PULANG
Di sebuah pulau indah yang sudah kutinggali selama lima tahun terakhir.
Aku berdiri di hamparan pasir putih sambil menatap langit yang berwarna jingga kemerahan yang menghiasi sore itu. Deburan ombak menjadi irama indah yang menemaniku menikmati senja yang tidak pernah terlewatkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini.
Aku menyukai pulau ini, tapi aku juga merindukan kota kelahiranku, dimana aku menikmati masa kecilku hingga menapaki awal kedewasaan. Tapi bagiku, tempatku tinggal saat itu terlalu nyaman sehingga aku merasa sulit untuk berkembang menjadi seseorang yang lebih baik.
Hingga terbesit di benakku untuk berkelana meninggalkan kota kelahiranku. Dan semuanya terkabul saat akhir tahun, tepat di malam tahun baru. Aku untuk pertama kalinya melangkah meninggalkan kota kelahiranku untuk mengejar masa depan yang entah seperti apa. Saat itu aku belum berpikir akan melakukan apa setelah meninggalkan kota ini. Namun tekadku sudah bulat tidak akan kembali sebelum aku mencapai kesuksesan.
"Ayah!" seruan seorang gadis menyadarkanku dari lamunan. Kaki-kaki kecilnya berlari di atas hamparan pasir putih tanpa mengenakan alas kaki. Gadis berumur dua tahun itu terlihat sangat riang.
Aku melebarkan tangan siap menyambut si gadis kecil ke pelukanku.
"Anak ayah kok gak pake sendal?" tanyaku sambil mencupit pelan hidung kecilnya. Ia hanya tersenyum manis.
"Senja, jangan lari-lari, nak!" Seorang wanita dewasa sambil menggendong gadis kecil lainnya berseru sambil berlari-lari mengejar Senja—anak gadis yang berada di pelukanku. Senja berpura-pura sembunyi dengan menempelkan wajahnya ke dadaku.
"Aduh capek banget ngejar-ngejar Senja," keluh wanita dewasa yang kunikahi tiga tahun yang lalu. Namanya Rein, gadis Jepang yang kutemui saat berjalan-jalan menyusuri bibir pantai sambil menikmati senja.
Saat itu Rein terpisah dari rombongannya. Ia yang tidak fasih berbahasa Inggris maupun Indonesia duduk di hamparan pasir putih dengan mimik wajah kebingungan. Dengan sedikit keberanian kudekati gadis itu, untung saja aku sedikit bisa berbicara dengan bahasanya.
Rein sungguh riang akhirnya ada orang yang bisa ia ajak bicara selain rombongannya. Setelah hari itu aku dan Rein semakin intens berkomunikasi hingga akhirnya pada tahun 2020 aku datang ke Negaranya dengan bantuan pemilik resort tempatku berkerja untuk melamar gadis itu.
Rein duduk di sampingku yang baru saja menurunkan Senja dari pangkuanku, gadis itu langsung berlarian kesana-kemari . Rein mengusap rambut Jingga—adik kembar Senja, yang baru saja tertidur.
"Rein kau tau." Rein menoleh ke arahku, menatap diriku dengan khidmat. Aku bersyukur Rein cepat sekali belajar Bahasa Indonesia sehingga komunikasiku dengannya semakin berjalan lancar. "Dulu sekali sebelum aku mengenal pulau ini aku pernah bermimpi, ingin menikahi gadis Jepang. Kukira mimpi itu hanyalah delusi semata, karena jujur saja aku sangat menyukai AKB48."
"Kang, kamu sudah sering berbicara itu padaku. Tapi entah kenapa aku tidak pernah bosan mendengarnya," ia tersenyum manis mendengar ucapanku. Aku menyuruh Rein memanggilku dengan panggilan Kang atau Akang. "Hari ini aku bahagia... bukan, aku sangat sangat bahagia. Memiliki istri baik dan cantik seperti Rein, dan memiliki anak kembar yang cantik-cantik dan manis-manis seperti Senja dan Jingga." Wajah Rein bersemu merah, ia selalu saja begitu meski sudah sering aku gombalin.
"Tapi, ada hal yang masih mengganjal di hatiku Rein."
"Apa itu?" tanya Rein sambil menatapku serius.
"Aku harus pulang, ke tempatku dilahirkan dan dibasarkan. Di pulau ini keinginanku sudah banyak terkabul. Sekarang waktunya aku pulang, mengabdikan diri kepada kedua orang tuaku, membayar semua budi baik mereka. Meski sampai kapanpun kebaikan dan pengorbanan mereka untuk anaknya tidak akan pernah bisa dibayarkan oleh apapun." Rein mengangguk mengerti, esok hari akhirnya aku pulang ke tempat kelahiranku, setelah lima tahun aku merantau ke pulau ini.
****
Setelah perjalanan panjang akhirnya aku mendarat di Bandara Husein Sastranegara. Meski lelah di perjalanan tapi udara di kota kelahiranku ini membuat rasa lelah itu hilang.
Aku terpaksa berangkat ke Bandung terlebih dahulu, karena Rein masih mengurusi beberapa. Suasana di Kota ini tidak banyak berubah semenjak aku pergi, masih sama. Hanya saja udaranya yang lebih panas di siang ini.
Lima belas menit perjalanan menuju hotel tempatku beristirahat, seorang pria berdiri tegap menungguku di lobby hotel.
"Kang Ram?" tanya pria dengan kisaran usia tiga puluhan itu.
"Iya!" jawabku sambil menjabat tangannya yang sejak tadi terulur.
"Saya Andy, yang kemarin menghubungi," aku mengangguk. Ia lalu mengantarku menuju kamar hotel yang sudah dipersiapkan.
"Saya permisi dulu pak, kalau ada sesuatu yang bapak butuhkan, saya ada di kamar 401," ucapnya lalu pergi membiarkanku beristirahat sejenak.
Pulau indah itu benar-benar memberiku banyak berkah. Mimpiku menjadi seorang penulis terwujud. Sudah berkali-kali sebenarnya aku diundang meet and greet ke kotaku, tapi aku selalu menolak dengan alasan kesibukanku menjaga resort yang dititipkan kepadaku setelah pemilik aslinya meninggal dunia.
Agendku hari ini adalah pulang, kembali ke rumah tempatku dibesarkan. Tapi aku masih ragu, apakah mereka bisa menerimaku kembali, atau malah mengusirku. Namun hatiku terus memotivasiku, aku harus pulang!
Setelah mandi dan makan siang yang tertunda, aku memesan kendaraan online. Perjalanan dari hotel menuju rumahku membutuhkan waktu setengah jam jika tidak terhalang macet. Jika perhitunganku benar, aku akan sampai di rumah tempatku tinggal pada saat anak-anak sedang berlatih silat, karena rumahku juga dijadikan Padepokan oleh ayahku.
Rumah dengan pagar oranye itu terlihat ramai, seperti biasanya. Teriakan anak-anak yang penuh semangat sambil memperagakan gerakan silat. Aku berdiam diri di luar pagar yang tertutup, menikmati pemandangan yang sudah lima tahun tidak aku saksikan. Sebenarnya aku merindukan saat-saat aku meneriaki anak-anak karena kesalahan mereka, kadang sedikit jahil memukul pelan anak-anak yang sedang serius berlatih.
"Kak Ram!" seorang laki-laki remaja menyapaku sambil membukakakn pintu pagar. Setelah pagar terbuka, refleks ia memelukku dengan sangat erat. Beberapa anggota menoleh ke arah kami, sebagian besar tidak kukenali wajahnya, hanya satu dua orang yang kukenal.
"Apa kabar, Rey?" tanyaku sambil mengusap rambutnya.
"Baik, kak!" ia melepaskan pelukan, dari sudut matanya terlihat bekas air mata.
Tiba-tiba seorang gadis berlari menubrukku. Ia menangis pelan, dadaku terasa basah oleh air matanya.
"Ara kangen kak Ram!" Setelah itu dua orang lainnya berlari menghampiriku dan ikut memelukku.
"Kalian apa kabar?" tanyaku setelah pelukan mereka melepaskan pelukanku.
"Baik, kak!" jawab mereka bersamaan.
Setelah sedikit berbincang sambil melepas rindu dengan mereka, aku masuk ke dalam rumah. Keadaan di dalam rumah terlihat sepi tidak ada seorang pun yang kulihat, mungkin mereka sedang di luar rumah.
Drrttt... Drrttt... Drrttt...
"Ayah!" Senyuman Jingga terlihat di layar ponselku. Tapi setelah itu wajah Jingga digantikan oleh wajah cantik Rein.
"Kang, besok Rein sama anak-anak nyusulin akang ke Bandung.Urusan di resort sudah rein serahkan ke Kadek." Aku mengagguk menjawab ucapan Rein, "Setelah ini kita bisa memantau resort dari jauh, biar akang tenang gak perlu pulang pergi dari Bandung ke Pulau ini."
"Terima kasih, Rein. Kamu memang tidak pernah mengecewakanku." Rein tersipu, wajahnya merona merah. Setelah membicarakan beberapa hal lainnya, Rein memutuskan sambungan video call meski Jingga dan Senja berebut ingin melihat wajahku.
"Duh, anak hilang udah balik lagi," seorang wanita dewasa berdiri di depan pintu manatapku.
"Teteh!" Aku melangkah mendekati wanita itu, mencium punggung tangannya. Wanita iru kakakku, di belakangnya muncul dua anak kecil, mereka menatapku heran.
"Salam dulu sama Om!" mereka menurut, mendekatiku lalu mencium punggung tanganku, lalu mereka berlarian ke halaman rumah, bergabung dengan anak-anak lainnya yang sedang berlatih silat.
"Teteh apa kabar?" tanyaku. Kakaku sudah berkepala tiga, raut wajahnya semakin terlihat dewasa.
"Teteh baik keadaanya. Kabar kamu gimana, Ram?"
"Aku juga baik, Teh!" jawabku, "Teh, Ram punya rencana tinggal lagi di kota ini. Kalau orang rumah ini gak keberatan, Ram juga pengen tinggal lagi di sini." Aku menyampaikan niatku.
"Teteh gak bisa ngambil keputusan, semuanya bergantung sama Papah, Mamah yang udah Ram kecewain." Aku tertunduk. Sebelum kepergianku, sebuah janji masa depan yang cerah sudah terpampang jelas. Aku ditawari menjadi seorang dosen di sebuah PTS. Tapi jiwa petualangku dan perasaan terlalu nyaman ini membuatku pergi dan memilih jalan yang berlawanan dengan keinginan ayahku.
"Ram tau, Ram udah ngecewain Mamah, Papah. Tapi Ram ingin sukses dengan cara Ram sendiri bukan dengan pemberian orang. Ram sudah sering ngecewain Mamah, Papah termasuk Teteh. Hari ini Ram pulang. Bukan Ram mau mengemis tinggal lagi di sini, tapi Ram hanya ingin berbakti lagi ke orang tua Ram." Kakakku hanya diam mendengar penjelasan panjang lebar dariku.
"Teh, maaf hari ini Ram gak bisa lama-lama. Besok, Ram akan kasih kejutan besar buat kalian," ucapku pamit menuju tempat meet and greet.
****
"Meet and Greet dengan Kang Ram. Penulis buku Best Seller JAWARA." Aku menatap spanduk berukuran sedang yang terpampang di pintu masuk sebuah warung kekinian. Usai sudah acara hari ini yang menjadi kelanjutan kisah hidupku.
Aku berjalan-jalan dengan santai, meski terkadang beberapa orang mendekatiku dan meminta ber-selfie dan tanda tanganku. Dinginnya udara malam terasa menusuk ke dalam tulang, tapi inilah kotaku. Bahkan sang Proklamator pun menjadikan kotaku sebagai kota yang sangat ia cintai. Kutipan kata-katanya selalu terngiang di telingaku.
"Hanya ke Bandung lah aku akan kembali pada cintaku yang sesungguhnya."
Tapi di Pulau itu, dengan nekad aku menjalani kehidupan. Di Pulau itu juga, dengan sedikit keraguan akhirnya aku memiliki orang yang sangat berharga di kehidupanku hingga lahirnya dua malaikat kecil yang lucu dan menggemaskan. Dan di Pulau itu, semua mimpiku terwujud.
****
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top