19. Malam Menyedihkan
Wio tak mengucapkan satu kata pun setelahnya. Bisa kurasakan kalau dia menahan amarahnya.
Tak ada percakapan lagi, aku melenggang pergi. Aku menabrak bahu Wio tanpa sengaja, tapi dia tidak merespons.
Aku menyeberangi jalan dan sampai di persembunyian. Aku tak mengidahkan pertanyaan Lana kenapa mataku berlinang dengan satu sudutnya berhasil mengeluarkan air.
Aku duduk di pojokan ruangan, membiarkan kegelapan memeluk diriku. Aku menenggelamkan wajah dalam lutut yang ditekuk dan memikirkan semuanya kembali.
Berdebat mulut dengan teman bukanlah hal yang aneh. Aku dan Wio sering melakukannya saat kami bersama. Namun sekarang, mendadak kurasakan kalau Wio benar-benar marah padaku. Perdebatan kami tadi bukanlah perdebatan biasa.
Memikirkan rencana Wio dan dua teman lelakiku yang lain, aku gundah. Apakah aku pulang sebagai buronan atau tetap bersama Jeffry untuk menghapus status burukku.
Apa kira-kira yang akan terjadi jika aku berpisah dari Wio? Maksudku, aku pernah berpisah lebih dari 12 bulan dengannya dan aku tidak apa-apa, hanya saja kali ini aku merasa ... tak ingin ditinggalkan olehnya.
Kendati aku mengenal dengan baik Jeffry dan rekan-rekannya, aku masih merasa asing dengan mereka. Aku mau ikut dengan Wio, tapi juga tak mau ikut secara bersamaan.
Jadi, apa yang akan kupilih?
***
Sudah jam 7 malam saat Jeffry izin keluar entah ke mana. Dia tidak memakai mobilku seakan paham mobilku tak boleh diganggu gugat.
Tentu saja. Tidak ada yang senang mobilnya dihancurkan orang lain. Bukan mereka yang menanggung biayanya. Tetap di pemilik yang mengatasinya. Tatapan tajam kulayangkan kala Jeffry menghampiriku untuk meminjam mobil.
Beberapa jam setelah perdebatan mulut dengan Wio, aku memikirkan pernyataannya. Jeffry membuat 2 kesalahan yang kalau dipikir, terlihat sengaja dilakukan.
Aku pernah belajar jika seseorang membuat kesalahan sekali, maka dia tidak sengaja. Kalau membuat kesalahan lagi, dia tidak ingat. Kemudian membuat lagi kesalahan ketiga, itu disengaja. Namun itu berlaku untuk kesalahan yang sama. Jeffry tidak melakukan kesalahan sama berulangkali.
Atau tidak sama secara tindakan, tapi sama secara sesuatu-yang-tak-dapat-dilihat. Seperti dendam karena masih menganggapku membunuh Kana, atau ingin menjebakku agar aku sengsara.
Atau ... membantu G.A.N.J.A. menyebloskanku dalam penjara?
Dan atau-atau lain yang tak mau kupikirkan lebih banyak.
Aku menatap langit. Kali ini tak menatap sungai. Aku memohon kepada penghuni langit. Apa pun yang akan terjadi, aku ingin semuanya baik-baik saja.
Aku menunduk dan menatap sungai. Pantulan bulan samar-samar terlihat karena ditutupi awan. Aku menyesal pergi meninggalkan Wio. Sekarang lelaki itu tidak mengajakku bicara, alih-alih menghampiriku.
Duduk di atas beton selama hampir 2 jam. Aku tak mendengar satu pun orang mendekatiku. Entah Shinta, Linda, Wio, Lana, atau orang asing yang hendak menyatakan cinta kepadaku. Aku bahkan tak mendengar anggota S.A.B.U. berbincang, padahal taman ditutup dan suasana sepi. Hanya ada suara mesin kendaraan yang masih meramaikan jalan raya.
Aku beranjak setelah bosan kulitku digigiti nyamuk. Aku turun dari beton dan menggaruk kepala sesaat.
Sampai aku mendengar suara khas Jeffry yang sudah datang dari antah berantah. Shinta dan Albeta menyambutnya, lalu terdengar Jeffry menanyakan keberadaanku.
Aku langsung secepatnya menghampiri.
"Ini aku. Ada apa?" tanyaku tepat sebelum Shinta menjawab.
"Itu orangnya." Shinta menunjuk diriku. Jeffry berpaling darinya dan menatapku.
"Hanya ingin berbicara, empat mata," jawabnya.
Aku mengerutkan dahi. Aku dan Jeffry berdua ... aku menggeleng kecil. "Kau mau melakukan itu lagi?" Aku berterus terang.
Jeffry melebarkan mata, lalu menggeleng. "Aku benar-benar mabuk saat itu. Aku tak ingin melakukannya lagi." Jeffry menghampiriku.
Aku menatap ke bawah sesaat. "Sepribadi itukah sampai-sampai hanya empat mata?" tanyaku lagi.
Jeffry mengangguk. "Tidak keberatan, 'kan?" Sekarang dia balik bertanya.
Aku tidak keberatan, tapi takut Wio keberatan.
"Memikirkan Wio?" Jeffry membaca pikiranku. Aku mengangguk, berharap dia menunda keinginannya. Kami bisa berbicara berdua di lain waktu.
"Aku benar-benar ingin berbicara empat mata denganmu." Jeffry memohon. "Boleh ya," pintanya.
Aku membuang napas. Aku masih takut kejadian kemarin terjadi lagi.
"Percayalah padaku." Jeffry memelas. Aku membuang napas dan mengangguk.
Senyum terukir di bibir lelaki itu sebelum dia pamit kepada Shinta dan mendahuluiku. Tempat di mana kami akan berbicara empat mata adalah tempatku tadi saat menyendiri.
Jeffry duduk di atas pagar beton, lalu menepuk di sebelahnya, menyuruhku duduk di sana. Aku membuang napas kembali, lalu duduk di sana dan menatap kaki.
Kami dilanda bisu dengan aku memperhatikan kaki yang berayun. Aku tak mau bertanya apa yang ingin Jeffry katakan kepadaku. Dia bisa mengatakan apa pun kapan pun yang dia mau.
Sedangkan Jeffry, dia gelisah dengan beberapa decakan terdengar dari mulutnya. Saat melirik, dia terlihat komat-kamit padahal tak ada nada keluar dari mulut, membuatku sempat berpikir dia melafalkan mantra agar aku disantet tiba-tiba.
Tidak lucu.
Aku kembali memperhatikan kaki yang berayun dan melompat kala besi jembatan berbunyi keras ditambah suara mesin.
"Mengagetkan." Jeffry tertawa, terdengar hambar. Aku masih mendatarkan wajah sebagai bentuk menanggapi, lalu menunduk lagi.
Walaupun bosan, aku tak ingin beranjak. Aku tak ingin bertanya lebih lanjut dan memilih menghitung denyut nadiku sendiri.
"Kau pernah berpikir kenapa seseorang jatuh cinta, Nia?" tanya Jeffry, membuatku mendongak dan menatap ke atas.
"Entahlah. Dunia nyata tidak seindah ekspektasi, film, atau novel romansa," jawabku. Aku kembali menunduk.
"Jawaban itu tidak memuaskan." Aku menoleh malas pada lelaki di sampingku itu. "Ada jawaban lain?"
"Kau mau jawaban yang seperti apa, Jeffry?" Aku mendengkus. "Jika kita hanya berbasa-basi, lebih baik aku pergi." Aku beranjak, tapi ditahan.
"Tidak, tidak. Aku tak berniat berbasa-"
"Lepaskan tanganku!" Jeffry menahanku dengan tangannya.
"Oh, maaf." Jeffry melepaskannya. "Aku tak berniat berbasa-basi. Aku hanya takut mengatakan yang sebenarnya." Dia membuatku menoleh lagi padanya dan kali ini rasa bosanku menghilang.
"Katakan saja," kataku. "Aku siap mendengarkan apa pun." Aku menyakinkan.
Jeffry tak secepatnya yakin akan perkataanku. Dia turun dari beton dan berdiri menghadapku.
Tinggiku hanya sebatas dahinya yang ditutupi poni. Dia menatapku, aku menatap ke arah lain takut dia salah sangka.
"Jadi begini." Jeffry kembali meraih tanganku. Aku menyentaknya dan menatapnya nyalang, dia menukas pikiranku dengan berkata, "Aku tidak ingin melakukan itu."
Aku membuang napas. "Jangan ada acara sentuh-menyentuh kalau begitu." Aku kesal.
"Baik." Jeffry menyembunyikan tangannya di saku celana. "Aku tidak akan menyentuhmu. Kuharap rasanya sama saat aku tidak menyentuhmu." Perkataan keduanya mirip gumaman.
Aku mengernyit bingung.
"Jadi begini." Jeffry tampak malu. Pipinya memerah. Dia menggemaskan. Aku menyungging senyum, merasa lucu dan berdehem agar dia tahu kalau pipinya bersemu.
"Jadi apa?" Dia gelagapan menghilangkan rona merah di pipi yang terlihat walau keadaan temaram. Aku bertanya, dia sempat tak ingat, sebelum kuingatkan akan perkataan yang takut dikatakannya, lalu kembali seperti semula.
"Jadi, Nia." Jeffry menghembuskan napas. "Aku tak tahu kenapa dan bagaimana, tapi setelah menciummu dalam keadaan mabuk malam kemarin, hatiku bergejolak.
"Aku tak dapat mendeskripsikan apa yang terjadi padaku, yang aku tahu saat mengingat dirimu, darahku selalu berdesir pelan.
"Tubuhku kesemutan dibuatnya. Aku menceritakan kondisiku itu pada Pak Ari dan dia bilang." Jeffry mengecilkan volume suaranya. "aku jatuh cinta padamu."
Aku terbelalak. "Hah?"
"Aku kurang yakin, tapi aku rasa aku ... jatuh cinta padamu," katanya malu.
Aku tak pernah menyangka dalam hidupku, di umur 20 tahun ini, seseorang menyatakan cinta kepadaku untuk yang pertama kalinya. Orang yang menyatakan bukanlah orang yang tidak kukenal. Malah orang yang kukenal yang membuatku menyakini suatu pendapat psikologi bahwa remaja usia 16 tahun sering bertemu kekasihnya tanpa disadari.
Terdengar kasak-kusuk tak jauh di sampingku dan bisikan-bisikan. Sepertinya itu para paparazzi yang hendak menyaksikan aku menerima pernyataan cinta Jeffry.
Aku mendengkus, bingung. Aku tak pernah belajar cara menanggapi orang-yang-menyatakan-cinta-padamu. Aku dibuat gelisah.
"Kau tidak suka ya?" tanya Jeffry setelah aku diam dengan mata bergerak-gerak. Aku mendongak cepat dan menggeleng. "Ti-Tidak. Maksudku ya, eh, tidak, eh, antara ya dan tidak. Aku tak menyangka kau yang menyatakan cinta untuk yang pertama kalinya padaku."
Jeffry tertawa paksa. "Jadi, apa jawabannya?"
"Hah?" Aku tak mendengar pertanyaannya, memang tak mendengar karena suhu tubuhku memanas dan suara terima dia bergema di telinga berkali-kali.
"Apa jawabannya?"
"Aku ... tak dapat-"
"Permainan apa lagi yang kau mainkan, Jeffry?" Teriakan terdengar. Aku dan Jeffry menoleh cepat ke asal suara dan para paparazzi keluar dari persembunyiannya.
Wio menghampiri kami. "Kau menyatakan cinta kepada Nia?"
"I-Iya," jawab Jeffry. "Itu salah?"
Wio menggertakkan gigi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan!?" Wio meraih kerah baju Jeffry dan mendorongnya ke pagar beton. "Nia itu milikku. MILIKKU!" Dia semakin mendorong Jeffry sampai Jeffry terlentang dan sepertiga perempat tubuhnya tidak menyentuh permukaan beton.
"Wio!"
Plak!
"Kau juga sama, Nia!" Aku baru saja hendak menjauhkannya dari Jeffry agar dia tak jatuh ke sungai saat Wio melayangkan tangannya secepat kilat ke pipiku. "Kau mau saja diperdaya oleh mereka." Suara Wio sudah serak. Isakan terdengar keluar dari mulutnya.
Air mataku mengalir menahan panas di pipi. Aku mengepalkan tangan dan meraih cepat kerah baju Wio sebelum memukulnya tepat di wajah.
"Nia!" Shinta dan Linda berteriak bersamaan, lalu menarikku yang masih ingin memukul Wio.
"Apa maksudmu?" tanyaku setengah berteriak. "Apa maumu? Kau mau aku melakukan apa?"
Mata Wio sudah merah menahan air mata keluar lebih deras. Dia menatapku dengan tangan turun dari hidung. Cairan merah pekat keluar dari sana akibat pukulanku.
"Aku hanya ingin kau tidak mempercayainya." Dia menunjuk Jeffry. "Aku ingin kau ikut aku. Kita pergi dari sini, kita hapus status kita dengan cara kita sendiri."
"Kau kira itu mudah?" tanyaku yang menyentak diri dari Shinta dan Linda. "Kita butuh penolong, dan Jeffry-lah penolongnya." Jeffry tepat berdiri tegak di antara aku dan Wio.
"Sudah, Ni-"
"JANGAN SENTUH-"
"WIO!"
Semua orang mematung, termasuk Wio yang hendak menghampiri Jeffry. Jeffry sontak mundur, menjaga jarak dari Wio, juga dariku. Bahuku naik-turun. Pikiranku kacau.
"Aku akan tetap di sini. Jika kau tidak mau ikut, silakan," kataku serak. "Aku akan membantu menghapus statusmu, dan Wursi, juga Lana, jika kalian pergi. Aku hanya tak paham kenapa kau ingin meninggalkan Jeffry."
Wio mengacak-acak rambutnya. "Dia sudah melakukan kesalahan, Nia. Lihatlah. Lihatlah!" Wio menunjuk Jeffry lagi. "Belajarlah dari pengalaman. Dia hampir membuatmu ditangkap polisi." Aku menunduk.
"Kita tidak pergi untuk kabur, kita pergi untuk mencari cara lain agar membuktikan kita tidak bersalah," sambung Wio. "Kita harus menjauhi mereka semua. Apa pun alasannya."
Tatapan lelahku dilihat Wio. Lelaki itu paham kalau aku tak mau pergi. Susah mencari penolong seperti Jeffry dan teman-temannya. Jika aku pergi, aku mengambil resiko tidak menemukan penolong seperti mereka lagi.
"Aku mengerti mana yang jahat dan mana yang benar. Tak satupun dari kita di sini yang benar. Namun untuk jahat, Jeffry-lah yang paling jahat." Wio menoleh pada Jeffry. "Katakan kepadaku! Apa yang kalian rencanakan."
"Kami berencana membebaskan kalian, ingat?"
Napas Wio menderu sebagai sahutan.
"Ikut aku, Nia." Wio sudah putus asa. "Aku janji akan melindungimu--setiap langkahmu jika kau mau ikut." Di belakangnya, Wursi dan Lana menatapku memohon. Mereka berada di pihak Wio. "Aku memang tidak punya cara menghapus status kita dan menyakinkan polisi kalau kita tidak bersalah. Tapi suatu hari nanti, kita akan mendapatkannya."
"Bukan kita, hanya kalian," sahutku. "Aku tetap di sini. Apa pun yang terjadi." Wio terbelalak.
"Nia." Aku menoleh pada Jeffry. "jika kau mau ikut Wio, sila-"
"Tidak akan." Aku menatap Wio. "Aku tidak mau bersama orang egois."
Wio terbelalak. Dia menggeleng-geleng. "Aku egois untuk keselamatan-"
"Aku tak ingin tahu kenapa kau egois," potongku. "Jika kau mau pergi meninggalkan kami." Wio kembali terbelalak. "silakan." Jeffry menatapku, bersalah.
Tangan Wio terkepal. Dia mendekatiku. Ia berdiri di depan Jeffry dan menatapku dengan mata berlinang. Dia mengulum bibirnya, menatapku entah apa artinya, air matanya jatuh tepat di kakiku, dan aku mendongak agar dia yakin aku tidak mau pergi.
"Jangan cari aku jika sesuatu yang buruk terjadi, oke?" Wio sepertinya tak berniat mengatakan itu. Ada perkataan lain yang dia pendam, menyebabkan air matanya terus jatuh sebelum dia menyambung. "Kita sudah resmi tidak saling membantu."
Aku masih menatapnya. "Aku akan bertanggungjawab di Sentra atas apa pun yang terjadi padamu yang tidak kutahu. Namun, jangan cari aku, Wursi, atau Lana saat kau terjebak kesulitan. Andalkan saja pacarmu ini." Dia mengendikkan kepala ke arah Jeffry.
Aku melirik Jeffry, lalu menatap ke bawah. Wio berbalik dan berjalan pergi, disusul Wursi dan Lana yang tidak percaya kalau aku masih bertahan.
Tak ada ucapan selamat tinggal dari Wio yang membuat hatiku gemetar tak enak. Rasa tak ingin ditinggalkan itu bergejolak, membuatku ingin meraih tangan Wio dan memohon agar dia tetap di sini, tapi tubuhku malah mematung.
Punggungnya menjauh dengan dirinya yang menyeberang bersama Wursi dan Lana. Dia tidak menoleh barang sedetik kepadaku. Dia benar-benar mantap pergi meninggalkanku.
Wio memang hanya sekedar temanku, tapi aku merasa hampa bahkan sebelum dia hilang dari pandanganku. Mulai saat ini aku akan menyelesaikan semuanya sendiri, dengan Jeffry dan kawan-kawan menjadi pembantu. Apakah rasanya akan sama tanpa 3 teman laki-laki terbaikku itu?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top