11. Mencuri Mobil
Hari beranjak pagi, aku tak tidur sampai matahari terbit. Aku tidak trauma karena tempat tidurku beberapa jam yang lalu diledakkan. Hanya saja akibat pemberitahuan Albeta, aku mendadak gundah dan akhirnya terjaga.
Polisi seperti G.A.N.J.A., mereka tahu lokasiku. Tidak aneh, terlebih Albeta bilang ada penjilat di Porles Kutai Kartanegara yang merupakan kelompok G.A.N.J.A. Jadi biasa-biasa saja kalau mereka tahu di mana aku berada.
Aku mengepalkan tangan. Kata Jeffry, Pak Ari berhasil menggagalkan Dandi membeberkan lokasiku, tapi nyatanya mereka tahu di mana aku.
Setelah mendengarkan semua pemberitahuan Albeta, mendadak aku curiga dengan S.A.B.U. Terlebih Wio, Wursi, dan Lana satu pemikiran denganku dan kami sempat bercakap delapan mata di tempat yang jauh dari mereka.
"Katanya G.A.N.J.A. tidak tahu. Tapi kenapa mereka tahu kalau gedung setengah jadi itu ada dirimu?" Lana mengelus dagu. "Mereka terlihat berbohong."
"Mereka mencurigakan. Aku rasa mereka masih punya hubungan dengan G.A.N.J.A." Diam-diam, Wursi melirik Jeffry yang duduk tak jauh dari kami.
"G.A.N.J.A. adalah penjebak. Kurasa S.A.B.U. dijebak oleh mereka tanpa sadar," sahut Wio dengan nada terkesan tidak terima.
"Apa yang kau tahu?" Lana menatap tajam. "Kau pernah jadi anggotanya, tentu saja kau akan membelanya."
Wio mencuramkan alis tidak suka. "Hei!"
"Sudah!"
Kami berempat melirik anggota S.A.B.U. yang semenjak mengundurkan diri itu kehilangan banyak anggotanya. Aku mendengkus dan mengendikkan bahu. "Setidaknya kita selamat."
Itulah akhir dari percakapan kami sebelum kantuk menyerang mata dan beberapa tak tahan. Aku pura-pura tidur agar Wio tidak menciumku--ancamannya saat aku bilang aku tidak mengantuk--lalu bangun lagi saat mendengar dengkurannya.
Aku membuka mata sampai pagi. Aku berbaring gelisah seperti cacing kepanasan. Tidak ada alas yang menjadi tempatku berbaring, hanya rumput kering yang gatal di kulit jika menusuk.
Kembali ke pemberitahuan Albeta. Dia memperkirakan setidaknya ada 5 anggota G.A.N.J.A. yang berhasil menemukan kami dan 3 penyamar dari kepolisian. Salah satu dari 3 penyamar itu merupakan tali antara G.A.N.J.A. dan polisi, dia bekerja memberitahu apa saja yang sedang kepolisian selidiki.
Jeffry bersamanya saat dia melawan salah satu anggota G.A.N.J.A. yang berhasil menahannya. Dia memakai pisau, menggores punggung Jeffry yang sebenarnya ingin ditusuknya, menyebabkan Jeffry berteriak dan teriakannya memancing seorang pengamat yang mencari, sebelum Albeta melumpuhkan telak anggota G.A.N.J.A. itu dan mengamankan si rambut hitam itu.
Mereka semua terpencar; aku dengan Wio, Jeffry dengan Albeta, Wursi dengan Pak Ari, Lana dengan Bu Rasih, Linda, dan Shinta.
Kami berlari sebelum bertemu di sebuah rumah di mana yang terlebih dahulu datang adalah kelompok Lana. Dia sengaja bersiul, memancing siapapun untuk mendekat dan menolong terlebih Linda mendapat luka di pipi.
Penjelasan Albeta pun berakhir. Intinya lokasiku terkuak, polisi dan G.A.N.J.A. bekerjasama, dan gedung setengah jadi hasil korupsi habis berantakan akibat diledakkan.
Pertanyaannya, bagaimana bisa mereka menemukanku? Apakah Jeffry berbohong kepadaku, mengatakan kalau Pak Ari berhasil menggagalkan Dandi mengirim lokasiku ke pemimpinnya?
Aku pun bangkit. Badanku pegal semua.
Aku memijit bahu dan berdiri dengan hitam di bawah mata. Aku tidak ingat sudah beberapa hari aku tidak tidur dengan nyaman.
Menguap, aku mencari tempat yang pas untuk melakukan pemanasan.
.
Kali ini karena peledakkan dadakan yang menyebabkan aku dan yang lain lupa di mana kami berada, kami menahan makan. Jika kami ingin mengisi perut, maka kami harus menyamar.
Mungkin bagi Jeffry, Wio, Albeta, Shinta, Linda, dan Pak Ari serta Bu Rasih, itu hal yang mudah. Tapi tidak denganku, Wursi, dan Lana yang walaupun berubah total dari ujung kepala sampai ujung kaki, tetap dikenali oleh orang-orang.
Aku pernah belajar di akademi hal apa saja yang perlu disamarkan saat menyamar. Aku harus menyiapkan KTP rahasia yang dikeluarkan dari akademi untuk kepentingan tugas lapangan, topi dan kacamata hitam, pakaian berbeda dari yang biasa kupakai, dan sedikit hiasan wajah bagi orang yang kehidupannya anti-make-up.
Aku juga harus pintar meletakkan senjata agar saat dikeluarkan tidak ribet. Aku juga harus tahan gores jika tidak mau kalah di tangan lawan.
"Bagaimana? Masih mau makan?" tanya Jeffry yang sudah siap dengan penyamarannya. Harus kuakui dia berbeda 180 derajat dari biasanya, tapi wajahnya membuatku ragu kalau dia bisa selamat.
"Percuma aku ikut," sahut Wursi. "Kita menyamar untuk mencuri." Dia memajukan mulut tak mau.
"Padahal Shinta bisa menyamarkan kalian," kata Jeffry yang masih berusaha mengajak. "Lagipula agamamu mengajarkan untuk memakan sesuatu yang haram jika yang halal tidak-"
"Kata siapa, Bodoh?" Wursi menatap kesal. "Aku tidak apa-apa tanpa makan. Pergi saja! Aku dan Lana menunggu kalian di sini." Lana sedari tadi berpendirian teguh, Wursi mengangguk.
"Kalau kalian ingin tahu." Kali ini Shinta menyahut. "kami menyamar untuk mencari tempat tinggal baru juga. Jika kalian tinggal, kalian mau berpisah dari kami dan menyerahkan diri kepada polisi?" Wursi tampak berpikir sekali lagi.
Aku menggerutu dalam hati. Tak bisakah kealiman Wursi dihilangkan sedikit? Urusannya jadi susah! Wursi tetap menolak dan katanya dia lebih baik makan di kantor polisi daripada makan uang hasil mencuri.
"Kita tidak mencuri, kita hanya meminjam uang seseorang."
"Diam, Gadis Cempreng! Itu sama saja " Suara cempreng Linda memperburuk suasana hati Wursi. "Aku akan tetap di sini. Aku dan Lana tidak peduli!" Wursi memalingkan muka.
Aku mendengkus. Linda menunduk. Sejenak kuperhatikan gerbang masuk PDAM yang kelurahannya dicetak terbalik karena membelakangiku.
Aku mengeja dan sadar kalau aku berada dekat dengan Porles Kutai Kartanegara.
"Jeff, di kantor masih ada dompetku tidak?" tanyaku pada Jeffry.
Jeffry menoleh. "Biasanya ada."
Bagus, aku punya rencana!
"Wursi, ikut aku. Aku akan jamin kau makan dengan uang halal." Aku menyakinkan dengan semua orang yang terbelalak.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" Albeta memiringkan kepala. "Otakmu tidak waras karena ditimpa musibah terus-menerus ya?" Dia menekan-nekan dahiku.
Aku menepisnya dan menggeram. Aku kembali menatap Wursi dengan tatapan memohon dan akhirnya dia mau.
"Baik, baik. Menyebalkan!" Wursi mendengkus. "Shinta, samarkan kami!"
Shinta mengangguk dan menghampiri Wursi serta Lana untuk diubah.
Aku mengikat rambutku, memasukkan baju oranyeku ke dalam celana oranyeku. Aku mirip model dengan pakaian penjara. Tapi karena pakaian itu aku harus waspada, tidak semua orang mengira kalau pakaian yang kupakai adalah pakaian biasa.
Wio tampak tidak peduli dengan pakaiannya. Wursi dan Lana sempat memohon untuk bertukar celana dengan Pak Ari dan Albeta. Karena mereka lebih pintar mencari persembunyian, maka akhirnya mereka bertukar celana. Setelah selesai, Jeffry menatapku dan yang lain bergantian, lalu memberi arahan agar berkumpul di taman yang letaknya di samping jembatan penyeberangan Tenggarong-Tenggarong Seberang.
"Itu jauh!" komentar Shinta. "Kita ke sana dengan apa?"
Jeffry menatapku, lama seakan dia mengorek dan membaca pikiranku. Sejenak dia mengembangkan senyum dan terkekeh. Dia menjawab, "Aku tahu apa yang Nia pikirkan. Kita akan mengambil kembali mobil Nia dari kepolisian."
.
Jeffry punya indra ketujuh, harus kuakui. Dia dapat membaca apa yang orang lain pikirkan--sejauh ini hanya aku yang mungkin terang-terangan memberi gambaran. Pengalaman hidupnya benar-benar banyak sampai dia mengerti jika seseorang bermimik ini dia sedang memikirkan itu. Hebatnya, dia dapat membaca pikiran orang lewat mimik yang sekalipun datar, tapi orang lain tidak dapat membaca pikirannya.
Jeffry, Wio, dan aku sedang pergi ke kantor polisi guna mencuri mobil. Wursi, Lana, dan yang lain ke tempat lain dan mereka akan menungguku menjemput di suatu tempat.
Jeffry memberi waktu kepada semuanya selama 30 menit. Jika mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, langsung pergi ke tempat yang dijanjikan dan bersembunyi agar tak ketahuan.
Waktu itu lumayan pendek bagiku. Dari kantor polisi ke tempat itu saja memakan waktu sampai 5 menit, jika pakai kendaraan.
Namun kurasa S.A.B.U. bisa mengatasinya. Mereka bisa berlari karena terbiasa melakukannya, jadi aku agak tidak khawatir.
Jeffry mengintip pos satpam, satpamnya sedang menonton para wartawan yang bergerombol di depan kantor. Sekali-kali dia memberi hormat kepada beberapa mobil yang mungkin berisi seseorang terhormat dari kepolisian. Dia duduk kembali dan meneguk cairan dalam cangkirnya.
Jeffry menatap ke sana-sini, dia mencari CCTV. Satu CCTV mulanya berkedip-kedip pertanda menyala, sebelum mati pertanda Pak Ari berhasil mematikan listrik di sana.
Pak Ari berada di sisi lain bangunan kantor polisi dan dia bertugas memancing orang-orang. Dia akan mematikan listrik, membantu Shinta dan yang lain untuk mencuri dompetku, sebelum kabur dan pergi agar tak ditangkap.
Jeffry menyeringai. Dia mengajak kami masuk. Memastikan tidak ada orang, Jeffry memukul telak si satpam dan langsung berlari ke sebuah parkiran mobil. Aku menghampirinya dengan hati-hati dan menunjuk ke sebuah mobil Avanza cokelat.
"Merek?"
"Avanza."
Jeffry tampak berpikir. "Baik, tunggu di sini. Aku akan mengambil kuncimu dan aku akan kembali." Dia langsung melesat sebelum aku menyahut.
Dia terlihat santai melakukannya. Dia berbaur dengan sekumpulan wartawan berperalatan lengkap. Jaketnya mendominasi keadaan, aku menghela napas. Tak butuh waktu lama bagi Jeffry mengambil beberapa kunci mobil dan mengeceknya satu-satu sampai aku melihat mobil Avanza lain berwarna putih.
"Kita tidak boleh terlalu banyak memilih-"
Tit! Tit!
Tit! Tit!
Bunyi mobil-mobil yang terbuka otomatis itu memancing bahaya. Jeffry masih mencoba dan terkesan sengaja. Aku merebut kunci-kunci itu darinya dan dia hanya mencuramkan alis sebelum ingin merebut dan aku menolak.
"Kau memancing orang-orang," kataku, berbisik agar dapat mendengar siapa saja yang sedang ke parkiran.
"Lalu, kau tahu yang mana kunci mobilmu?" tanya Jeffry.
Aku memperhatikan kunci-kunci yang ada di tanganku. Aku mengingat-ingat bentuknya dan berhasil mengingat sedikit sebelum mencari bentuk yang serupa.
Aku tidak menemukan yang serupa, hanya yang nyaris serupa. Aku menatap ragu ke kunci itu, lalu teriakan lantang terdengar dari arah depan.
"Kita ketahuan!" Kali ini Wio yang berusaha tidak menganggu, mengeluarkan suaranya. Aku buru-buru menekan tombol di kunci itu dan Dewi Fortuna berpihak padaku.
Kunci itu kunci mobilku.
Aku sontak menjatuhkan kunci-kunci lain dan mengajak Jeffry serta Wio untuk masuk. Setelah masuk, kami mengunci masing-masing pintu sebelum beberapa aparat yang memergoki kami berusaha membuka pintu.
Pikiranku sontak kacau, aku mundur dan terdengar teriakan orang. Aku tidak peduli apakah aku melindas atau menabrak punggung seseorang. Aku hanya tancap gas, banting setir ke kanan, keluar dari parkiran, dan mengebut guna memecah orang-orang yang menghalangi jalan keluar.
Aku tidak peduli apakah aku menabrak mobil orang atau hanya menyerempetnya. Aku tidak peduli ada goresan di mobilku dan sedikit penyok akibat perbuatanku yang benar-benar sudah di luar kendali.
Akhirnya aku berhasil keluar walau sempat ingin menabrak tiang listrik. Aku buru-buru memundurkan mobil, tidak peduli dengan pengendara lain yang jalannya mendadak terhenti.
Setelah merasa aman untuk sejenak, aku berbelok dan memancing yang lain.
Nanti, setelah aku memancing para polisi itu, yang lain akan masuk ke kantor dan mencari barang-barangku. Jeffry memang pintar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top