༄ Четвертая страница ༄

Kamu dibangunkan oleh suara nyanyian Natal dari Radio dan teriakan bibimu di ruang tengah.  Meskipun kamu bangun dengan cara yang agak ekstrim, tapi dalam hati kamu bersyukur hari ini hari natal. Setidaknya dengan begini kamu bisa beristirahat dengan tenang sambil menikmati makanan-makanan yang disajikan di atas meja. Bibimu tidak menggelar pesta besar-besaran seperti keluarga lainnya, dia hanya memasak untuk jatah makan dua orang. Konflik antara bibimu dengan keluarga lainnya bukan rahasia umum, tapi kamu mensyukuri hal itu. Setidaknya bagimu, natal bukan jadi ajang pamer prestasi. 

"Kemarin kamu yang menggeser meja ke depan pintu ya?" Tanya Bibimu

Kamu mengangguk. Menelan makanan di dalam mulut sebelum menjawab pertanyan dari Bibimu.

"Kemarin aku ke Perpustakaan, lalu lihat di koran ada mayat Perempuan yang ditemukan di jalan. Sepertinya lagi rawan, jadi aku tarik untuk jaga-jaga." Jawabmu

Kamu menegak air sebelum melanjutkan ucapanmu, "Apalagi bibi sudah tua, aku kan khawatir jika terjadi apa-apa."

"Bicara sekali lagi, tidak ada jatah ayam panggang untukmu." Ancam bibimu.

Kamu tertawa masam. Bibimu menggelengkan kepalanya, memberikan potongan besar Ayam panggang ke piring kosongmu. Sepertinya mood nya sedang baik. Dia bahkan meletakan pohon natal berukuran tiga puluh centimeter di ruang tamu. Radio juga dinyalakan, dengan lagu-lagu bertema natal yang sedang diputar. Suara di flat bibimu hanya suara radio dan dentingan sendok serta garpu. Tidak ada lanjutan dari percakapan kalian berdua, pun tidak ada juga yang ingin melanjutkan. Kalian berdua hanya diam dan menikmati sarapan.

Bibimu tidak membawa topik tentang Fyodor. Padahal kemarin dia yang meminta Fyodor untuk pergi mencarimu. Mungkin saja Bibimu lupa, tipikal bibimu yang sekali minta bantuan langsung lupa. Atau mungkin saja dia sedang tidak ingin membahasnya. Kamu pun begitu. Kalau Bibimu bertanya kamu akan pura-pura tersedak agar tidak ditanya lebih lanjut. Meskipun nanti kamu akan digeplak karena tidak makan dengan benar, setidaknya lebih baik daripada menjawab pertanyaan seputar teman masa kecilmu.

"Ada apa denganmu dan Fyodor?"

Kamu tersedak—benar-benar tersedak karena terkejut akan kebetulan yang aneh ini. Bibimu berdecak, memberikanmu satu gelas penuh air hangat. Kamu menerimanya dengan sukahati. Entah kenapa belakangan ini kamu sering sekali tersedak.
Kamu meminum airmu sampai habis, mengeluarkan suara aneh untuk memastikan  tidak ada lagi makanan yang menyangkut di kerongkonganmu. 

"Kenapa bibi bertanya itu?"

"Semalam kau menangis kan? Kenapa? Ditolak?"

Perkataan bibimu selalu menusuk hati. Meskipun itu bukan alasannya, tetap saja mendengarnya membuatmu mau menangis lagi. Tapi kamu tidak ingin membuat bibimu khawatir, jadi kamu menarik nafas dalam-dalam agar air mata di ujung matamu tidak turun. Bibimu menaikan alisnya melihat tingkah anehmu. Meskipun bibimu tahu kamu selalu aneh setiap harinya, tapi keanehanmu yang kali ini dia anggap sebagai kejanggalan. 

"Aku tidak ditolak. Aku saja belum pernah menyatakan perasaanku." Jawabmu, melanjutkan sarapan pagimu seolah tidak ada apa-apa.

Bibimu mengangguk mengerti.
"Kalau begitu bisa bawa makanan ini ke rumahnya?"

Kamu menghentikan kegiatan mengunyahmu, menatap bibimu dengan alis terangkat.

"Hah?"

"You heard me [Name]" 

Bibimu mengangkat dagunya, menunjuk satu box berisi makanan natal. 

"Bawa itu ke tempatnya setelah kamu selesai makan."

✧˖*°࿐

Kakimu bergetar.

Bukan karena kedinginan, bukan karena kamu menahan hasrat ingin buang air, bukan karena kelelahan. Ini karena kamu ketakutan. Padahal biasanya kamu melenggang masuk tanpa ketuk pintu, tapi sekarang memencet bel tempatnya saja kamu ragu-ragu. Kamu ingin meninggalkan box di depan pintu lalu kabur, tapi kamu yakin geplakan bibimu menunggu jika benar hal itu kamu lakukan. 

Tiba-tiba saja pintu kediaman Fyodor terbuka. Si empunya rumah keluar dengan tangan bersilang di dadanya.

"Kamu terlihat seperti Pencuri mondar-mandir dengan box sebesar itu." Ucapnya.

"....Hahaha...." Kamu tertawa gugup.

Fyodor membuka pintunya lebih lebar.
"Masuklah."

Kamu menuruti ucapannya dan masuk ke dalam rumah minim cahaya tersebut. Fyodor menutup pintunya sesaat setelah kamu menjejalkan kaki ke dalam. Matamu menerawangi rumah yang tumben-tumbennya dalam keadaan bersih, padahal minggu lalu rumah ini tidak jauh beda dengan sarang tikus. Entah apa yang merasuki seorang Fyodor untuk membersihkan rumahnya. 

Ah, mengingat perihal minggu lalu kamu jadi merinding. 

"Apa itu dari bibi?" Tanya Fyodor, menunjuk box yang kamu bawa sedari tadi

"Ah? Eh—iya. Bibi menyuruhku untuk mengantarnya."

"Hmm.... Terima kasih."

Box di tanganmu berpindah ke tangan Fyodor. Kamu memperhatikannya pergi ke dapur dengan perasaan campur aduk. Kamu ingin cepat-cepat keluar dari rumahnya lalu tidur atau menghabiskan waktu mengeruk salju. Setidaknya untuk saat ini—kamu sedang tidak ingin berada di dekatnya. Tidak dengan perasaan gundahmu. Perasaan ingin menyalahkannya namun percaya kepadanya di saat yang bersamaan. Perasaan ini membuatmu sakit, membuatmu tidak bisa lagi memilah dengan benar karena kecurigaan.

"Kau mau teh?"

Kamu menoleh ke arah dapur tempat suaranya berasal. Dengan senyuman paksa menjawab iya. Meskipun sebenarnya dalam hati ingin menolak tawaran baiknya supaya tidak lama-lama berada disini. Tapi kamu tahu Fyodor, dan Fyodor pun tahu kamu. Kamu yakin dia akan curiga jika dengan ogah-ogahan kamu menolak. Jadi kamu mengikuti alurnya, kamu akan pulang saat situasinya sudah tepat.

Fyodor kembali ke ruang tengah dengan nampan beserta dua cangkir teh di atasnya. Dia meletakan salah satunya di hadapanmu sebelum duduk dengan kaki bersilang di sofa seberangmu.

"Apa terjadi sesuatu?" Tanya Fyodor

"Apanya?" Kamu bertanya balik

Fyodor meletakan cangkir tehnya sebelum menjawab pertanyaanmu.
"Mukamu. Dari kemarin sejelek jeruk busuk."

Kamu mendecak sebal. Sedang tidak mau adu mulut, jadi kamu diam dan menyeruput tehmu. Fyodor menghela nafas pendek. Tangannya kembali ia lipat di depan dada.

"[Name], apa yang ada di pikiranmu huh?"

"Bukan apa-apa,"

"Spit it out." Ancamnya

Kamu menegak teh yang tiba-tiba terasa pahit. Pandangan Fyodor membuatmu ciut. Kamu pun melakukan hal yang sama dengannya, meletakan cangkir teh ke meja. Setelah satu tarikan nafas kamu pun mulai berbicara.

"Kemarin aku melihat koran.... Ada berita tentang seorang perempuan meninggal tanpa sebab di jalan. Wajahnya rusak tapi tidak ada tanda-tanda kekerasan atau pun benda tajam. Rusak begitu saja.... Seperti meledak dari dalam...."

"Lalu aku sadar perempuan itu.... Perempuan satu malammu tempo hari."

Fyodor tertawa, "Kamu mencurigaiku [Name]? Sungguh?"

Kamu cepat-cepat menggeleng.
"Bukan itu maksudku! Aku hanya—aku takut!"

"Takut kepadaku? Karena itu kamu daritadi terus-terusan terlihat seperti ingin keluar dari rumahku?"

"Sudah aku bilang bukan itu!"

Fyodor tertawa. Tawanya bukan tawa ringan seperti biasanya. Dia tertawa seperti mengejek dirimu yang ketakutan. Kamu yakin ada cerita mengenai seorang penjahat yang menertawai nasib protagonis. Kamu merasa seperti itu sekarang. Nyalimu makin ciut ketika Fyodor berpindah posisi untuk duduk di sebelahmu. Satu tangan menumpu kepalanya sedangkan tangan satunya berhenti beberapa centimeter di dekat tanganmu.

"Apa kamu takut aku akan membunuhmu [Name] yang malang?"

Kamu berdiri dari sofa, mundur beberapa langkah menjauh dari Fyodor. Iris violetnya menatapmu yang melangkah mundur teratur seperti sedang melihat pertunjukan sirkus. Dia terlihat sangat senang melihatmu ketakutan. Dan kamu, meskipun sudah memberikan jarak, tetap saja merasa terancam.

“Kamu tidak membunuhnya kan?” Tanyamu sekali lagi dengan suara lirih.

Mulut Fyodor melebar membentuk sebuah senyum. Bulu kudukmu berdiri. Kamu berusaha untuk mengatur nafas, mendoktrin dirimu, meyakinkan dirimu kalau semuanya tidak apa-apa. Tapi jawaban Fyodor mengejutkanmu.

“Tidak semua orang terlahir sepertimu, [Name].”

Kakimu kehilangan tenaganya. Kamu terjatuh di lantai dingin rumah Fyodor. Si empunya rumah hanya menatapmu dari sofa, tidak memberikan reaksi apa-apa pun, kamu tidak mengharapkannya melakukan sesuatu.

“Kenapa....?”

“Bukannya seharusnya kamu lari [Name]?”

Fyodor berjongkok di hadapanmu. Kalian saling menatap. Fyodor kembali menarik bibirnya membentuk senyuman. Tangannya menarik ujung rambutmu, memainkannya sambil bersenandung ringan. Kadang kamu takut akan dirinya. Kamu tidak pernah berhasil membaca Fyodor, tapi dia, dengan mudahnya dapat membacamu. Kadang kamu takut akan ketenangan darinya.

I shouldn't have loved you.... Loving you.... It always have been a mistake.” Bisikmu

Fyodor mengangkat alisnya.
I never asked you to.”

Ingin kamu menamparnya. Tapi tubuhmu seperti tidak memiliki energi. Di hadapanmu ada seorang pembunuh yang sepertinya dan seperti tidak akan membunuhmu. Dia seperti memancingmu—tapi kamu tahu, jika terpancing itu akan menjadi kekalahanmu.

Kamu ingin meneriakinya untuk pergi menjauh, kamu ingin mendorongnya, kamu ingin lari, ingin segera pergi dari tempat ini—dari Fyodor. Kamu ketakutan. Entah sudah berapa kali kata ketakutan dipakai. Bahkan sepertinya ketakutan pun tidak cukup untuk menggambarkan perasaanmu saat ini.

Beruntung kamu bisa memakai tembok sebagai sandaran untuk berdiri. Kamu mendorong Fyodor dengan kaki yang masih dibalut sepatu lalu berlari keluar tanpa sekali pun kembali menoleh ke rumah teman masa kecilmu.

✧˖*°࿐

Maya Rambles 🖋️

Hello hello! Akhirnya aku bikin author note tidak seperti chapter-chapter sebelumnya hwhwhw.

Di author note ini aku mau bilang kalau Cerita ini tinggal 2 chap lagi sebelum ending ;) yes thats it. Thats the note.

Oh, aku juga mau mengingatkan kalo feeling [Name] di cerita ini  agak toxic alias gak baik buat kalian untuk suka sama satu orang tanpa liat baik buruknya.  Chap ini bisa dibilang chap tamparan buat [Name] karena akhirnya dia buka mata walaupun apda akhirnya she fall over him again ¯\_(ツ)_/¯

Then again, cerita ini fiksi jadi tolong jangan di realisasikan di dunia asli ya readersku tersayang :D

See you again sometimes!

Your honorable awkward author;
Maya Andrea

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top