14. Gadis yang Tahu Siapa Nia

Pemandangan gelap di depan mata berubah menjadi terang. Sadar, seketika sengatan nyamuk di kaki terasa. Maklum, tempat di mana aku dan yang lain bersembunyi memang sarangnya nyamuk. Hanya tangan-tangan pandai yang bisa memberantas dan mengusirnya tanpa memakai obat nyamuk.

Aku menarik celana ke atas sampai betisku terlihat. Aku menggaruk-garuk dan terasa panas sampai gatalnya hilang. Aku menguap panjang, masih berbaring kuangkat tangan dan meregangkan otot badan. Aku menggaruk kepala sesaat sebelum bangkit dan duduk.

"Selamat pagi, Nia."

Aku menganggut. "Pagi juga."

Aku menoleh ke samping, memandangi Wio, Wursi, dan Lana yang masih berbaring. Mereka membuka mata, hanya saja memilih menempel kepada bumi dengan mata menatap ke arahku.

Aku mengarahkan pandangan ke yang lain. Albeta mendengkur di samping Linda yang memakan roti tawarnya, sementara Bu Rasih dan Shinta yang mengubrak-abrik isi kertas plastik. Aku mengingat-ingat siapa yang belum terlihat olehku. Aku menguap kembali dan sadar bahwa Jeffry dan Pak Ari tidak ada di jangkauan pandangku.

"Jeffry dan Pak Ari mana?" tanyaku kepada semuanya.

"Menjual sabu," jawab Bu Rasih, mengingatkanku akan Jeffry dan Pak Ari yang pergi ke pinggir kota untuk membeli sabu. "memakai mobilmu."

Mataku yang dari tadi berat, meringan dan melebar secepat kilat. Aku menoleh cepat kepada Bu Rasih, dua alis terangkat dengan mulut terbuka.

"Dia-"

"Kau tidur terlalu nyenyak, membuat Jeffry yang ingin meminjam mobilmu tak tega membangunkan. Jadi dia meminta kami untuk memberitahumu. Lagipula kunci mobil tergantung di spion kanan." Shinta memperjelas.

"Kurang asam!" Aku berteriak tak suka. "Itu mobil Bapakku. Jika rusak, aku yang akan dimarahi."

"Jeffry berjanji bertanggungjawab, tenang saja." Bu Rasih kembali menyahut.

Aku menyipitkan mata. "Aku akan memberinya pelajaran sepulang dari menjual." Aku bangkit, keluar dari persembunyian.

Aku keluar dari sebuah ruangan di bawah jembatan, berguna sebagai penyangga dan tempat bernaung, juga di sana tempatnya kendali listrik jembatan dan taman di sebelahnya berasal.

Aku berjalan pelan sambil menghirup udara. Sejuk dan belum terkontaminasi polusi kendaraan. Aku menoleh ke arah di mana mobilku diparkir. Benda itu sudah tidak ada di sana. Jeffry pergi pagi-pagi buta rupanya.

Aku membuang napas dan menatap sungai. Terlihat kapal pembawa batu bara sedang berlayar. Asap dari kapal itu mungkin akan menjadi asap pertama yang mengotori udara. Aku menghela napas, lalu duduk di atas beton pembatas.

.

Sejam yang lalu, Shinta memberiku roti tawar yang diberi selai. Aku memakannya sebelum Wio datang dengan Wursi dan Lana duduk di tangga bercabang di bawah jembatan--takut baju oranye mereka membuat orang-orang curiga.

Aku dan mereka bertiga berbincang-bincang. Bahkan setelah Albeta bangun, dia bergabung dan meramaikan suasana.

Beberapa kali Wursi dan Lana kembali masuk ke persembunyian guna menyembunyikan tempat sembunyi mereka dari pejalan kaki. Aku, Wio, dan Albeta tak acuh melihat pandangan aneh dari orang-orang yang lewat.

Dua jam kami habiskan duduk di beton pembatas dan berbincang. Wursi, Lana, dan Albeta yang bosan masuk lagi ke persembunyian dan terdengar mereka ingin memakan cemilan.

Aku dan Wio tidak bercakap walau jarak kami dekat. Dia memang tak bisa berbicara karena sedang melahap habis rotinya.

Rotiku sudah lama habis, tepat setelah perut terisi. Keadaan sudah begitu ramai di taman, tidak seramai tadi malam di mana lampu taman bercahaya terang.

"Kenapa Jeffry lama ya?" Wio sudah melahap habis makanannya sehingga dia bersuara. "Jeffry hanya tinggal mengambil uang dan menyerahkan sabunya. Transaksi itu tidak memakan waktu sampai berjam-jam." Dia membuang napas.

Semilir angin menerbangkan pelan rambutku. "Mungkin ada masalah saat bertransaksi," sahutku.

"Semoga masalah itu bukan masalah polisi mengetahui mobilmu." Aku menoleh. "Pak Ari tidak pernah benar mengendarai mobil."

"Aku yakin tidak." Sebenarnya aku bimbang. "Jeffry dan Pak Ari pasti bisa mengatasi semuanya." Aku kembali menatap sungai.

"Semoga Tuhan mendengar perkataanmu," gumam Wio yang tidak yakin.

Aku tersenyum kecil. Walau sempat bimbang, tapi aku yakin Jeffry akan bertanggungjawab.

"Hei!"

Tiba-tiba, seseorang menjabak rambutku. Aku jatuh dari beton dengan Wio yang kaget. Kepalaku tidak membentur trotoar, tapi sakit karena rambutku diangkat ke atas. Jabakan itu dilepas, aku terduduk keras, lalu bangkit setelah meringis dengan Wio yang mendorong seseorang.

"Apa maksudmu, hah? Siapa kau?" Wio berkata setengah berteriak. Dia tidak ingin memancing keributan.

"Aku bukan siapa-siapa," jawab seorang gadis angkuh di depannya. Rambutnya bergelombang dan berujung cokelat, diikat dengan ikat rambut berwarna senada dengan rambut--hitam. "Coba kutebak, dia buronan, 'kan?"

Aku sontak melebarkan mata. Wio menggeleng-geleng. Si gadis tampak tersenyum senang. "Apakah tebakanku berhasil, sampai kalian bertingkah seperti itu?"

"Diam kau!" Wio memperingatkan. "Jangan macam-macam atau kau mendapat masalah."

"Hahaha! Omong kosong." Aku berdiri. "Buktikan jika aku akan mendapat masalah. Buktikan, kau dengar? BUKTIKAN!!!"

Wio langsung menendang perut si gadis. Erangan kesakitan terdengar dan orang lain menoleh kepada kami. Wio memancing keributan, itu membuatku panik. Aku menarik tangan Wio, tapi dia menyentak tanganku.

Dia menarik kerah baju si gadis, lalu mendorongnya ke beton pembatas. Dia mendorong sampai tubuh si gadis membengkok--badan terlentang di atas beton, sedangkan pinggul sampai kaki miring ke aspal.

"SIAPA KAU? APA MAUMU!?" Orang-orang langsung berlari dan menarik Wio, meredakan kemarahannya dan saat tidak berhasil, aku yang ganti menenangkannya.

Orang-orang fokus kepada Wio, aku, dan si gadis, membuat Shinta dan Albeta keluar dari persembunyian dan pergi ke suatu tempat. Aku tebak mereka pasti sudah menemukan cara untuk membubarkan kerumunan.

Terlalu fokus pada mereka berdua, terasa jabakan lagi di rambut dan kali ini kepalaku dibenturkan ke atas beton. Aku memejamkan mata, mengerang keras, kepalaku seketika berdarah dan luka lama dari lapas yang sudah tertutup terbuka.

Erangan parauku diakhiri dengan tangis kesakitan dan aku yang melorot. Para ibu-ibu meraihku ke dalam pelukan mereka dan berusaha menghentikan bekas luka.

"PELAKOR!"

"JALANG!"

Bugh!

Terdengar suara pukulan dan aku sontak menoleh. Aku tidak mau Wio menyambung keributan.

"Hei, sudah, sudah." Bapak-bapak menenangkan Wio. Tante-tante mengamankan gadis tadi dan membawanya menjauh. Wio melepas tangannya sekali lagi dari para bapak dan menghampiriku yang terluka.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas. Aku mengangguk pelan, isakan lirih terdengar keluar dari mulut.

"Bubar! Bubar!"

Teriakan Shinta dan Albeta terdengar dari kejauhan. Mereka memakai rompi polisi lalu-lintas yang entah darimana didapatkan, membuat kerumunan bubar dan semuanya kembali seperti semula.

Wio merangkulku dan membawaku ke dalam persembunyian. Shinta dan Albeta berjaga-jaga takut ada warga yang ingin cari perhatian.

***

"Dia meresahkan."

Wio mengacak-acak rambutnya. "Dia tahu kau buronan. Apa yang harus kita lakukan?" Wio memegang kepalanya. "Dia pasti melapor kepada polisi kalau kita berada di sekitar Jembatan Penyeberangan."


Aku tak dapat merespons banyak karena kepala yang berdenyut. Luka akibat dibenturkan tadi sudah dibalut kain yang biasa diikat ke leher oleh Albeta.

Gadis itu memuakkan! Seandainya aku bukan buronan, mungkin dia sudah kumusnahkan dari muka bumi.

"Dia tahu dari mana kalau Nia buronan?" Diam beberapa saat, Lana berucap. "Jika dia tahu wajahnya dari polisi, itu wajar. Tapi tidak wajar karena warga yang berusaha melerai tidak terlihat mengenal kalian." Lana kembali melahap rotinya.

"Juga." Wursi menambahkan. "wajah Nia dan kita yang menjadi buronan seharusnya sudah disebar ke mana-mana. Identitas dan ciri-ciri kita pasti sudah diketahui orang banyak dan anehnya para warga itu tidak mengenal Nia."

"Sengaja."

Aku dan yang lain menoleh pada Albeta. "Sepertinya G.A.N.J.A. kembali bertindak."

Aku mengernyit dan kali ini menyahut. "Kenapa selalu mereka, sih?" Aku terkesiap. "Apakah jangan-jangan ... gadis itu ...." Aku menutup mulut.

"Aku tidak dapat memastikan." Albeta membaca pikiranku. "Aku sama seperti Jeffry, hafal dengan wajah-wajah para anggota ataupun mantan anggota G.A.N.J.A."

"Jadi." Aku menatap Lana. "orang-orang G.A.N.J.A. yang bekerja di kepolisian sengaja tidak menyebarkan foto kami, tapi mereka memancing kami untuk keluar dan menyerahkan diri!?"

"Begitulah."

Lana meneguk ludah.

"Jeffry tahu semuanya. Tanyakan saja kepada Jeffry nanti saat dia pulang." Albeta bangkit.

Mendadak aku mengingat mobilku. "Kira-kira, G.A.N.J.A. tahu tidak kalau mobilku sudah diubah?"

"Maksudmu?" tanya Wio.

"Mobilku 'kan diubah agar saat dikendarai tidak dikenali polisi lalu-lintas atau CCTV jalan. Apakah G.A.N.J.A. tetap dapat mengidentifikasinya sehingga tahu lokasiku di mana?"

"Kau meragukan kami?" Pertanyaanku rupanya menyinggung Shinta yang mengunyah-unyah permen karet baru belinya. "Plat sudah diganti, gantungan di spion depan dilepas. Mereka pasti tidak dapat mengenalinya," ucapnya malas.

"Tapi, mereka bisa mengenali lewat warna," sergah Lana.

Shinta diam. Selama 30 detik dia habiskan untuk mengunyah permen karetnya. Setelah meniupnya sampai meletus, barulah dia menjawab, "Baiklah. Kurasa G.A.N.J.A. menemukan kalian lewat warna mobil."

Wio memukul tembok. "Inilah yang kubenci dari Jeffry. Dia selalu mengundang masalah. Dia meminjam mobil Nia untuk menjual sabu. Mobil itu rupanya memancing G.A.N.J.A. dan akhirnya mereka menemukan Nia bersembunyi di sini." Dia kembali memukul tembok.

Aku membuang napas kembali. Kemungkinan-kemungkinan lain muncul di kepala. Setelah Albeta mengatakan kalau gadis berambut gelombang tadi merupakan anggota--tidak yakin--G.A.N.J.A., aku memutar otak. Mereka tahu keberadaanku dari mana? Dari mobil, atau menguntitku karena tahu aku diselamatkan Jeffry?

Kemungkinan-kemungkinan itu dibiarkan terus membayangi pikiran, sampai Wio bersuara, berbisik di telingaku dan mengajakku berbicara dua mata di suatu tempat. Aku mulanya tidak mau takut dia melakukan sesuatu kepadaku.

"Kali ini aku serius. Ini tentang Jeffry." Wio memohon.

Akhirnya, aku pun ikut dengannya. Aku menjaga jarak, duduk bersamanya di suatu sudut ruangan yang gelap, tidak diacuhkan oleh orang-orang kecuali Wursi dan Lana, sebelum aku menoleh kepada Wio dan menyuruhnya mengatakan apa yang ingin dikatakannya.

"Sekarang kita benar-benar tidak bisa mempercayai mereka semua sepenuhnya." Wio melirik Bu Rasih, Shinta, Linda, dan Albeta bergantian. "Aku merasa ini disengaja."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top