12. Drift Pertama
Bebas untuk sementara. Aku menghela napas dan mengendalikan penuh setir mobilku. Dadaku naik-turun, antara lega dan khawatir. Aku dapat merasakan salah satu sisi bodi mobilku penyok dan jika Bapak melihatnya, dia akan sangat marah.
Kembali fokus ke misi. Aku melirik spion, pertigaan, dan perempatan. Tidak ada mobil polisi.
Mendadak aku lupa kalau aku memasuki sebuah jalanan yang di tepi kanan dan kirinya ada pasar. Jalan pun macet dan terhalau dengan aku berdecak kesal.
Aku memukul setir.
"Sabar, Nia." Jeffry duduk di belakang, menepuk-nepuk kedua bahuku. "Polisi-polisi itu terpancing rencana kita. Jangan khawatir." Dia menenangkan.
Aku mendengkus. "Maksudmu Pak Ari memunculkan diri? Begitu?"
Itu bagian dari rencana. Setelah kami berhasil mencuri mobil, Pak Ari yang bertugas mematikan listrik memunculkan diri dengan alat pemutus kabelnya--dia pasti teridentifikasi pelaku yang merusak listrik di kantor.
Setelahnya, Wursi dan Shinta akan menyelinap dan mengambil barang-barangku, terutama dompet. Shinta seperti bunglon dengan penciuman anjing, dia tahu di mana barang-barangku hanya dengan mengingat bau dompetnya.
Nanti, setelah mereka berhasil, mereka bergabung dengan kelompok 3&1--aku menyebutnya begitu karena hanya Lana yang laki-laki--dan pergi ke sebuah tempat di mana aku akan menjemput mereka. Sekarang aku fokus memancing polisi-polisi yang kemungkinan sedang menuju ke arahku tapi dihalangi oleh Pak Ari.
Sembari menunggu Pak Ari bergabung, mereka membeli makanan dengan uangku. Jika Pak Ari sudah bergabung, dan para polisi berhasil menguntit, maka saatnya ketujuh orang itu untuk melawan terang-terangan. Jika keadaan membuat mereka tak dapat berdiam di tempat yang diusulkan agar aku menjemput, mereka harus berlari beberapa kilometer ke jembatan penyeberangan.
"Mereka menemukan kita!" Wio berteriak, menyadarkanku yang masih memelankan mobil. Sirene terdengar tak jauh dari belakang mobil, semua benda yang menghalangi disingkirkan oleh warga setempat agar mobil hitam-biru itu dapat bekerja dengan cepat.
Sirenenya membuat orang-orang menepi, aku segera tancap gas. Ada sedikit celah dari bubarnya orang, aku harus memanfaatkan kesempatan.
Aku berhasil keluar dari jalan itu, bersama mobil polisi yang mengejarku. Aku terlalu lambat saat berbelok dan belakang mobilku ditabrak.
Walau semua kaca tertutup, mobil dilapisi pengedap suara, masih terdengar letusan peluru yang mengarah ke ban mobil yang membuatku khawatir takut mengenainya. Aku langsung menekan gas dan kembali hilang kendali, hampir menabrak mobil lain yang ingin lewat dan sempat memasukkan sebagian mobil ke trotoar demi menyalip sebuah truk besar yang jalannya benar-benar pelan.
Aku tidak peduli dengan pekikan Wio dan Jeffry yang menyuruhku untuk kembali waras. Aku juga tidak peduli dengan beberapa kotak sampah yang kutabrak.
Aku kembali ke jalan dan menyalip kendaraan. Aku terbawa suasana sampai Jeffry menampar lenganku karena aku melewati tujuan, sangat jauh.
"Kita sudah kelewatan! Terlihat Shinta dan yang lain di sana!" Teriaknya tepat di depan telingaku.
Telingaku berdenging, aku meringis. Tepat saat itu aku kembali waras untuk sesaat sebelum melakukan hal paling gila yang sebenarnya tidak pernah kulakukan.
Aku mendapat celah dari mobil-mobil yang berjejer sejalan denganku. Aku mengebut melewati batas kecepatan dan mulai memainkan setir.
Aku menginjak rem dan kopling bersamaan. Tak lupa menetralkan tuas pemilih dan berbelok tajam ke kanan.
Sontak, waktu berputar menjadi lambat. Klakson dari pengendara yang kaget bergema dengan wajah para polisi di mobilnya yang menunjukkan ketidakpercayaan.
Aku melakukan drift, drift pertamaku! Aku tidak melakukannya di jalan sepi, aku melakukannya untuk yang pertama kali di jalan ramai.
Setelah berada di jalan yang berlawanan dengan jalan mobil polisi, waktu kembali normal. Napasku tersengal, aku masih tidak percaya aku melakukan sesuatu yang berbahaya.
Aku menenangkan diri sampai aku melihat Shinta berdiri melambai-lambaikan tangan. Aku langsung berhenti dan mengerem tiba-tiba, Wio yang baru saja hendak memasang sabuk pengaman terlempar ke kabin.
Jeffry melipat kursi kanan baris kedua dan Shinta membuka pintu. Sementara Wio mengaduh, orang-orang masuk dengan beberapa kertas plastik besar berisi buah-buahan dan makanan.
Suasana mobil seketika sesak dan Shinta menawarkan diri untuk mengemudikan mobilku. Aku menolak mentah-mentah dan bilang, "Hanya aku yang dapat menghancurkan mobil ini." Aku kembali menginjak gas.
Orang-orang di dalam mobil ngos-ngosan. Beberapa kali mereka menoleh ke belakang untuk melihat apakah mobil polisi mengikuti kami.
Wio melirik spion dan berkata, "Mereka masih mengikuti kita." Aku mendengkus tak suka.
Mendadak aku berhenti. Orang-orang menoleh cepat ke arahku. Mereka mengernyit dan Wio kembali bersua. "Kenapa berhenti? Kita sedang dikejar!"
Aku menyahut, "Anak-anak itu ingin menyeberang jalan." Arah tatapku membuat tatapan Wio dan yang lain mengarah ke depan, di mana beberapa orang anak menggemaskan sedang berbaris rapi menyeberang jalan yang dipandu seorang wanita.
Salah satu anak sempat berhenti, mulutnya dipenuhi es krim. Anak itu gendut dengan pipi berisi yang melorot, matanya bulat dengan rambut sebahunya.
Dia beranjak dari tempatnya saat dipanggil oleh wanita tadi. Aku menatapnya yang menjauh, aku dihipnotis dengan keimutannya.
"NIA! MEREKA ADA DI BELAKANG KITA!!!"
Aku kembali tersadar dan menginjak gas secepat-cepatnya, kemudian berbelok-belok jalan guna mempersulit penyusulan para polisi.
Aku nekat menerobos jalan sempit saat salah satu mobil polisi berhasil menemukanku. Jalannya makin sempit dan aku fokus kepada setir, injakan di gas semakin kuat dan terdengar bunyi keras di kanan-kiri mobil diiringi spion yang patah sebelum aku berhasil keluar dari jalan sempit itu.
Mobil polisi tadi--satu-satunya yang mengikutiku, terjebak karena terjepit. Aku menghela napas dan kembali melaju untuk ke bawah jembatan penyeberangan.
Kali ini aku memelankan mobil dan membaurkannya dengan mobil lain agar tak diketahui CCTV.
Aku dan yang lain selamat.
***
"Ah!"
Aku mengelus-elus lecet di bodi kanan dan kiri mobil yang cukup parah. Aku merasa melanggar janji kepada Bapak untuk menjaga mobilnya dari segala goresan dan lecet.
Aku membuang napas, seharusnya aku tidak memaksakan mobil itu untuk melewati jalan sempit itu. Tapi mau bagaimana lagi agar mobil polisi itu berhenti mengejarku. Aku akan memperbaikinya jika statusku sebagai buronan dan pelaku dicabut.
"Parah," komentar Jeffry, dia bersandar di mobilku dengan tangan terlipat.
Aku mengendikkan bahu, pasrah. "Tidak mengapa. Ini mobilku juga, kok." Aku tersenyum palsu.
Sekarang kami semua berada di kolong jembatan yang titik lihatnya hanya dapat dilihat orang-orang yang joging. Di atas kami, suara besi pertanda ada mobil lewat berbunyi dan menambah kengerian karena beberapa membayangkan saat tidur jembatan itu roboh karena besi itu tak kuat.
"Ngomong-ngomong, tadi itu keren." Jeffry memuji aksi drift pertamaku. "Kau seperti Shinta." Dia memberiku semangat.
Aku membuang napas. "Itu membahayakan." Pujian itu tidak membuatku bangga ataupun senang. "Aku seorang mahasiswi di akademi kepolisian terkenal di Jawa. Sekarang aku bertingkah seperti penjahat sungguhan." Aku duduk di samping mobil dan bersandar.
Jeffry ikut duduk, di sampingku. "Orang baik punya hak untuk menjadi jahat." Aku menoleh padanya. "Lagipula kau melakukan ini karena kau benar, 'kan? Maka jangan merasa kalau dirimu penjahat sungguhan." Dia menepuk-nepuk bahuku.
Krak!
"Akhirnya. Pyuh!"
Wio muncul dari depan mobil sambil memandangi nomor plat mobilku yang baru saja dicabut. "Susah juga mencabutnya tanpa alat yang lengkap." Dia menghapus keringat di dahi dengan punggung tangan dan menghampiri kami.
Kenapa dia mencabut plat nomor mobilku? Karena polisi pasti sedang mencarinya dari CCTV untuk disambungkan ke mobilku.
Maka dari itu Jeffry menyuruh Linda dan Albeta untuk mengganti plat itu dengan plat baru sedangkan Shinta pergi ke sebuah tempat untuk membuatkan diriku SIM palsu baru. Mereka bertindak melanggar hukum dan mereka kelihatan tidak masalah saat melakukannya.
"Sayang sekali plat ini dilepas." Wio membalik papan plat dan menunjukkan nomornya padaku dan Jeffry.
Aku menaikkan bahu. "Harus bagaimana lagi." Plat bernomor cantik itu harus dilepas agar aku tak mendapat malapetaka di masa yang akan datang.
Wio manyun dan meletakkan plat itu di atas mobil sebelum bergabung dengan kami yang duduk di samping mobil.
"Kau hampir membuatku terkena serangan jantung," kata Wio. Jeffry lekas tertawa.
"Kau pasti belum terbiasa, 'kan?" Mereka membicarakan tentang drift pertamaku.
"Ya." Wio mengurut dada. "Kau benar-benar gila saat kabur dari kepolisian." Dia menatapku.
Aku hanya diam.
"Mendadak aku jera satu mobil dengan Nia, terlebih dia sebagai supir," lanjut Wio. "Dia seakan ingin menumbalkan semua penghuni mobil."
Mendadak aku ingin mengisengi. "Kau tahu? Tadi itu aku ingin menumbalkanmu karena kurasa kaulah yang menyebabkan aku menjadi buronan sekarang." Aku tersenyum jahat.
Wio melebarkan mata. "Kok aku?"
Tawaku sontak pecah. Aku tak dapat menahannya.
"Lucunya mana, sih?" Wio bertanya pelan kepada Jeffry yang mengendikkan bahu. Aku berhenti tertawa dan menatap Wio, lalu menyahut. "Aku hanya bercanda."
Wio tidak merespons. Dia hanya memutar bola matanya.
Jeffry menoleh padaku, dia tersenyum.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top