15. Pulang-Pulang Membuat Masalah

Ini disengaja.

Dua kata yang terkadang kukira tiga itu membayangi pikiran.

"Jeffry meminjam mobilmu agar G.A.N.J.A. menemukan keberadaanmu," sambung Wio dengan tatapan serius.

Aku diam sampai Wio meneruskan. "Sudah dua kali Jeffry membuat kesalahan. Ini disengaja agar kau ditangkap G.A.N.J.A."

"Tapi, G.A.N.J.A. belum tentu menemukanku dari mobil yang dibawa Jeffry," tukasku. "Bisa jadi mereka sudah tahu keberadaaanku dari dulu, dan baru-baru ini bertindak."

Wio menggeleng. "Dari dulu sampai sekarang, dia selalu membuat masalah. Bedanya, dia pembuat masalah, sekarang memancing masalah."

Aku terkekeh geli, terdapat unsur lelucon dalam perkataannya.

"Ada yang lucu, Nia?"

Aku menggeleng.

Kami pun diam sebentar sebelum kembali bergabung. Wursi dan Lana menatap penuh harap agar kami memberitahu apa yang kami bicarakan.

Wio memasang ekspresi tak mau, sedangkan aku memberi isyarat nanti. Diberi isyarat, mereka paham agak lama. Setelah paham, mengangguk-angguk bak burung perkutut.

***

Tangan Jeffry tengah memeluk leher Pak Ari dan dia berjalan sempoyongan. Dia terlihat mabuk dan Pak Ari memanggil Shinta serta Albeta untuk menenangkannya yang terus meracau.

Hari sedang petang, sore menjelang malam. Mereka memindahkan Jeffry ke sebuah tempat guna membuatkan pingsan sejenak agar mabuknya berkurang.

Wio sempat bertanya mengapa mereka lama meminjam mobilku dan mengapa saat datang Jeffry malah mabuk berat. Pak Ari menjawab tempat yang didatangi cukup jauh dan akses jalan ke sana sangat sulit, dan jawaban itu diperkuat di sekeliling ban mobilku terdapat bekas tanah liat basah.

Sedangkan Jeffry, sempat terjadi perkelahian antara Jeffry dan si pembeli dikarenakan si pembeli mengurangi uang yang dijanjikannya. Akhirnya Jeffry mendapatkan apa yang sepatutnya dia dapatkan, hanya saja tanpa sadar dia menukar botol air putihnya dengan botol miras yang terdapat pada botol air mineral.

Di perjalanan, dia meminumnya sampai tandas mengingat isinya hanya sedikit. Beberapa saat setelah membuang botol itu, kepalanya pusing, dia mengeluh kepada Pak Ari, lalu mabuk dan untunglah dia benar-benar sangat tidak sadar, sehingga dia tidak memberontak diikat sabuk pengaman.

Mobilku pasti bau minuman keras. Huh!

"Dia berhasil tenang." Shinta memberi kabar kepada kami yang sebenarnya takut dengan Jeffry yang mabuk. "Miras yang dia minum dosisnya cukup tinggi. Untunglah tidak menyebabkannya overdosis." Gadis itu menghela napas lega.

"Sekarang apa yang terjadi padanya?" tanya Lana, penasaran.

"Kami terpaksa memukul kepala belakangnya sampai pingsan. Pak Ari menjaganya yang pingsan. Mabuknya pasti akan berkurang setelah dia bangun," jawab Shinta.

Aku menghela napas lega. Kekesalanku akibat mobil yang dipinjam terlalu lama digantikan kelegaan karena Jeffry tidak apa-apa.

Aku bergegas pergi ke mobilku, ingin memeriksa apakah ada lecet di bodinya. Sedikit lecet yang kutebak tercipta antara persinggungan bodi mobil dan ranting kecil di pinggir jalan. Aku membuang napas karena sebenarnya Bapak tak suka mobilnya lecet.

Aku akan memperbaikinya setelah status buronan dan pelakuku dicabut.

Aku kembali dan bergabung, menikmati suara besi jembatan yang berbunyi dan mesin kendaraan, duduk di ambang pintu, menyaksikan orang-orang lalu-lalang menikmati malam mereka.

.

Malam sudah larut, dan terus seperti itu sampai ufuk timur terang oleh cahaya kuning. Suara kapal pembawa batu bara hasil tambang mirip dengan suara kereta yang pernah kunaiki semasa di Jawa, membuatku tersenyum kala mengingat kedatangan pertama kali di pulau orang.

Sembari mengingat beberapa memori lucu yang membuatku cepat mendapatkan teman sesama calon polisi, angin berhembus kencang. Memang, di tepian sungai seperti ini angin akan selalu berhembus dan tidak akan berhenti bahkan kemarau sekalipun.

Samar-samar tercium bau asap dari kapal batu bara yang jauhnya ratusan meter dari tempatku. Aku menikmati baunya, hanya saja memilih menutup hidung takut pernapasanku terganggu.

Setelah kapal itu menjauh, aku mengambil kerikil dan melemparnya ke sungai. Bayangan bulan yang hendak menjadi sabit menjadi samar, menyisakan air yang berarak abstrak sebelum tenang dan kembali bergelombang tak karuan.

Aku tidak tahu, apakah Sungai Mahakam ini merupakan satu-satunya sungai yang tak pernah tenang. Airnya selalu beriak, mengundang pendapat seorang paranormal yang mengatakan bahwa ada naga legenda kerajaan Kutai zaman dulu yang masih menghuni sungai.

Pendapat ilmiah ... aku tidak menemukannya alih-alih mencari alasan mengapa sungai itu beriak. Aku lebih menyukai alasan mistis yang mendominasi sungai legendaris Kutai Kartanegara ini.

"Nia?"

Lamunanku buyar. Aku menoleh ke asal suara. Seorang lelaki tinggi menatapku dari kejauhan. Cahaya yang membelakanginya menciptakan siluet berbentuk tubuh tinggi kurusnya.

Dia mendekat, lalu wajahnya diterpa sinar trotoar. Aku melihatnya dengan jelas. Dia Jeffry dengan hood wol di atas rambut hitamnya.

"Kau berjaga?" tanyanya, setengah tidak percaya.

"S.A.B.U. tak pernah pandang bulu." Aku tersenyum lebar.

Jeffry terbelalak, lalu berdecak. "Pasti perbuatan Shinta." Tebakan yang benar.

"Tidak apa-apa. Mataku kuat, kok." Sebelum akhirnya aku menguap, tak dapat menahannya.

Jeffry tersenyum. Dia duduk di sampingku dan seketika bau minuman keras yang masih membekas di mulutnya tercium.

Aku lekas menutup hidung. Aku lebih suka bau asap daripada bau miras yang menyengat.

"Kau tidak menghilangkan bau itu dari mulutmu?" tanyaku tak suka.

"Sadarlah, Nia, tidak ada pasta gigi di sini," jawabnya santai.

"'Kan bisa pakai- Eh, jangan dekat-dekat! Aku tidak suka baunya!" Aku beringsut dari Jeffry yang kelihatan mengusiliku. Dia mendekatiku, membuat bau miras semakin kuat dan rasanya aku mulai pusing.

Jeffry tertawa puas melihatku tak suka. Aku mencuramkan alis dan membuang muka ke arah lain. Saat dia ingin menyentuhku, aku menghindar. Dia terkekeh, lalu diam dan menatap ke arah sungai.

Sebenarnya aku tidak berjaga sendirian. Ada Shinta dan Wio. Shinta di dalam ruangan, menjaga orang-orang dan memastikan semuanya tertidur pulas. Wio berkeliling entah ke mana, mungkin sebentar lagi dia akan kembali.

"Nia."

Jeffry kembali memanggil. Aku menoleh. "Apa?"

"Maaf," ucapnya singkat.

Aku mengernyit. "Untuk apa?"

"Mobilmu." Dia kembali menjawab singkat.

"Maksudmu apa, sih?" Aku masih tak kunjung paham. Jeffry berdecak dan diam tak menyahut.

Dia membuatku tenggelam dalam pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan dalam otak. Aku menunduk dan memikirkan apa maksud dari ucapan maaf Jeffry, sampai kurasakan rambutku dielus olehnya.

"Rambutmu indah." Aku menjadi salah tingkah sesaat mendapat pujian dari Jeffry.

"Te ... rima kasih." Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

Jeffry tersenyum. "Wajahmu cantik."

"Ah, kau bisa sa-"

Baru saja hendak menepis lengan Jeffry, tanganku ditangkap dan dibelai sampai lengan. "Tak terkecuali tanganmu."

Darahku berdesir. Bulu tanganku rasanya berdiri semua.

Elusan Jeffry naik ke wajah dan dia membelai pipiku. Dia mengusap-usap pipiku dengan jempolnya, membuatku mendadak menginginkan jempolnya itu mengusap bibirku.

Wajahku memerah.

Mata Jeffry tak lepas dari elusan jempolnya. Aku menatapnya, tak jelas kulihat apa yang tersirat di matanya, sampai aku sadar kalau Wio akan kembali dan aku mengenggam tangan Jeffry sebelum menurunkannya.

"Terima kasih pujiannya," ucapku. Mulut Jeffry terbuka sedikit, dia kelihatan tak suka aku menghentikan elusannya.

Tangan Jeffry hendak mengelus wajahku lagi dan kali ini dia memajukan wajahnya. Aku menahannya, membuatnya menatapku dan sayangnya aku tak dapat melihat tatapan apa yang dia layangkan kepadaku.

Tak kusangka, Jeffry melepas pertahananku dan menahan tanganku. Tangannya yang lebar mengenggam kuat-kuat dua tanganku yang disatukannya, saat aku ingin beringsut guna menarik tangan, Jeffry meraih punggung dan menarikku ke badannya.

Aku gemetar. Suatu dari bawah sadarku mengatakan akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Aku memberontak, meminta Jeffry untuk melepaskanku. Tapi dia tak melepaskanku, dia malah makin mendekatkan wajahnya sampai akhirnya aku melihat matanya di balik keremangan cahaya.

Kabut.

Aku tak peduli dengan bau miras yang tercium. Aku membeku, mendadak lupa ajaran karate yang telah ditempuh bertahun-tahun.

Jeffry tanpa banyak kata membenamkan wajahnya ke leherku saat aku lengah. Aku mendongak, dan gara-gara itulah leherku diciumi olehnya.

Suara kecupannya terdengar, membuatku hendak menendang takut hilang kesadaran. Jeffry begitu lihai memainkan bibirnya, dia mengecup naik dan turun sampai desahan keluar dari mulut, tak dapat ditahan.

"Jeff!"

Tangan Jeffry yang tadi di punggung, beralih ke wajah dan mengusap bibirku. Dia menahanku berbicara dengan menekan jempolnya di bibir bawah, menyentuh gigi bawah. Aku dilema apakah menggigit jempolnya itu ada menjilatnya.

"Jeff-"

Baru saja ingin menyeru namanya agar dia berhenti, Jeffry menaikkan ciumannya. Dari leher, naik ke rahang sebelum melompat ke dahi, kemudian turun ke hidung dan bibir. Dia menciumku.

Lelaki itu membuatku tak dapat berpikir.

Tanganku memberontak, bukan meminta dilepaskan, tapi meminta Jeffry untuk menciumku lebih dalam. Aku sudah kehilangan akal! Saat aku tenggelam karena menikmati, desahan kecilku keluar.

Sampai akhirnya aku sadar. Aku menyentak tangan dan menendang kuat Jeffry. Ciuman terhenti, aku membuang napas.

"Jeffry, hentikan!" pintaku. Tepat saat itu, Jeffry menepuk jidatnya dan menurunkan tanganku. Dia menggeleng-geleng sambil memegangi dada.

"Nia, aku tidak sengaja. Ah! Rupanya efek dari miras itu belum menghilang!" Dia mengacak-acak rambutnya.

Aku diam. Aku mengelus bibir. Jeffry tidak menciumnya, dia hanya mengecupnya. Mendadak aku merasa pusing karena kini miras yang tadi membekas di mulutnya tercium tepat di bawah hidung.

"Aku mau tidur." Aku langsung tak enak badan, turun dari beton pembatas dan masuk ke persembunyian. Shinta mengernyit melihatku masuk, lalu bertanya mengapa, sampai aku menjawab aku mau tidur.

"Baiklah." Shinta mengendikkan bahu. Aku pamit.

Aku berbaring, membelakangi orang-orang dan memikirkan ciuman Jeffry. Kepalaku berat dan mataku mendadak berair. Aku ingin menangis, tapi tidak tahu menangis karena apa. Sebentar-sebentar tanganku mengepal, sebentar-sebentar aku mendengar desahanku sendiri di dalam pikiran.

Jeffry sialan! Aku tidak akan memaafkannya!

Aku menutup mata dan Jeffry muncul di depan wajah. Aku membuka mata, dia menghilang, lalu menutup mata lagi, dia ada.

Seperti itu terus sampai akhirnya aku tak bisa tidur. Sekali bisa tidur saat suara azan berkumandang dan tak lagi kupedulikan bau miras di bawah hidung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top