Juri Tiga
Halo, tidak usah basa-basi. Yang menang nanti tolong chat admin yang masih sadar biar dikumpulin di neraka. Tanggal satu kita udah brieffing ya. Buat keterlambatannya yang sepersekian menit, maafkeun. Janji besok ngulang lagi //dilempar bakiak
PENILAIAN
1. Sudah Basi
Nilai: tujuh koma lima
Komentar: Permasalahan utama cerpen ini hanya pada penyeimbangan dialog dan narasi. Ada bagian yang terkesan seperti biografi, adalagi dialog yang terus mengisi ruang baca hingga seperti skenario naskah.
Sebenarnya bagus, cuma kurang penyeimbangan di sana.
2. The Eyes
Nilai: enam
Komentar: cuma satu: belepotan. Belajar lagi ya, mulai aja dulu dengan konflik yang sederhana. Rangkai dengan kejadian yang ada di sekitarmu, ambil karakter orang terdekatmu, lalu reka ulang dengan imajinasi. Buat segalanya jadi beda meski berangkat dari keadaan yang nyata. Soalnya, waktu baca cerpenmu kemarin, saya melihat masih banyak kekurangan. Dan kamu perlu remed banyak.
Jangan patah semangat! Nulis itu butuh waktu, santai aja. Yang penting ada progress dan setiap menulis, ada perkembangan yang signifikan!
3. Angan yang Berakhir Menjadi Angan
Nilai: delapan koma delapan
Komentar: INI SIAPA YANG NULIS OYYYY?!! GANTUNG BEUT!!
Tapi, gantungnya pas. Konflik utama adalah kebimgangan tokoh utama untuk lanjut studi ke luar negeri, atau tidak. Udah. Dan konflik tersebut dibungkus begitu apik dan mengurasi emosi. Saya sendiri dibuat bimbang, sekaligus paham, dan bersimpati pada tokoh utama. Bahwa mimpi kuliah ke korsel itu impiannya sejak kecil, bahwa ia percaya cita-cita itu harus diwujudkan. Namun di satu sisi, ia terkekang bakti pada orang tua, kesendat restu, dan paradoks akan kenyataan yang tidak berbanding lurus pada keinginan.
Ini yang saya sebut, konflik fokus di satu titik. Sementara adegan-adegan lain hanya jadi pelengkap dan penopang konflik tersebut agar sampai ke konklusi yang diinginkan penulis. Jadi, tidak ada mubazir kata. Dialog pun tidak berhamburan semena-mena. Padat. Kenyal. Dan montok(?)
Cucok lah.
4. My Little Hope (tujuh)
Nilai: tujuh
Komentar: Sebenarnya, pas awal baca ketemu kata 'gadis berhijab' saya udah cringe duluan. Penyakit gini sama kayak penulis yang mau menegaskan kalau tokohnya cantik, ganteng, atau pandai dengan pengulangan deskripsi yang terkesan repetitif.
Konon, kalau mau kelihatan gak mendikte. Penulis harus menunjukkan ke pembaca. Misal, sutradara berkata, buatlah adegan seorang gadis berhijab masuk bandara internasional. Jadi, setting tempat, aktris, kap lampu, pemain figuran, serta angin imitasi dari kipas sate akan membentuk adegan gini: Gadis itu masuk melewati Gate 8. Tersenyum pada satpam yang menjaga pintu masuk sembari mengangguk sedikit. Kain hijabnya terkulai ke depan, yang dengan cepat ia sampirkan lagi ke bahu, sambil memperbaiki posisi tangan pada ganggang koper yang beratnya amit-amit. Demi ketemu idola, cetusnya dalam hati. Apapun akan ia lakukan karena inilah mimpinya dari dulu.
Jadilah sutradara untuk film di kepalamu!
5. Jika Boleh Bermimpi
Nilai: delapan
Komentar: Perlu kontrol untuk membuat kalimat cantik (saya juga sama :v, komen Lyn sama om Adit pedes beut di diksi aing). Terus, cobalah untuk membuat sesuatu yang beda dari ide yang sudah ada. Adegan anak kecil yang sakit, ditinggal orang tuanya kerja sehari-semalam, dan akhirnya meninggal dunia sembari mewariskan buku itu sudah banyak di pasar. Mulai dari film, buku, sampai postingan sosmed.
Saya berharap lebih karena di awal untaian kalimatnya wow sekali. Ternyata masih klise. Tetapi bagus, karena tidak terlalu banyak kekurangan yang berarti. Masih bisa dibaca tanpa bikin mata perih. Dan sejujurnya, cuma perlu peningkatan sedikit biar keren pake banget.
6. Dream
Nilai: delapan koma sembilan
Komentar: INI MANIS BEUT ARRGHHHH!!!
Saya suka kalimat-kalimatnya, ringan, enak diikuti. Kejadian yang diambil murni dari keseharian, begitu pun celetukan isi otak tokoh utamanya. Ampyun, ini kocyag sekaligus meningkatkan selera makan (lha). Malah, saya bisa bilang, ini cerpen Slice of Life terbaik yang pernah saya baca. Tentang capeknya jadi ibu muda, mimpi di masa lalu yang kandas karena ini-itu, serta kehidupan yang berjalan normal, namun masih bergejolak karena adanya sisa-sisa impian tersebut.
Terus, sang suami menghadiahi laptop. Lalu berpelukan. Anaknya cengo, bingung. Itu keren beut. Saya gak nganggep itu picisan kek FTV atau sinetron. Malah, saya nikmatin banget. Sederhana, tapi tenang, dan beneran bikin otak seger. Jadi mau belajar cara bungkus konflik yang sederhana tapi bisa ciamik ke penulisnya deh~
7. Metamorfosis
Nilai: 0
Komentar : endingnya, nak. Kamu selalu mengacaukan sesuatu di ending karena bingung mau mengakhiri apa (ngomong ke diri sendiri)
8. Kemudian (jangan tambahkan dotcom)
Nilai : Tujuh koma dua
Komentar : Jadi gini, saya selalu punya sensitivitas tersendir terhadap cerita yang mendadak banting setir ke arah mimpi. Apalagi tanpa ada samar-samar peringatan, misal, tokohnya orang sakit jiwa sehingga ia tidak bisa membedakan mana realitas mana alam khayal. Jadi, mimpi bisa masuk ke dalam struktur cerita sebagai satu kesatuan yang saling membangun. Bukan tempelan semata. Apalagi jika ditambahkan ketika penulisnya bingung, mau nulis adegan apalagi selanjutnya?
Kalau saya lihat, cerita ini kurang kupasannya. Ibarat bawang, harus dikuliti satu per satu agar bisa sampai ke umbinya dengan tenang dan mantap. Sementara cerita ini masih terburu-buru, ada kupasan yang ketebelan, ada juga yang terlalu tipis. Kurang terkontrol alur ceritanya. Di awal membahas asal-usul sang istri, lalu ke kamar tidur, mimpi, dan pada akhirnya belok sebagai ide menulis. Agak mendadak, tetapi bisa diterima. Dalam artian patok-patok untuk membangun rumah itu sudah jelas, cuma dinding dan desain bangunannya masih kurang rapi untuk dinikmati lebih lanjut.
Meski demikian, saya menemukan kemajuan di tulisan ini. Cuma kurang rapi di penggunaan dialog tag, preposisi, dan kapital (ada materi dialog tag di work Tell Your Opinian oleh akun Montase Aksara, sila cek).
9. Rumah Impian
Nilai: Tujuh koma delapan
Komentar: Santai, ringan, dan sederhana. Sebenarnya bisa lebih didramatisir, dan diminimalisir jumlah adegan yang tayang. Jadi seharusnya bisa memilah, mana adegan yang diperkuat, dan mana yang cuma selewat. Rasanya, cerpen ini kekurangan bumbu. Terlalu banyak paragraf pendek, juga dialog-dialog yang memenuhi ruang baca. Cerita seolah dituturkan lewat cara 'ini lho, kisahnya', bukan dengan cara 'beginilah awal mula aku punya rumah impian, dahulu kala ...'.
Sebenarnya cerpen ini berpotensi keren, kalau mau diendapkan lagi, dan dibaca ulang untuk direvisi sendiri. Saya lihat, yang kurang cuma permainan kalimat, sekaligus memadatkan adegan menjadi satu potong agar tidak tercecer ke mana-mana. Misal, tentang ibu tiri, gunjingan budhe, dan teman Nadya yang bernama Ratna. Soalnya, dari awal, dominan dialog yang menginformasikan 'ini sikapnya bagaimana, ini siapa, ini itu'.
Lain-lainnya, ini bagus. Idenya gak pasaran, dan cara berjuangnya tidak serta merta kejatuhan undian dari langit. Tetapi diusahakan, dan itu memberi motivasi berbeda bahwa mimpi harus digapai sekeras mungkin. Semangat!
10. The Little Dream Comes True
Nilai : Delapan koma dua
Komentar: Alur cerpen ini lambat, tetapi anehnya menghanyutkan. Saya akui, bahwa saya penasaran pada mimpi dan apa yang akan terjadi pada tokoh Aku sewaktu berlibur di korea. Anehnya, semua berlalu dalam atmosfer yang terlalu tenang, dan dalam. Seperti danau yang tidak menimbulkan riak apa-apa, padahal angin berembus begitu keras, dan menggerakkan pepohonan.
Emosi saya dipancing pelan-pelan, dari sebuah pertanyaan, lalu ke perjalanan, dan ambisi serta tekad masa muda. Sebenarnya membosankan, karena terlalu lambat itu. Cuma, karena cerita terus jalan ke depan tanpa diam di satu tempat. Imajinasi saya dibawa berkeliling dan itu bagus untuk meningkatkan semangat baca yang sedikit-sedikit luntur tiap tiga paragraf.
Saran, perkuat lagi karakter Aku. Yak, itu saja.
11. The Base of Future
Nilai: Delapan
Komentar: Ini rapi, lembut, dan menyenangkan untuk dibaca. Ibarat boneka, ia adalah bentuk kelinci menggemaskan dengan senyum-dua-gigi yang menarik untuk dipeluk. Namun, ada sesuatu, yang membuat saya kurang betah membaca. Meski singkat, padat, dan ringan, cerpen ini terlalu monoton karena (jika dilihat dari waktu penceritaannya) hanya berkutat di toko buku. Filler di tengah mengisi hampir separuh cerita dan mencengkeram tulisan dalam biografi-semi-fiksi yang nyaris terasa seperti wikipedia.
Meski demikian, alunan kalimat-kalimatnya asik. Walau agak berlebihan di awal, bagian hujan itu mendapat banyak padanan majas, dan akhirnya tetap disebut 'hujan' oleh penulis. Jadi, untuk saya sedikit mubazir dan rada akrobatik-diksi. Tetapi, serius, itu bagus. Mungkin perlu dikontrol lagi agar kelihatan natural dan tidak terlalu jungkir-balik.
12. My Future
Nilai: Tujuh koma delapan
Komentar: Cerita ini lurus, tidak ada twist, dan yang mengecawakan adalah: tidak membawa pembaca berkelana ke isi pikiran para tokohnya. Katakanlah, si Aku bingung ingin bermimpi jadi apa, kenapa dia ingin jadi programer? Kenapa sewaktu SD terinspirasinya? Lalu, dari mana dia tahu animator itu berasal dari hobi bisa gambar? Bukannya pelukis, atau seniman abstrak yang menggabungkan banyak warna—hanya Tuhan serta pemiliknya yang tahu arti gambar tersebut.
Maksud saya, latar belakang para tokohnya tidak ada. Nyaris nihil. Jadi, ketika mereka bergerak, saya tidak menemukan motivasi. Jiwa mereka lenyap, setiap tindakan mereka kerasa sia-sia. Kegawatdaruratan tugas cerpen seolah menguap tatkala tokoh utama menemukan mimpinya lewat tanya-tanya, bukan hasil olah pikir, kebimbangan, atau sekadar percekcokan batin antara ia, realita, dan orang tuanya. Bukan karena "kata ini ... kata itu ..."
Butuh pendalaman karakter lagi. Terus minimalkan dialog tak penting. Dialog kalau terasa basa-basi bisa di-skip, apalagi tidak membawa tujuan apa-apa. Misal:
"Hai," sapa Pit
"Hai juga," sapa Tary balik.
"Gimana kabar?" Pit menyandarkan kepala di atas tangan.
"Buruk."
"Kok buruk?" Pit bingung.
"Pantatku atit." Tary mengeluarkan raut kesal.
Padahal dialog di atas bisa disingkat:
Pit menyapa Tary, gadis itu membalas. Namun, kedua mata Tary tampak tidak bahagia. "Kenapa?" tanya Pit. "Pantat aku atit," jawab Tary muram.
Lebih banyak menghemat kata dan ruangan (catatan: dialog beneran terjadi di suatu tempat). Jadi cerita tidak terkesan camuh dan membingungkan dengan banyaknya suara yang keluar. Cukup utarakan yang penting, bawa dengan narasi, dan rangkai menjadi keping-keping cantik yang mewarnai tulisanmu. Pasti bagus. Semangat menulis!
13. Welcome My Love
Nilai: Enam koma lima.
Komentar: Melelahkan. Saya tidak tahu kenapa, membaca cerpen ini rasanya kayak nyelam di laut pekat, dan banyak ganggang: to much hambatan. Membuat saya capek membaca dan harus terus maju menerjang semua tanaman itu agar bisa sampai ke tepi. Dan di akhir itu, saya menemukan pantai yang tidak terlalu jelek, juga belum memukau sampai rahang saya jatuh.
Saya setuju dengan Mayang, kebetulan doi ngambil jurusan psikologi. Jelas dia tahu seluk-beluk dunia perkejiwaan tersebut. Membuat cerita tanpa riset itu sangat beresiko, bisa disanggah oleh ahlinya.
Terus, hal lain yang mengganggu adalah pertemuan kedua tokoh yang tampak sinetron, terlalu lurus, dan diselubungi narasi yang kurang padet. Apalagi perkenalan di awal membeberkan biodata tokoh seperti melampirkan CV ke perusahaan tujuan. Kurang natural. Cerita kesannya masih mentah dan butuh pengendapan agar hasil fermentasinya mantap.
Sebenarnya bisa bagus, jika detail, riset, dan cara bertuturnya tidak lebay. Misal, mengulang kata cantik berkali-kali untuk menegaskan paras Alycia. Itu lebay. Kesannya pengarang mau menggarisbawahi itu, meski definisi cantik kita berbeda-beda (misal, bagi beberapa orang Cinta Laura itu cantik, sementara saya lebih memilih Tsubasa Amami). Daripada diberitahu 'cantik', mending tunjukkan, cantiknya seperti apa. Lebih bagus lagi kalau didukung sikap, dan gesture tokoh: misal, Alycia kalau minum air duduk dulu terus memutar kepala botol dengan anggun nan pelan (oke, ini contoh lebay, waks!). Lebih keren lagi, kalau paras cantik itu ternyata punya pengaruh dalam cerita (misal, karena cantik, Alycia merasa lebih percaya diri dan merasa tenang berhadapan dengan pasien mana pun). Gitchu. Jadi, deskripsi bukan tempelan semata, tetapi harus ada maknanya.
Kalau tidak ada, dibuang pun tak mengapa.
Hanya segitu yang bisa saya paparkan.
14. Harya dan Pasien Gila
Nilai: Tujuh koma tujuh
Komentar: Ini cerpen. Saya menikmatinya sebagai tulisan fiksi. Di awal ada konflik tentang pasien gila, lalu cekcok sedikit, kemudian Fidela menyarankan salah satu psikolog untuk meminta pertolongan pada psikiater. Itu keren banget idenya, sumpah. Meski narasinya rada gimana gitu, kurang tegas, terbelit-belit, kadang susah dicermati walau sebenarnya ditulis dengan sederhana. Tetapi saya suka alur ceritanya, dan ending yang kampret itu (mau lebih dramatis dengan pembunuhan atau mutilasi, boleh //dikeplak).
15. Non-stop Dream
Nilai: Tujuh koma enam
Komentar: Cerpen ini punya banyak kemajuan, rapi, enak, dan runut dibaca. Sayangnya tidak berakhir dengan bulat. Alih-alih konflik selesai, yang ada rasanya kayak dipenggal, dan dipaksa menegak kenyataan.
Sisipan berupa catatan itu juga tidak membantu cerita jadi lebih ber'moral'. Kesannya ingin menegaskan saja apa yang ingin dibawa, bukan seperti apa cara membawanya. Ibarat kamu nembak cewek, cuma nyatain suka tanpa diselingi perjuangan. Padahal, cewek lebih suka aksi ketimbang basa-basi. Kalau suka, tunjukkan, beri perhatian, puji dia, ungkap dengan tindakan, dan sampai hubungan tersebut mendapat sinyal hijau: baru nyatakan cinta. Itu akan lebih berkesan ketimbang semua perasaan disodorkan begitu saja di awal sehingga cewek jadi illfeel.
Begitulah cerpen ini (tidak buruk, sebenarnya). Masih butuh polesan, dan adegan yang tajam serta berkesinambungan untuk menopang pesan moral dan tema yang diangkutnya. Jadi, cerpen tidak terkesan menguliahi, tetapi menginspirasi. Itulah hakekat menulis, untuk mengubah persepsi: butuh motivasi melakukannya. Sementara tokoh-tokoh di sini masih bisa didetailkan lagi dengan memberi latar belakang, usaha, dan gesture unik dalam menghadapi situasi serta kondisi pelik (misal, apakah senpai Harada akan cemas, marah, atau kesal melihat temannya kecapekan meneliti? Tunjukkan detail dengan lebih apik untuk menunjang imajinasi pembaca).
Lain-lainnya, cuma mau bilang, dalam segala aspek cerpen ini bagus dan rapi. Walau masih salah penggunaan preposisi. Gak masalah, masih bisa dibenahi.
16. Daddy's Dream
Nilai: Delapan koma lima
Komentar: Cerpen ini lembut, keren, dan ketjeh pake banget. Saya terhanyut pada narasi dan emosinya. Begitu pun pada adegan bermain piano, saya sampai membayangkan diri jadi audiens dan duduk sambil menghayati. Sayang, endingnya kurang nendang. Ibarat habis makanan makanan utama yang enak luar biasa, porsi hidangan penutupnya kecil sekali. Tetapi enak, cuma terlalu sedikit, sampai gak puas.
Wha, tidak tahu lagi harus nulis apa
17. PULANG
Nilai: Tujuh
Komentar: Rapi. Runut. Ngalir dibaca. Meski masih tersendat-sendat. Saya kurang bisa menikmati cerpen ini sebagai sebuah kisah yang mesti saya baca.
Gini lho, setiap penulis berangkat dari keresahan. Entah itu ide yang ingin dikeluarkan, atau sekadar gundah yang harus dimuntahkan. Dalam setiap tulisan itu, harus ada 'sesuatu' yang menjadi nyawa serta pondasi penulis. Pondasi inilah, yang harus kamu tekankan di awal (dalam bentuk implisit atau eksplisit) sebagai iklan pada pembaca (biasanya pada paragraf pertama), kenapa mereka mau membuang-buang waktu membaca kisah ini? Jika iklanmu berhasil, mereka lanjut ke paragraf selanjutnya. Giliran tuturanmu yang berperan, apakah untaian kalimatmu sudah membuat orang betah, atau justru ingin pergi dan mengambil jeda.
Saya tidak mendapat pesan moral, teknik menulis yang apik, atau sekadar potongan hidup yang disajikan begitu lekat dan manis. Saya merasa, hanya mendapati sebuah kilasan film yang diputar satu menit dari tayangan asli berdurasi dua jam. Tidak mendapat apa-apa. Setelah Kang Ram pulang kampung, ia hanya reuni, lalu segalanya tidak berubah menjadi hal lain. Kecuali dia penulis Best Seller dan punya istri cantik serta anak kembar idaman. Kurang gigit konfliknya. Kuatin lagi, biar greget. Yak!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top