17. Jeffry Sama Gilanya Dengan Nia
Tadi Jeffry mendekatiku yang duduk menikmati pemandangan sungai. Aku tak bosan-bosan menikmatinya bahkan tak sadar Jeffry ada di sampingku.
Lelaki itu minta maaf kembali atas kejadian tadi malam. Aku mengangguk dan memaafkannya, juga menghimbaunya untuk segera pergi sebelum Wio melihatnya.
Dia baru saja beranjak saat dia berkata, "Tenggarong sedang mengadakan razia besar-besaran untuk menangkapmu dan 3 temanmu. Jadi lindungi dirimu karena kami tidak pasti dapat menyelamatkanmu lagi saat tertangkap."
Aku mengangguk sebagai jawaban, dan jawaban tambahanku, "Aku tahu. Untuk itulah aku selalu di sini."
"Ngomong-ngomong, kau tidak jenuh?" Jeffry tak jadi beranjak. Dia ingin mengobrol denganku rupanya.
"Jenuh, sih, jenuh. Tapi mau bagaimana lagi." Aku tertawa kecil, menertawakan diri sendiri yang memulai permasalahan dengan polisi.
"Mau jalan-jalan?" tanya Jeffry.
Aku kaget dan menoleh cepat padanya. "Bodoh! Bukankah kota dirazia besar-besaran?" tanyaku balik.
"Aku tahu." Jeffry menyandarkan tubuhnya ke beton pembatas. "Namun aku kasihan padamu."
Aku memikirkan ajakannya sampai Wio menarik Jeffry dan membawanya ke persembunyian. Debat mulut terjadi sampai akhirnya letusan senjata terdengar dan aku duduk di pojokan menahan trauma.
.
"Apa yang Jeffry katakan kepadamu?" Wio menatap serius diriku. Aku menatap ke arah lain, enggan menjawab.
"Kau berubah." Aku masih tidak menatap Wio. "Kau tidak menatapku saat aku berbicara."
Bukan tanpa alasan aku tidak menatapnya. Aku tidak suka sifat baru Wio yang merisihkan.
Aku menatap malas Wio. "Sekarang aku menatapmu. Apa lagi yang kau mau?"
Mata Wio memincing. "Apa yang Jeffry katakan kepadamu?" Wio kembali mengulang pertanyaannya dan aku mengendikkan bahu tak peduli.
"Nia." Wio membuang napas. "aku tidak tahu apakah aku yang berubah sehingga kau mendadak cuek seperti ini atau kau yang berubah karena marah kukatakan 'milikku'. Sekarang aku merasa kau sudah mulai dekat dengan Jeffry padahal kita tak boleh memercayainya seratus persen."
"Siapa bilang aku memercayainya?" tanyaku. "Aku hanya yakin dia akan membantu kita."
Wio menarik dan membuang napas. Raut gusar tergambar di wajah dengan salah satu tangan memegang kepala.
"Sudah dua kali Jeffry berbuat salah," kata Wio. "Lokasimu tersebar dan dia pulang dalam keadaan mabuk memakai mobilmu."
Yang kedua kurasa bukan kesalahannya. Lebih tepatnya Jeffry salah ambil minuman.
"Aku merasa ... mereka merencanakan sesuatu dan kita tidak tahu apa." Wio memperjelas. "Seakan semua yang kita dapatkan dari mereka tidak akan berakhir baik dan mereka akan berkhianat suatu hari nanti."
"Aku tak pernah paham jalan pikirmu," sahutku. "Jeffry dan rekan-rekannya itu sudah bersedia membantu kita dan kau terus-menerus berburuk sangka."
"Apa tingkah mereka sehingga kau terlihat muak, terlebih kepada Jeffry?" Aku balik bertanya. "Maksudku, kau selalu mencari-cari kesalahannya."
"Mencari-cari?" Wio melotot tak suka. "Nia, perbuatan Jeffry itu muncul sendiri ke permukaan dan dilakukan dengan sengaja. Disertai alasan ketidaksengajaan, kau percaya bahwa Jeffry tak sungguh-sungguh menciummu."
Aku mengernyit.
Wio menarik napas lagi. "Ada kurun waktu untuk efek memabukkan dari minuman keras. Paling lama 3 jam, jika lebih itu berarti dia overdosis dan harus dimasukkan ke rumah rehabilitasi."
"Jeffry pulih setelah 2 jam, itu berarti dia tidak akan mabuk lagi walaupun hanya mencium bau miras dari mulutnya. Yang dirasakan mungkin hanya pusing karena ...." Wio menjeda ucapannya. "Aku menarik perkataanku. Jeffry sungguh-sungguh menciummu dan menyatakan kalau dia kembali mabuk."
Aku melebarkan mata.
"Dia melakukannya dengan sengaja dan menyembunyikan alasan sebenarnya dengan perkataan, 'aku tidak sengaja'," sambung Wio lagi. "Kita harus berhati-hati darinya. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu."
Aku menghembuskan napas, panjang. "Namun bukan berarti, karena dia sengaja menciumku kau mulai beranggapan dia akan terus berbuat jahat. Kau saja hari itu di klub menciumku dalam keadaan sadar, jadi tidak aneh jika Jeffry yang sadar tergiur untuk menciumku juga."
Wio terbelalak lagi. "Jangan samakan aku dengan Jeffry, kau dengar? Aku tidak suka."
Walaupun kenyataannya, perangaimu membuatku selalu menyamakanmu dengan Jeffry.
"Sudah. Aku mau pergi." Aku berbalik dan menjauhi Wio. "Aku masih trauma ledakan peluru."
Tak terdengar derap kaki di belakangku. Padahal aku berharap Wio meraih tanganku dan mengucapkan maaf atas tarikan pelatuknya.
Aku sampai di persembunyian dan segera menemui Jeffry. Setelah bertatap muka, aku mengatakan akan ikut dengannya yang mengajakku jalan-jalan.
***
Aku menutup hidung setelah masuk ke dalam mobil. Bau miras masih tercium padahal Pak Ari sudah berusaha membuat baunya hilang.
Aku merutuki Jeffry dalam hati yang membuat mobil Bapak bau miras seperti ini. Jika baunya masih bertahan sampai statusku dibebaskan, maka aku akan dimarahi habis-habisan.
Hanya aku dan Jeffry yang jalan-jalan. Yang lain memilih tinggal.
Aku sengaja tak mengajak Wio. Nantinya hanya akan ada kehebohan yang berakhir perdebatan.
"Kita akan ke mana?" tanyaku setelah Jeffry, si supir, saat dia memajukan mobil.
"Ke mana saja di mana tidak ada razianya," jawab Jeffry.
Aku tersenyum. Jeffry pasti berpengalaman menghindari razia. Sejenak aku merasa mengecewakan profesiku yang merupakan mahasiswi akademi kepolisian Indonesia di Jawa. Yang seharusnya mahasiswi seperti diriku menjadi panutan karena tak takut razia, malah menjadi seonggok sampah universitas yang tidak ada gunanya.
"Nanti kita turun sebentar di Pasar Tangga Arung. Aku punya uang untuk membelikan Wursi dan Lana jaket." Sambil mengendalikan lincah setir mobil, Jeffry memberitahu.
"Tidak usah repot-repot," tolakku. "Mereka tidak akan ketahuan dengan baju ini."
Jeffry melirik baju oranyeku. "Aku akan tetap membelikannya." Dia ngotot.
"Ja-"
"Tidak ada penolakan atau kau kuserahkan pada polisi." Jeffry tersenyum miring.
Aku mengepalkan tangan dan langsung menghempaskan badan ke kursi mobil. Aku mendengkus, mengarahkan mata ke arah lain dengan Jeffry yang terkekeh.
"Silakan lakukan apa yang kau mau jika kau rasa itu tidak merugikan." Aku menyerahkan semua keputusan padanya. Jeffry tersenyum sebelum berterima kasih telah memercayainya.
Kami sempat terjebak macet dalam perjalanan ke Pasar Tangga Arung, ikon lain kota Tenggarong selain patung Lembuswana dan Jembatan Wisata Pulau Kumala. Jalan yang kecil dengan semua penduduk hampir merupakan seorang penjual membuat motor dan mobil parkir sembarangan sehingga menghalangi jalan orang yang ingin lewat.
Setelah parkir di tempat yang telah ditentukan, aku dan Jeffry turun dari mobil. Aku sempat menolak takut bajuku menarik perhatian, tapi Jeffry meminjamkan jaketnya sementara dan aku pun ikut keluar.
Kami langsung masuk ke Pasar Tangga Arung yang ramai. Pasar ini bagaikan labirin dan jika salah jalan, aku akan tersesat.
Pasar ini terbagi dalam beberapa bagian seperti di bagian pinggiran pasar yang dekat dengan jalan raya, diisi pedagang makanan dan semakin ke dalam, diisi dengan pedagang perabotan dan benda-benda lainnya: seperti perlengkapan sekolah, sepeda, dan lain sebagainya.
Maka untuk mencari jaket, kami harus masuk lebih dalam. Setelah menemukan toko yang cocok, kami berhenti dan membelinya.
Suara yang hiruk-pikuk membuat orang-orang tak memedulikan celana oranyeku. Aku menghela napas dan bersyukur karena jaket Jeffry menyelamatkanku.
Jeffry orang yang to-the-point dan tak mau berlama-lama. Ia tidak suka keramaian dan setelah mendapatkan apa yang ingin didapatkan, dia mengajakku untuk kembali ke mobil.
Saat keluar dari pasar, terlihat beberapa mobil patroli berjejer di luar parkiran. Beberapa polisi berseragam lengkap berpencar dan aku sontak panik.
Jeffry langsung menarikku ke belakang sebuah mobil dan bersembunyi sampai pada polisi itu lewat. Aku menatap Jeffry yang balik menatapku, bertanya apakah semuanya akan baik-baik saja.
Baru saja Jeffry hendak menjawab, suara lantang nge-bass terdengar dari samping kami. Aku dan Jeffry langsung menoleh dan terbelalak. Dua orang kekar dengan kulit kusam dan pakaian berantakan berdiri melipat tangan.
"Kenapa kalian bersembunyi, huh?" tanyanya. "Kalian takut dengan polisi?" Pertanyaannya sengaja dikeraskan agar para polisi yang sedang berpencar menghampirinya dan menanyakan apa maksudnya.
"Hanya orang-orang jahat yang takut polisi." Tanganku sontak dipegang erat oleh Jeffry. "Pak, anak-anak ini takut dengan An-"
Jeffry menyerahkan kertas plastik berisi jaketnya kepadaku. Dia menghampiri si preman dan memukulnya telak di wajah sebelum beralih ke preman satunya untuk dikalahkan.
Teriakan preman tadi membuat beberapa polisi menoleh dan menghampiri asal suara. Terlebih mereka samar-samar melihat perkelahian dari Jeffry dan rekan si preman.
"Jeff, mereka akan mengetahui keberadaanku," seruku, berbisik. Jeffry langsung berhenti dan kembali mendekatiku, sebelum menarik tanganku dan mengeluarkan pistolnya.
Aku tidak tahu Jeffry membawa senjata api. Tak menungguku kaget, Jeffry menembakkan satu isinya ke tempat si preman berada dan orang-orang kalut dengan para polisi berlarian ke asal suara.
Di tengah-tengah kegaduhan warga, aku dan Jeffry menyembunyikan diri. Setelah dirasa selamat, kami berlari dengan Jeffry mengantongi balik pistolnya.
Kami segera masuk ke dalam mobil dan langsung tancap gas. Kami melaju memecah keramaian dan tak kusangka dua buah mobil polisi mengejar kami.
Dor!
Tembakan peringatan terdengar. Suasana jalan langsung ribut dan beberapa kali Jeffry mengerem guna menghindari kecelakaan.
Kami lepas di jalan raya yang lebar dan mengebut sejadi-jadinya. Lampu merah tidak dihiraukan dan teriakanku menjadi saat Jeffry melakukan drift.
Aku tak dapat berkedip sama sekali. Mobilku melaju sampai-sampai semua barang di depanku layaknya bayang-bayang.
Jeffry kembali melakukan drift dan berbelok ke arah berlawanan--sama seperti yang kulakukan 3 hari yang lalu saat mencuri mobil. Dia mengambil jalan tikus dan aku berteriak agar dia segera memundurkan mobilnya takut mobilnya terjebak.
"Jeff, ini berbahaya!"
"Percayalah, kita akan baik-baik saja."
"JEFF, JALANNYA MAKIN SEMPIT!"
"KUMOHON TENANGLAH, NIA. KITA SEDANG MENYELAMATKAN DIRI!"
Suara keras di kanan-kiri mobil terdengar sebelum mobil tak dapat bergerak. Aku panik bukan kepalang dan menarik-narik baju Jeffry agar dia segera mengeluarkan mobilku itu dari dalam gang sempit.
Mobil polisi berada tak jauh di belakang kami. Penghuninya kesulitan untuk keluar karena jalan keluarnya dihimpit.
Sementara itu, Jeffry menarik tuas agar mobilku mundur. Jeffry menekan gas kuat-kuat dan terlepaskan kami dari kesempitan jalan, hanya saja karena terlalu kencang mundur sehingga tak sempat mengerem, bodi belakang mobil menabrak bagian depan mobil patroli.
Pikiranku sontak kacau. Mengganti bodi mobil belakang membutuhkan biaya yang mahal.
Jeffry kembaki mengutak-atik tuas dan menekan gas. Dia juga menekan rem dan setelah mencapai kecepatan maksimum, rem dilepas dan mobil melaju begitu kencang.
Mobil selamat dari jalan sempit. Jeffry segera mengebut untuk kabur.
Tak terlihat tanda-tanda para polisi itu mengikuti kami. Lagi-lagi, aku dan Jeffry selamat dari mereka.
Aku sontak mual.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top