Sudah Basi

"Kamu tahu, kan? Tujuanku itu baik, memang aku suka ngomel. Pasti telingamu juga panas, pasti kamu juga mengutuki aku, tapi mau bagaimana lagi? Ini demi kamu. Hey! Kamu dengerin aku gak sih?"

Bahuku diguncang dengan tenaga super yang tidak sebanding denganku, alhasil tubuh ini mirip dengan squishy lembek. Aku berusaha melepaskan genggaman tangan yang bersarang di bahuku.

"Duh! Aku dengerin kok. Baru tahu deh, punya editor super rewel, bawelnya tiada tara," aku berdecak kesal, "biasanya editor tuh ngomelnya cuma tentang cerita. Gak kayak kamu ini, ngomelnya merambat ke mana-mana, sampe masalah cintaku ikutan dibahas."

"Masalahnya kamu yang sekarang tuh udah basi. Hidupmu dulu sama sekarang tuh udah beda. Aku ini editormu dari awal kamu debut loh. Tulisanmu dulu memang mentah banget, belum diasah, tapi perasaanmu tulus. Aku bisa ngerasain. Nggak kayak sekarang, semenjak kamu cuma fokus sama nulis, hidupmu basi. Kamu pasti tahu, kamu yang dulu tuh ceria, suka dandan, suka rawat diri amit-amit kali punya kantung mata, belum lagi suka ngemall, intinya hidupmu tuh punya cerita. Tipikal cewek idaman yang hobi nulis, terlalu sempurna. Lah sekarang? Kayak zombie berjalan. Aku yakin, pasti kamu jarang mandi, kan?"

Aku menyeruput dolche mocha frappucino yang sudah tidak dingin lagi. Rasanya tidak seenak tadi, tapi masih better untuk dinikmati. "Terus apa hubungannya sama kehidupan cinta? Sejauh yang aku inget ya, genreku itu misteri. Bukan romansa loh, Bu Editor," ucapku sarkas sembari memainkan sedotan.

Wajahnya terlihat kesal, desahan napas panjang juga dengan sengaja dia keluarkan. Tandanya dia sudah jengah pakai banget. "Kamu gagal ciptain suasana untuk tokohmu, Sya. James itu naksir sama Paula? Tapi dia itu kayak cowok penggoda jago gombal. Si Paula juga cuma kayak orang yang iya-iya aja."

Aku mengangguk. "Tapi itu cuma bumbu."

"Meskipun cuma bumbu tetep harus diperhatiin, Sya. Kamu tahu selera orang soal roman tuh gak bisa diremehin. Dialog mereka tuh kayak dibuat-buat. Gak dapet banget feel-nya. Itu kayak cuma nemplokin kata-kata menye tapi gak ada aksinya. Basi! Udah gitu dialog mereka semua tuh kayak robot, kamu tuh gak pernah berinteraksi lagi ya selain sama aku?"

"Itu tuh bukan inti cerita! Paling kamu aja yang sengaja cari-cari kesalahanku," bentakku masih dengan volume yang dijaga. Tidak lucu menjadi bahan tontonan satu kafe. Aku kembali menyeruput minuman bergelas plastik itu hingga habis dan meletakkannya kasar. Maunya sih kubanting, tapi aku masih tahu diri.

"Capek tahu gak sih? Ngasih tahu orang yang bebal. Kamu tuh udah berubah, gak kayak Thasya yang aku kenal. Bukan Thasya yang punya banyak cerita dalam hidupnya. Cuma seseorang yang menulis demi memenuhi hidup. Bukan Thasya yang menulis tentang hidupnya. Penulis tuh juga butuh dunia luar, bukan cuma risetnya aja." Kak Retha mendorong meja pelan. Tangannya mengambil tas hitam yang dia letakkan di kursi sebelah. "Aku pulang. Kirim aja naskahmu. Sorry ya, kalau punya editor yang ikut campur. Kayaknya aku bakal bilang Bu Tuty buat ganti editor kamu. Kita udah gak sejalan."

Tubuhnya semakin menjauh dariku, pergi ke luar kafe. Aku tahu dia pasti sangat kesal denganku.

Aku masih ingat bagaimana aku sampai di posisi ini. Menulis itu hanya hobi mendadak yang terlihat menyenangkan. Konyol, dulu tujuanku menulis karena aku suka tapi semakin lama, ambisi itu semakin menguasaiku. Tiba-tiba saja aku sudah menjadi artis wattpad, dan penerbit SukaMedia menawari untuk menerbitkan novelku. SukaMedia itu penerbit mayor paling beken di jaman itu, bahkan sampai saat ini. Bukan penerbit ecek-ecek yang menerbitkan cerita sembarangan. Aku pun meski senang ... revisi yang tiada tara itu bikin pusing. Kak Retha, orang yang tadi mengomel, terus mendukungku. Dari dulu, dia memang suka mengomel.

Saat itu, aku juga disibukkan dengan skripsi. Bu Sulis –dosen pendampingku— selalu rewel dan minta untuk revisi. Melakukan dua revisi untuk hal yang berbeda, benar-benar menguras otak. Sebenarnya, setelah wisuda, gelar sarjanaku itu sama sekali tidak berguna. Toh, aku memilih untuk menjadi penulis. Memang beberapa perusahaan menawariku untuk bekerja dengan mereka. Bukannya sombong, aku cukup tahu jika aku ini tergolong pintar. Masa-masa itu, aku melalui banyak hal. Tidak hanya pada impianku, tapi juga keluarga dan pacar.

Hey! Aku masih ingat betapa kagetnya orang tuaku begitu tahu jika anaknya ini penulis. Mereka bahkan bercerita ke sana-sini. Meski mereka masih mendesakku untuk lanjut S2 dan bekerja kantoran. Masa bodoh, aku tidak ingin berkutat di sana. Terus hubungan dengan pacarku –kini sih kupanggil mantan pacar— yang justru memburuk. Begitu lulus, dia memilih melanjutkan S2 di Taiwan. Sialnya, aku benci hubungan jarak jauh. Bisa ditebak jika hubungan kami kandas begitu saja.

Bisa kukatakan itu terakhir kali aku menjalani hubungan asmara. Sisanya, hanya dekat biasa. Malah beberapa tahun terakhir ini, aku tidak memiliki teman lelaki. Aku hanya merasa tidak memiliki waktu untuk semua itu. Konyol sih, dulu aku sangat ingin di usiaku yang sekarang itu aku sudah menikah. Namun, sekarang aku hanya memikirkan karirku.

Aku kembali fokus pada layar laptop yang sudah gelap. Sejak tadi aku lupa menggunakanmu. Padahal, tujuanku tadi adalah membahas tentang cerita terbaruku. Ingin meminta masukan Kak Retha, tapi berakhir dengan pertengkaran.

Bukannya tidak setuju dengan ucapan Kak Retha, aku sadar kok. Aku yang sekarang sangat gembel, mirip dengan gelandangan di pinggir jalan. Kaos kedodoran, celana jeans yang sudah lama tidak dicuci, sandal jepit bulukan, rambut ditata seadanya. Beda dengan aku yang dulu. Minimal masih memoles wajah dengan make up tipis.

Aku menekan tombol shut down di laptop, memasukkannya ke ransel bututku. Senyum miris terbentuk di bibirku. "Apa aku semenyedihkan itu?" lirihku.

"Thasya?" Sebuah sentuhan lembut di pundak membuatku mendongak. "Thasya, kan?" ulangnya dengan nada riang. Tidak kenal, tapi tidak asing.

"Siapa ya?" tanyaku hati-hati.

"Tio ini. Gak inget?"

Oh! Pantesan seperti kenal. "Tio? Seriusan? Gila, beda banget. Dulu kayaknya gak gini deh, Tio culun dulu. Eh sekarang dah kayak oppa Korea," candaku, dibalasnya dengan tawa. Tio mengambil duduk di hadapanku, kursi yang tadi dipakai Kak Retha.

"Apa kabar?" tanyanya. "Dah jarang kumpul, ditanyain anak-anak loh. Padahal dulu pas kuliah, kita semua pasti kumpul bareng, kayak gak nyangka bakalan kepisah-pisah."

Ucapannya membuat hatiku teriris. Ada rindu yang menyeruak. "Masih sering ketemu mereka?" tanyaku. Aku masih ingat, dengan mereka, penyebab aku memiliki banyak kisah. Entah itu yang konyol, atau pun menyebalkan.

Tio mengangguk. "Tapi jarang. Cuma beberapa sih, kayak Rea, Yosua, Cika, kadang sama Johan juga. Kalo sama Jeremy, Sony, Fred udah gak pernah, kayak kamu. Gak ada kabar," ucapnya dengan nada bercanda.

"Rea sama Yosua nikah ya bulan depan?" tanyaku basa-basi. Minggu lalu aku dapat undangannya. Kaget juga, hubungan mereka benar-benar langgeng.

Lagi, Tio mengangguk. "Iya, langgeng banget mereka. Padahal aku kira dulu, kamu sama Jeremy juga loh, tapi kalian putus. Dulu kalian berempat jadiannya barengan. Semua ngira kamu sama Jeremy bakal nikah abis lulus."

"Halah, susah tahu LDR itu," kilahku, "kamu sekarang udah pacaran?"

Tio tersenyum penuh arti. Bibir bergerak tanpa suara. Satu nama yang berhasil kutanggap.

"Cika?!"

Tio mengangguk semangat. Memang deh, cinta pada akhirnya disatukan. Padahal dulu, dia tuh kayak cinta bertepuk sebelah tangan. Malah si Cika pacaran sama orang lain.

****

Aku merebahkan tubuh di kasur. Pertemuan dengan Tio tadi membuatku semakin teringat masa-masa kuliah. Ucapan Kak Retha juga, apa hidupku benar sudah basi?

Hidup di apatermen kecil dengan segala keterbatasannya. Menghindari kontak dengan dunia luar, juga teman-temanku. Bahkan aku melewatkan pertemuan keluarga. Makhluk anti sosial.

Aku harusnya bahagia melihat mimpi ini terwujud. Wajah pembaca yang antusias dengan ceritaku, melihat mereka yang kesal dengan tokoh di ceritaku. Harusnya itu cukup. Kenapa sekarang aku merasa ingin menuntut lebih? Tawaran Tio juga membuatku sedikit kepikiran.

Aku kira, menulis sudah cukup bagiku. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluargaku, tabungan orang tuaku, uang sekolah adik-adikku. Sudah cukup, kan?

Tanganku meraih laptop yang tergeletak di sisi kananku. Membaca ulang naskahku, tidak semua, hanya beberapa. Mengingat-ingat bagaimana aku bisa menulis semua ini. Tidak ada satu pun sisi kehidupan yang kualami di dalam sini, murni khayalanku dan hasil riset berhari-hari. Berbeda denganku yang dulu, aku menulis dengan mencuri kisah hidupku, juga kisah orang di sekitarku. Memangnya itu penting?

****

Aku duduk di sebuah kafe, bukan untuk bertemu Kak Retha atau pun menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis. Aku hanya ingin. Menghabiskan waktu untuk diriku sendiri, mungkin sedikit terlambat. Namun, aku sudah memaksakan diri untuk pergi ke salon, merias wajah dengan make up tipis, yah, hanya untuk hari ini. Aku bahkan mengenakan baju baru, bukan kaos dan jeans gembel.

Iced shaken mango yang tadi kupesan sudah datang dengan sepiring kecil brownies cokelat. Aku tersenyum kecil pada waiters yang mengantarkan pesananku, bersamaan dengan datangnya seorang pemuda di hadapanku.

"Thasya, kan? Sudah lama?" tanyanya lembut. Aku mengangguk lalu menggeleng pelan. "Sebentar ya, aku pesan dulu. Kak, saya pesan Choco Chip Mousse sama muffin keju satu ya," ucapnya ke waiters yang tadi mengantar pesananku.

"Baik, Kak," balas waiters.

Pandangan mata pemuda tadi kembali padaku. "Aneh," ucapku, "dibanding memanggil kak, orang lebih suka memanggil mbak. Oh ya, aku panggil Indra, kan?"

"Iya, panggil aja Indra. And then, aku lebih suka menggunakan sebutan yang lebih formal dibanding sebutan yang ... gimana ya mengatakannya. Aku lebih suka panggilan kak, dibanding mas, mbak, cece, koko, atau panggilan lainnya. Itu tuh lebih kerasa tidak membeda-bedakan ras," jelasnya.

Aku tersenyum kecil menanggapi ucapannya. "Unik banget. Oh ya, kata Tio, kamu satu kantor sama dia ya? Satu divisi?"

"Iya, satu divisi, cuma dia kayaknya bakalan naik jabatan deh. Anaknya tekun banget. Kalo kamu tuh temen kuliah dia ya? Kok gak pernah keliatan sih? Soalnya aku kenal juga sama beberapa temennya dia."

Sepotong kecil brownies kulahap. Bingung juga harus menjawabnya bagaimana. Melakukan kencan buta tuh rasanya cukup mendebarkan ya ternyata, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengan lelaki.

"Iya, temen kuliahnya. Aku sih mau jawab pertanyaan kamu dengan alasan aku sibuk nulis, tapi itu alasan banget. Kamu tahu profesiku, kan? Entah juga ya, ada pola pikir yang agak berbeda semenjak aku fokus dengan karirku sekarang."

"Kamu itu penulis Syasya, kan? Aku gak dibohongin sama Tio, kan?" tanyanya bersemangat.

"Iya, tapi jangan bilang siapa-siapa ya."

"Pasti! Aku suka banget loh sama novelmu, aku baru tahu ini dari Tio pas dia bilang kalo Syasya itu temennya. Eh, sekarang malah ketemu langsung, kencan buta pula." Ucapan Indra membuat pipiku terasa panas. Kenapa aku jadi malu-malu begini sih? Diginiin doang sudah tersipu. "Tapi tulisanmu di seri James Paula kok agak kurang ya, Sya? Keren sih, cuma kayak bikin bosen gitu. Kayak kurang nendang. Sorry loh, kalo kesannya sok tahu, cuma mau menyampaikan dari sisi pembaca nih."

Udah gitu dialog mereka semua tuh kayak robot, kamu tuh gak pernah berinteraksi lagi ya selain sama aku?

Tiba-tiba saja, aku teringat ucapan Kak Retha minggu lalu. Benar. Aku ini memang penulis yang merahasiakan identitas, juga tidak membuat forum khusus untukku berhubungan dengan para pembaca. Aku tidak pernah tahu apa tanggapan mereka tentang ceritaku. Mungkin, yang aku tahu hanya royalti yang terus mengalir di rekening tiap bulannya. Picik.

"Sya, kok diem? Kamu marah ya?" Indra bergerak panik dan berusaha menyentuhku.

Aku menggeleng pelan. "Nggak kok, Dra. Cuma omonganmu mirip sama seseorang. Dia tuh kasih tahu aku, kalo aku yang sekarang tuh basi. Kayaknya dia bener, cuma aku yang gak mau ngakuin aja."

"Memang kok, Sya."

Hah? Dia juga ikutan bilang kalau hidupku basi? Baru kenal kok sudah ikutan ngatain orang. Aku harus protes ke Tio kalau kayak gini.

"Kadang hidup itu terlihat baik-baik aja buat kita, rasanya yang kita lakuin tuh udah bener. Tapi orang lain bilang, kalo hidup kita tuh salah. Harusnya kita gak kayak gini. Aku juga pernah ngerasain, Sya. Dulu aku suka ke club, ah sebenernya aku gak mau ngomongin ini, tapi gak apa-apa deh. Memang sih gak ngobat, cuma minum sampe subuh, teler gitu. Aku mikir itu gak apa-apa selama aku gak ngobat juga ngerokok, tapi kamu dan orang lainnya juga tahu kalo itu salah, kan?"

Aku mengangguk menanggapi ucapannya. Ah, aku kira tadi dia mau ngatain hidupku basi, ternyata dia menyetujui ucapanku. Omong-omong, dia beneran suka ke club dulu? Mukanya polos banget loh.

"Hidupku dulu busuk, Sya. Mending kamu dikatain basi," lanjutnya. "Tapi sekarang udah tobat kok. Serius deh."

Aku tertawa pelan menanggapi ocehannya. Jujur saja, aku tidak menyangka jika rasanya akan semenyenangkan ini. Mungkin, aku yang terlalu menutup diri. Padahal, aku bisa bertemu dengan beberapa orang Indra atau yang lainnya jika aku mengunci diri. Benar kata Kak Retha, aku tuh sudah basi.

"Bantuin aku ya, Dra. Biar hidupku gak basi lagi." Indra tersenyum menanggapiku.

****

Tamat

P.S. Maaf ya mau pengakuan dosa dikit, kelebihan 13 word. Khilaf dikit doang, dimaafin kan ya?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top