1. Liburan
Bugh!
Itu bukan suara pukulan, by the way.
Aku baru saja menutup pintu bagasi mobil. Aku mengelap keringat di dahi dan menoleh di mana Wio, Wursi, dan Lana diceramahi Mamak.
Aku akan berlibur ke Balikpapan, hitung-hitung mengistirahatkan pikiran setelah kuliah berat di Jawa. Sebenarnya aku ingin bersama Pira, tetapi dia sibuk ulangan dan pada akhirnya aku mengajak tiga teman laki-lakiku yang kebetulan luang untuk ikut denganku.
Ambigu, tapi tenanglah. Aku sudah kuliah di akademi kepolisian terkenal di Jawa, aku sudah memiliki sabuk hitam karate, dan jika salah satu dari mereka bertiga berani mengapa-apakanku, siap-siap saja sekarat dengan pukulanku.
Wio, Wursi, dan Lana menunduk diceramahi Mamak. Ceramah Mamak tak lain dan tak bukan: Jangan memerkosa wanita. Aku menggeleng pelan melihat ekspresi mereka bertiga. Teman-temanku itu lucu, terlebih Wio yang terlihat menghayati, padahal sasaran ceramah itu adalah dia.
Mereka manggut-manggut jika ditanyai Mamak. Beberapa saat kemudian, ceramah pun ditutup. Mamak menodongkan sendok nasinya ke mereka bertiga, bergantian. "Jika kalian bertiga berani mengapa-apakan anakku, kalian mati di tanganku."
Mamak tidak main-main. Dia tidak pernah berbohong. Dia bisa lembut, juga bisa galak. Menuruti keinginan, dia menolak mentah-mentah diriku yang mengajak teman-teman lelakiku itu. Hanya saja, sebelum aku masuk lagi ke jadwal kuliahku, aku ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Lagipula, aku dan Lana memiliki hubungan darah dan tidak ada satu pun teman perempuanku yang ingin ikut.
"Sudah mau sore. Kapan kalian berangkat, Nia?" tanya Bapak yang selesai mengecek mesin mobil. Aku menoleh kepadanya, lalu menoleh kepada Wio, Wursi, dan Lana.
Mereka bertiga mengendikkan bahu, siap dan menyerahkan keputusan kepadaku. Aku melihat jam di layar ponsel, sudah pukul 2 tengah hari, jika ditunda lagi, maka kami akan datang malam.
"Barang-barang sudah siap. Kurasa tidak ada yang tertinggal," kataku, menatap ketiga temanku yang memeriksa kantong baju dan celana masing-masing.
"Tidak ada yang tertinggal," lapor mereka, serempak.
Aku menyungging senyum. "Baiklah, ayo, berangkat." Kendati aku berkata demikian, perjalanan belum dimulai. Kami berempat pamit terlebih dahulu, lalu masuk ke dalam mobil dengan aku sebagai supir.
Kami meninggalkan rumah, lalu meninggalkan desa.
Aku berdecak kesal saat jalanan mulai bergelombang. Kuharap aku bisa menyetir sampai ke jalan aspal, lagi.
.
Perjalanan ini hanya dihibur dengan suara mesin dan sedikit lagu sumbangan dari Lana. Wursi menatap ke luar jendela dengan earphone terpasang di telinganya dan terdengar nada lagu islaminya merembes keluar pertanda volumenya yang diluar batas.
Wio duduk setenang air, dia tidak melakukan apa pun. Berbanding terbalik dengan Lana yang mengajakku bicara, katanya dia bosan jika di perjalanan jauh tidak ada percakapan.
Aku menanggapi dengan sesekali membelokkan setir. Kulihat Wursi yang mulai mengantuk dengan Wio yang ingin menjahilinya. Baru saja lelaki itu ingin menjahili, suara keras di depan mobil membuat semua orang terlonjak.
Suara itu mengagetkan. Seisi mobil diam dan menoleh ke depan. Aku menghela napas lelah karena sudah menyetir di jalan bergelombang hampir dua jam. Sekarang aku sampai di jalan aspal, hanya menghabiskan waktu satu jam setengah untuk ke kota.
Sudah jam 4 sore saat aku menghentikan mobil di tepi jalan dan bertanya, "Kita makan di mana? Tenggarong atau Jonggon?" Tenggarong adalah nama kota yang lebih dikenal dengan nama Kutai Kartanegara, sedangkan Jonggon ... aku kurang tahu apakah itu kota atau desa. Yang aku tahu, rata-rata dari penduduknya merupakan imigran dari Madura dan makanannya enak-enak. Mereka berjualan di pinggir jalan, tapi yang merusak pemandangan, ada saja warung kopi dengan penjual seksi yang kadang kutuduh merupakan gadis malam.
"Tenggarong." Wursi seorang yang ingin cepat-cepat sampai ke tujuan dan berbaring sampai tertidur. Jawabannya itu sama dengan Wio dan Lana, membuatku mengangguk dan mengendikkan bahu.
"Baiklah, tapi sebelumnya aku mau istirahat. Tanganku pegel." Aku memijit tanganku. "Ada musala di sana. Mungkin ada yang ingin salat atau kencing, bisa ke sana dan aku akan menunggu di-"
"Aku ikut Nia, berdiam di dalam mobil," potong Wio yang sontak membuatku bergidik.
"Hei, siapa bilang kalau Nia menunggu di dalam mobil?" sahut Lana yang membuatku menghela napas lega.
Wio tampak tidak malu, dia malah menatapku datar. Dia tahu aku akan menunggu di dalam mobil, terpaksa aku keluar dan beristirahat di teras musala.
Kami pun keluar dengan Wursi yang menggandeng sajadah di lipatan tangannya. Dia dan Lana akan salat Asar dengan aku dan Wio menunggu di teras.
Wio pergi ke toilet, sedangkan Wursi dan Lana ke tempat wudhu. Setelahnya mereka berdua masuk ke dalam musala dan mulai melaksanakan ibadah yang sempat tertunda, dengan Wio duduk di sebelahku.
Aku baru saja membasahi mukaku dengan air mineral yang ditumpahkan ke tangan. Aku membuang napas lelah sampai pijitan nyaman Wio terasa di tangan.
"Tanganmu pegel, bukan? Sini aku pijit," tawarnya.
Nah, gitu, dong. Jangan mesum terus.
Aku menyodorkan tangan dan berterima kasih. Aku bersandar di tiang musala yang terbuat dari kayu, lalu memejamkan mata.
Baru saja menenangkan diri, aku terkesiap merasakan ciuman kecil di tanganku. Aku menarik tanganku, melayangkan tamparan kepada Wio, membuat suara plak menarik perhatian seorang pengendara motor, dan Wio memegangi pipinya.
"Kukira niatmu tulus," kataku setengah berteriak, berusaha menjaga ketenangan musala yang ada sedikit penduduk yang berdiam di sekitarnya.
"Niatku sudah tulus, tapi tanganmu menggoda," sahut Wio yang terkekeh.
Menggoda? Tangan berdaging keras ini dibilang menggoda?
Jika saja aku berada di tempat sepi, mungkin aku sudah menghabisi Wio saking kesalnya. Namun jika kami berada di tempat sepi, Wio akan melawan dan aku akan menyerah pada akhirnya.
"Mau kupijit lagi?" Wio menawarkan dirinya, lagi. Aku mau, tapi aku jera dengan tanganku yang dicium.
"Tidak, terima kasih."
Kami pun terdiam sampai akhirnya Wursi dan Lana selesai salat dan keluar dari masjid. Mereka memborong kami dengan pertanyaan, Wursi cerita kalau dia mendengar suara seseorang ditampar dan Lana hampir membatalkan salat karena penasaran.
Wio mendadak berubah dramatis. "Nia menamparku, Si, Lan." Dia mengadukan.
"Hei! Kau yang mulai duluan!" sergahku.
Wursi dan Lana saling pandang. Mereka menatap dingin Wio yang bertindak seakan-akan dia adalah korban.
"Kami mengenal Nia, Wio. Jika dia menampar seseorang, dia pasti punya alasan mengapa dia melakukannya," kata Wursi.
"Mengingat kau selalu berusaha mendekatinya membuatku tahu siapa yang bersalah. Apa yang kau lakukan kepada Nia?" Lana menatap penuh selidik.
Ditatap dengan tatapan kurang mengenakkan membuat Wio akhirnya jujur. "Baiklah, ini salahku. Aku mencium tangan Nia padahal tadinya aku ingin memijitnya."
"Senang mendengarmu mengaku," sahutku sarkas. Wio mencuramkan alis dan mendengkus, lalu bangkit untuk pergi ke toilet lagi.
"Dia tidak mengapa-apakanmu, 'kan?" tanya Lana saat aku bangkit untuk bersiap menyetir lagi.
Aku mengangguk.
"Ayo, masuk ke mobil. Sebentar lagi malam, perjalanan kita masih jauh," ajak Nia. Wursi dan Lana mengangguk, lalu masuk kembali ke dalam mobil.
Aku tidak masuk, aku menunggu Wio keluar dari toilet. Mendadak aku ingin kencing setelah meminum habis air mineralku, kurasa itu respons tubuh yang biasa.
Wio keluar dengan rambut basah. Kami sempat bertatapan sampai Wio melewatiku dan masuk ke dalam mobil.
Aku pun masuk ke toilet dan keluar lagi. Aku membuka pintu pengemudi dan duduk di sana.
Menekan kopling, aku memindah tuas pemilih. Mobil pun maju dan aku menaikkan kecepatan.
***
Sudah jam 6 sore saat aku dan yang lain sampai di Tenggarong. Lampu-lampu di semua gedung menyala terang menyinari jalanan. Pohon-pohon besar menghiasi pinggir trotoar, di samping trotoar itu, sungai Mahakam yang dibelah oleh pulau wisata kecil bernama Kumala mengalir tenang di bawah jembatan penyeberangan.
Jalanan ramai dengan mobil dan motor. Klakson bersahut-sahutan saat lampu lalu lintas berubah kuning. Aku melaju lincah dan berbelok ke suatu jalan. Di jalan itu, ada sebuah hotel sederhana yang nyaman. Aku dan lainnya akan menginap di sana.
Aku memarkirkan mobil di tempat parkir. Wio, Wursi, dan Lana menoleh ke sana-sini, bingung karena aku menepikan mobil.
"Yah, aku tahu apa yang kalian pikirkan. Kita berangkat terlalu siang, jadi kita kemalaman dan aku juga harus istirahat," kataku sambil melepas sabuk pengaman. Aku meregangkan otot sesaat sebelum keluar untuk mengeluarkan beberapa barang.
"Keluarlah. Kita akan menginap semalam di hotel ini."
Bukan Wio, bukan Wursi, bukan Lana, mereka terbelalak dan tersenyum senang. Mereka akan menginap di hotel, maka dari itu mereka bergegas keluar dan mengambil barang-barangnya.
"Jangan dikeluarkan semua! Besok kita masih ada perjalanan." Aku memperingatkan.
"Iya, iya!" sahut mereka bertiga, bersamaan.
Aku tersenyum sekilas sebelum masuk ke dalam hotel. Resepsionis laki-laki menyambutku dengan ramah--aku merupakan penginap setia hotel itu--lalu menebak kamar yang ingin kupilih.
Sayangnya, tebakannya yang selalu benar itu kusalahkan. Terlebih tiga teman laki-lakiku masuk dengan tas di masing-masing punggung.
Resepsionis laki-laki muda di depanku mulai menatapku, ambigu.
"Kalian akan menginap bersama? Apakah kalian berkeluarga?" tanyanya yang membuat senyum senang Wio, Wursi, dan Lana luntur.
"Mereka temanku," jawabku. "Kami akan pisah kamar."
"Ah, baguslah. Kami tidak bertanggungjawab jika kau di .... Kau tahulah." Lelaki itu berdehem tidak nyaman.
Aku paham. "Tiga kamar."
"AC atau kipas angin?"
Aku melirik ketiga teman lelakiku. Mereka menggerakkan mulut, tidak mengeluarkan suara, tapi aku tahu apa yang mereka ucapkan. "Kipas angin."
"Toilet di dalam atau di luar?"
"Di luar, di dalam bau." Aku baru saja menjawab saat Lana mendahuluiku.
"Baiklah." Resepsionis muda itu mengeluarkan benda penggesek kartu kredit. "Berapa malam?"
"Satu malam berapa?" tanyaku.
"400 ribu." Terjangkau, batinku.
"Baiklah, tiga kamar, satu juta dua ratus ribu." Aku mengeluarkan selembaran merah dari dompetku. Baru saja hendak memberikan, Wursi menepis tanganku dan mengeluarkan 500 ribuan yang didominasi uang berwarna biru daripada merah.
"Aku lima ratus, awak tujuh ratus," katanya.
Baiklah. Uangku aman.
"Tambahan dariku: seratus ribu." Wio mengeluarkan uangnya. Aku tidak dapat mencegah mereka mengeluarkan uangnya, aku juga butuh uang untuk membeli makan.
Setelah dibayar, barulah kami ke kamar dipandu resepsionis laki-laki tadi. Wio menyenggolku berkali-kali, melayangkan tatapan berkabutnya kepadaku, pertanda dia ingin aku satu kamar dengannya, tapi aku berada di kamar satunya sendirian.
Menyerahkan kunci, resepsionis itu pergi dengan kaleng semprotan pengharum ruangan dan pembunuh nyamuk. Aku berada di kamar paling ujung, Wursi dan Lana di kamar tengah, dan Wio di kamar paling ujung di sisi lain.
Setelah berberes, kami keluar. Sekoloni cacing dalam perut minta diberi makan. Kami harus memberinya asupan.
Kami pulang dengan beberapa bungkusan nasi serta lauk. Kami memakannya setelah sampai di kamar, lalu membereskannya dan bersiap untuk memejamkan mata karena kelelahan perjalanan jauh.
Tidurku nyaman-nyaman saja sampai seseorang mengetuk pintuku. Aku bangkit dan membukanya, terlihat Wio dengan bantal di pelukannya.
"Aku ingin tidur dengan-"
Aku menutup pintu dan menguncinya. Wio tidak pernah paham, jika di hotel ataupun di penginapan mana saja, seorang gadis dan lelaki tidak boleh berduaan di dalam kamar jika mereka bukan pasangan suami-istri.
Terdengar langkah menjauh, dan aku kembali ke kasur. Aku baru saja memejamkan mata dan kali ini aku bangkit penuh emosi karena terdengar ketukan lagi.
Aku membuka pintu dan berucap setengah berteriak. "Wio, sudah kubilang aku tidak mau-"
"Wio?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top