Rumah Impian

"Apa kamu pikir anakmu nggak nyusahin aku?! Hah?"

"Anakmu juga kerjaannya cuma minta uang! Harusnya dia udah bukan tanggung jawab kamu! Dia udah punya suami! Mending anakku ke mana-mana!"

Mentari menyongsong. Sinarnya pun mulai menyapa kamar seorang gadis 25 tahun. Tubuhnya yang tergolong mungil sedikit bergetar. Nadia mengusap kasar air matanya. Pagi yang indah nan cerah milik gadis itu harus hancur karena suara teriakan yang saling bersahutan. Kompak menyakiti kedua telinganya. Kedua orang tuanya tanpa rasa bosan memperdebatkan hal yang sama.

"Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?" lirik Nadya.

Gadis berkulit kuning langsat itu menegakkan tubuhnya. Matanya memandang sendu pintu kamar bercat cokelat itu. Suara-suara menyakitkan itu masih menggema. Nadya berulangkali mengembuskan napas kasar. Ia membuka kasar pintu kamarnya.

"Kalau cuma ribut gini tiap hari, harusnya dulu Bapak nggak usah nikah lagi," Nadya melirik malas sosok wanita di samping ayahnya. "Dan untuk Budhe ... jangan dipikir aku nggak tahu Budhe suka ngomongin aku dari belakang ya. Aku tahu semuanya!"

Sepasang suami istri itu bungkam. Sang ayah mendekati Nadya. Wajahnya menyiratkan raut penyesalan. Ia meraih lengan Nadya, tapi gadis itu langsung menepisnya pelan.

"Udah ah, Pak. Aku mau jualan dulu. Doain laris ya."

Nadya melenggang pergi. Meninggalkan sang ayah yang kembali terselimuti rasa bersalah dan ibu tiri yang menunduk malu.

****

Suara nyanyian berirama sumbang diiringi oleh lagu dari ponsel menggema di sebuah rumah minimalis. Hal itu mampu membangunkan para tetangga yang masih asyik menyelami alam mimpi.

"I'm so sick of this fake fake love fake love. I'm so sorry but it's fake love fake love fake love,' senandung Nadya sembari mengepel lantai. "I wanna be a good man just for you. Sesangeul jwossne just for you. Jeonbu bakkwosseo just for you."

Nadya tak peduli jika suara emasnya mampu memecahkan gendang telinga tetangganya.

"Woi, Nad. Kecilin suaramu. Aku baru tutup warung jam 4 subuh tadi."

Nadya tak acuh. Suaranya makin menggelegar hingga seseorang yang tidur di rumah sebelah terpaksa menutup kedua telinganya.

"Bodo amat, Mas Nasgor ... aku lagi pengin ngeluapin emosi," gumam Nadya.

For your information, lokasi tempat berjualan Nadya adalah kawasan para pedagang makanan. Nadya sendiri adalah seorang penjual soto.

Pendapatannya pun terbilang lumayan. Jika sedang laris, gadis itu bisa meraup untung hingga tiga ratus ribu per hari.

"Why you sad? I don't know nan molla. Useobwa salanghae malhaebwa," Suara Nadya semakin menggema mengikuti rapping yang dibawakan idolanya, "Nareul bwa najochado beolin na. Neojocha ihaehal su eopsneun na. Nachseolda hane."

Nadya tersenyum evil saat mendengar suara pecahan gelas dari arah rumah tetangganya. Ia yakin seseorang tengah membanting gelas.

****

Nadya menghitung puluhan lembar uang 50 ribuan yang ada dalam dompetnya. Hari ini pendapatannya lumayan. Nadya berniat untuk menutup warungnya lebih awal.

Helaan napas kasar keluar dari bibirnya kala kekecewaan datang melanda.

"Kalau masih segini gimana aku bisa beli rumah?"

Ia muak jika harus mendengar hinaan dari ibu dan saudara tirinya. Rumah yang sekarang ia tempati bukanlah miliknya, melainkan milik ibu tirinya.

Selama 5 tahun belakangan ini, ia membanting tulang agar impiannya tercapai.

"Mana uang di ATM juga masih kurang."

Nadya memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet lagi. Jalan raya yang tampak lebih ramai dari biasanya. Alunan lagu berjudul Tears dari BTS terdengar menemani gadis itu.

Dulu saat ibu kandungnya masih ada, hidupnya masih berwarna. Namun kini hidupnya suram, apalagi semenjak kehadiran ibu tirinya.

****

Sore yang melelahkan kembali dialami Nadya. Semenjak pertengkaran terakhir kedua orang tuanya dua minggu yang lalu, Nadya memang tak mendengar teriakan yang saling bersahutan.

Namun hal itu tak mampu membuat hati Nadya membaik. Ibu tirinya detik ini kembali membuatnya emosi.

"Anak tirimu belum pulang, Mak?" Samar-samar Nadya mendengar suara yang tak asing baginya.

Kakak tiri laki-lakinya kembali datang ke rumahnya. Nadya berdiam diri sejenak di balik tembok dapur. Ia ingin mengetahui sejauh mana ibu tirinya menjelek-jelekkannya.

"Nggak tahu. Lagian aku nggak peduli. Anak nggak tahu diri kayak dia mana pantas dipeduliin."

Nadya memejamkan matanya. Hatinya seakan tersayat. Telinganya terasa panas mendengar ucapan dingin itu.

Meski sudah terbiasa mendengar hinaan itu, tapi Nadya tak bisa meredam rasa sakit yang tak henti datang menyiksa hatinya.

Nadya memilih memutar arah. Ia berbalik, lalu melangkah kembali keluar rumah.

Malam ini Nadya akan memilih tidur di warungnya. Lagipula sudah memberi kabar pada ayahnya.

****

"Jadi kamu nginep sini karena ibu tiri kamu lagi?"

Malam ini Nadya menceritakan keluh kesahnya pada seorang pemuda, namanya Yusril. Gadis itu sesekali menyeka air matanya yang menetes dengan kasar. Beruntung bagi Nadya, warung tetangganya ini sedang sepi. Sehingga ia bisa bebas bercerita.

"Sabar aja, Nad. Suatu saat ibu kamu itu pasti akan sadar akan kesalahannya. Jangan coba melawan. Biar bagaimanapun Beliau lebih tua dari kamu."

Ini cowok kadang juga bisa bijak gini ya? Nadya diam-diam memuji sifat Yusril. Senyum tipis terbit di bibirnya hingga pemuda itu tak menyadari.

"Oh ya, Nad. Aku ada temen yang jual rumahnya. Kamu mau nggak? Aku bakal bantu kamu biar ada potongan harganya."

Nadya refleks menatap pemuda itu. Ada harapan yang begitu besar tersirat pada kedua manik miliknya.

"Rumahnya sederhana sih. Tapi nyaman kok. Kamarnya aku lihat ada tiga," jelas Yusril. "Harganya bisa ditawar. Kemarin aku nanya harganya 88 juta. Kamu minat?"

Wajah Nadya semakin sumringah mendengar nominal uang yang disebutkan Yusril.

"Aku minat, Mas. Kapan Mas Yusril mau nganter aku?" tanya Nadya antusias.

Pemuda asal Madura itu tampak berpikir. "Gimana kalau besok lusa? Kebetulan aku nggak jualan."

"Terserah Mas aja. Nanti aku bilang ke Bapak sama adikku."

****

Seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan sepatu pantofelnya berjalan santai memasuki sebuah halaman rumah. Sebuah tas bertengger di punggungnya.

"Assalamu'alaikum, Mbak?" seru gadis itu.

Suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Gadis itu pun tersenyum tipis.

Cklek

Nadya menatap kaget sosok gadis di hadapannya. Tanpa pikir panjang ia langsung memeluknya.

"Kenapa nggak bilang kalau mau pulang, Na?" tanya Nadya di sela pelukannya. "Kan Mbak bisa jemput."

"Sengaja, Mbak. Soalnya aku seneng pas Mbak bilang udah nemu rumah yang nyaman dan murah buat kita," balas gadis itu.

Ratna Kumala, adik satu-satunya Nadya memang tinggal terpisah dengannya. Ia terpaksa tinggal di mess tempatnya bekerja sebagai marketing di toko emas karena di luar kota.

"Ya udah masuk dulu. Bapak lagi tidur di kamar."

Ratna mengangguk. Ia segera masuk, lalu duduk di sofa tanpa melepas sepatunya. Matanya berpendar. Mengamati rumah ibu tirinya yang terbilang sederhana.

Sebentar lagi, Budhe nggak akan bisa nginjek-injek harga diri keluargaku lagi! Retno tersenyum puas.

"Udah lama, Nduk?" Retno terperanjat.

Ia mendapati ayahnya sudah duduk di sampingnya. Nadya sendiri sedang di dapur untuk memasak.

"Mungkin 5 menitanlah, Pak. Gimana, Pak? Sehat kan?"

"Alhamdullilah sehat, Nduk," Ayahnya menjawab singkat. "Oh ya ... besok mbakmu mau lihat rumah baru kita. Mau ikut?"

"Iya, Pak. Sekalian aku juga bantu bayarnya. Kebetulan selama kerja, aku sering dapet bonus."

Setelah itu, keheningan menemani keduanya. Semenjak ayahnya menikah lagi, hubungan Ratna dan ayahnya memang menjadi canggung. Gadis itu sempat menentang keras pernikahan itu, begitupun dengan Nadya. Namun ayahnya tetap pada pendiriannya.

"Pak, seandainya nanti Budhe mau ikut kita, aku setuju," Ratna menatap ayahnya, "asal dia mau ngerubah sifatnya yang suka menggunjingkan keluarga kita."

Sang ayah membisu. Hal itu membuat Ratna tersenyum miring. Gadis 18 tahun itu dapat menebak bahwa ayahnya tak akan membalas ucapannya.

"Tapi kalau Budhe masih kayak gitu juga, aku sama Mbak nggak akan izinin untuk ikut ke rumah baru," Ratna pun berdiri dari duduknya. "Kalau Bapak yang ikut, aku izinin. Tapi enggak dengan Budhe."

Ratna melenggang pergi meninggalkan sang ayah. Di belakangnya, Nadya tersenyum puas. Ia mengacungkan satu jempolnya pada Ratna.

"Sipp!"

****

"Ini kamar mandinya, Mbak. Nggak besar emang. Tapi bersih kan."

Nadya, Ratna, dan kedua orang tuanya kompak mengamati kamar mandi yang terbilang sederhana. Mereka memutuskan untuk membeli rumah milik teman Yusril dengan uang hasil patungan.

Mereka cukup puas. Apalagi saat Nadya dan Ratna dapat melihat raut tak suka dari ibu tirinya. Dan keputusan akhirnya, rumah baru ini akan ditinggali bersama. Sang ibu tiri mau tak mau harus ikut pindah walau mungkin saja ia merasa malu.

"Kamarnya ada 3," jelas Arif --si pemilik rumah-- "ruang makan bersebelahan sama dapur."

Nadya menggangguk paham. "Kami sudah menyiapkan uangnya, Mas. Sekarang aja gimana? Beserta surat tanah dan pengalihan kepemilikan."

"Kebetulan saya sudah menyiapkan, Mbak."

Pemuda itu pun mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tasnya. Mereka tampak sibuk menandatangani beberapa kertas.

"Ini uang tunainya 40 juta. Silakan Mas hitung ulang. Sisanya biar adik saya kirim lewat rekening Mas."

Ratna mulai mengotak-atik ponselnya untuk mengirim kekurangan pembayaran.

Beberapa saat Arif menghitung uang yang diberikan Nadya. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oke, Mbak. Sudah pas. Mulai sekarang rumah ini menjadi milik keluarga Mbak."

Mereka saling berjabat tangan. Setelah memberi kunci rumah, Arif berpamitan. Sehingga kini hanya tinggal keluarga kecil itu.

"Mulai sekarang, nggak boleh ada yang menghina kita," kata Ratna.

Nadya mengangguk setuju. "Di rumah baru ini kita mulai kehidupan yang baru."

Tak peduli apa pun kata orang, termasuk ibu tirinya. Kini impian mereka telah tercapai. Tinggal nyaman di rumah idaman yang sejak dulu menjadi mimpi terbesar mereka setelah sang ibu meninggal. 

****

Tamat

P.S. 60% kisah nyata, sisanya fiksi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top