pintu mobil terbuka kembali. "Kau harus berhadapan dengan G.A.N.J.A. karena perbuatanmu di masa lalu."
Pria itu tahu tentang G.A.N.J.A.!
Andi menerima sodoran koper dari seorang lelaki yang jika dilihat, begitu familier di mataku.
"Kau ditolong, dijebak, dan dijual oleh Jeffry yang seharusnya tidak kau percaya." Andi menyerahkan koper itu kepada Jeffry. Jeffry langsung meraih dan membukanya, lalu menjilat bibir melihat bertumpuk-tumpuk uang berwarna merah tersimpan di dalam koper. "Padahal dia dan aku masih menganggapmu sebagai pembunuh Kana."
Pria itu juga tahu Kana!
Aku mundur, selangkah demi selangkah. Aku akan berbalik dan berlari secepat yang aku bisa agar tak dibawa oleh Andi.
Wujud Andi, Jeffry, dan lelaki penyodor koper bernama Dandi itu semakin jauh sebelum aku merasakan lenganku ditahan. Shinta dan Albeta menarikku ke depan, membawaku ke tempat di mana aku semula berdiri.
"Kau sudah tak bisa kabur. Kau sudah berada di genggamanku." Mata Andi berkilat jahat. "Tidak akan ada siapa pun yang bisa menolongmu." Aku tepat di hadapannya, takut luar biasa. "Tidak ada siapa pun yang bisa lari dari ge, a, en, je, a."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top