Dream
Gantunglah cita-cita setinggi langit.
Kalimat itu dari zaman debut menjadi siswa sampai bangkotan seperti sekarang, masih menjadi slogan andalan. Tidak masalah, memang. Toh kalimat itu ada untuk memacu impian anak-anak agar tidak tanggung. "Ingin jadi dokter", katanya saat ditanya. Besok berubah jadi pilot. Lusa impiannya sudah berganti menjadi presiden. Bebas.
Namun, ketika sudah disuruh memanjat, kesadaran itu datang membawa kekhawatiran dan mengubah tekad menjadi takut. Bagaimana jika jatuh? Tentu sayap khayalan tidak akan membantu, membuat kepala yang semula terus mendongak lurus menjadi celingukan mencari alternatif. Lalu raga bergerak merangkak, bukan lagi memanjat, menuju mimpi lain yang menawarkan kemudahan. Dan aku termasuk orang yang seperti ini.
Ada penyesalan, tetapi aku tahu itu sebuah konsekuensi tentang kenapa tidak ngotot memanjat? Mau diratapi juga percuma karena jarum jam terus bergerak ke kanan. Jadi ... mau bagaimana lagi selain menikmati yang sekarang?
"Kirain mah ke warung. Enggak tahunya ada di sini."
Aku menoleh dan mendapati Karina yang berdiri di ambang pintu. Kano dalam gendongan Karina langsung membuka tangan, tanpa kata memintaku untuk mengambil alih tubuh montoknya. Baru juga menikmati semilir angin yang membawa aroma tanah basah, sudah harus memangku Kano lagi. Bocah satu tahun itu menepuk-nepuk daguku; meminta perhatian. Apa yang bisa aku lakukan selain menciumi setiap inci wajahnya, saat dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir yang melengkung ke bawah?
"Kenapa ... hm?" Sebagai ibu, aku tentu tahu tabiat Kano. Dia lagi bad mood. Kalau sudah punya kosa kata banyak pasti keluhan panjang yang kudengar, bukan kepala mungilnya yang menggesek-gesek dadaku.
"Rebutan mobil sama Iqbal."
Kupikir Karina sudah masuk. Si bungsu kelas dua SMP ini memaksa untuk duduk. Terpaksa aku bergeser hingga mepet di lengan kursi.
"Enggak ada yang mau ngalah, terus kepala Kano digetok," lanjut Karina.
"Bener?" Aku mendorong sedikit tubuh Kano. Mata Kano masih berkaca-kaca dan lengkungan bibirnya bertambah ke bawah. Sayang ponselku ada di kamar. "Tapi anak Mama hebat enggak nangis."
"Apaan ... orang nangis, kok. Emang enggak kedengeran?"
Aku menggeleng dan memeluk Kano, serta menepuk-nepuk pahanya. Yang masuk ke telingaku hanya suara pikiran seputar ide baru untuk novel yang aku targetkan selesai akhir tahun ini. Terlalu malas mengambil alat tulis, jadi aku biarkan khayalan terbentuk sempurna. Saling bersahutan. Aku hanya perlu menemukan titik penting untuk mengingat semua yang sudah tercetak di imajinasi tadi.
"Melamun sore-sore tuh enggak baik. Nanti kesambet, lho."
Aku tertawa mendengar Karina mengatakan kesambet. Belakang rumahku bukan lagi tanah luas yang ditumbuhi pohon beringin atau mangga. Sejak saudara Papa mematok tanah, yang tersisa di halaman belakang hanya lahan untuk menjemur pakaian dan menaruh satu motor. Itu pun harus bergantian. Dan lagi, pikiranku penuh; tidak melompong.
"Lagi mikir buat ngirim naskah, nih." Aku melirik Karina yang tampak asyik dengan ponselnya.
Karina berdecak. "Kayak selesai aja."
Asem!
Ingin membela diri, tetapi tidak memiliki senjata. Kenyataannya memang seperti itu: dari sekian banyak buku yang sudah berisi coretan belum ada yang benar-benar selesai. Padahal restu dari Mas Reza sudah aku kantongi. Bahkan dari pertama kali kami saling terbuka.
Awalnya, aku pikir itu adalah ide yang buruk. Mengalami bongkar-pasang mimpi bukanlah pekerjaan sulit, tetapi tekad untuk mewujudkannya yang susah dibangun kembali. Aku cukup tahu diri saat kedua gerahamku dicabut, ditambah tinggi badan yang hanya 155 cm untuk melanjutkan angan menjadi WARA (wanita angkatan udara). Juga ketika Bapak memberi tahu bahwa tidak tersedia anggaran kuliah. Dengan otak yang pas-pasan dan niat yang sudah melempem, keinginan menjadi akuntan publik aku biarkan terbang begitu saja. Dan saat yang tersisa merupakan mimpi yang terlihat mudah dijangkau, aku ingin jadi TKW saat Mama bilang ada yang mau dikenalkan.
Nasib tidak memiliki pacar ditambah kekhawatiran Mama dan Bapak mengenai usiaku yang seharusnya sudah menggendong anak, membawaku untuk bertatap muka dengan Arreza Maulana—pria yang merupakan tetangga sahabat Mama yang baru pulang dari Kalimantan. Selisih usiaku dan Mas Reza hanya setahun. Namun, Mas Reza memiliki perawakan tegap dan kepalaku hanya mencapai ketiaknya saat kami berjejer. Warna kulit kami juga kontras, kulitnya putih bersih dan aku yang cokelat penuh bintik-bintik gigitan nyamuk. Kalau dia tersenyum, giginya sangat mirip bintang iklan pasta gigi. Sementara gigiku berada dalam posisi before penggunaan pasta gigi. Dengan fisik seperti itu, aku yakin Mas Reza bisa mencari sendiri. Mungkin menerima perkenalan ini sebatas menyenangkan hati orang tuanya, seperti aku.
Dan semakin hari, Mama jadi sering membicarakan Mas Reza layaknya seorang sales yang tengah mendemokan dagangannya. Yang menjadi beban pikiranku bukan pribadi Mas Reza, tetapi langkah yang sudah tercetak. Rasanya sangat berat kalau harus merelakan lagi. Karena kehidupan rumah tangga yang harus menyatukan hati dan pikiran, pasti harus bisa menyampingkan ego. Dan kalau impianku menjadi penulis merupakan ego, maka ...?
Aku memutuskan untuk menjadi berani setelah tiga kali pertemuan hanya memasang senyum dan bertanya ala kadarnya. Juga memutuskan untuk mengajaknya keluar rumah. Walaupun di rumah Mama dan Bapak mengajak ketiga adikku untuk mengungsi sementara, tetapi apa yang ingin aku bahas adalah sesuatu yang penting. Dan aku merasa bahwa malam itu adalah kesempatan yang cocok.
"Memang mau ke mana? Monas?"
Menghabiskan malam tahun baru dengan berkeliling adalah alasan yang tepat. Namun, kalau ke Monas dan harus terjebak macet jelas bukan ide yang baik.
"Ke jalan layang?" Dan jantungku berdetak cepat. "Bisa lihat kembang api." Buru-buru aku menambahkan saat keningnya mengernyit.
"Boleh juga. Izin dulu, yuk."
Meminta izin kedua orang tuaku bukanlah perkara sulit. Apalagi anak gadis pertama mereka belum pernah hangout bersama laki-laki. Ditambah status laki-laki itu sebagai calon menantu, semakin mulus saja semua izin. Jadi, saat aku mengatakan mau ke jalan layang, mereka menyarankan agar kami membeli jagung bakar terlebih dahulu. Berhubung Mas Reza dan aku tidak menyukai jagung bakar atau rebus, dan sepakat bahwa perut kami tidak akan merengek sampai besok pagi, kami memutuskan hanya perlu membungkus tubuh dengan jaket.
Aku sempat mengkritik beberapa orang yang pacaran di jalan layang melalui media sosial dan malam ini seperti senjata makan tuan untukku. Namun, harus akui berdiri sambil memandang jalur kereta dan melihat cahaya dari lampu kendaraan di bawah adalah sesuatu yang asyik. Seperti berada di atas kilauan kristal. Apa lagi angin yang berembus cukup untuk membuat rambut berkibar-kibar kalau tidak diikat.
"Kita kayak cabe-cabean, yah?"
Seumur hidup aku tidak akan melupakan ucapannya itu. Cabe-cabean ... benar-benar senjata makan tuan.
"Coba tadi kita bawa koran."
Aku mengikuti arah tatapan Mas Reza. Ada seorang ibu dan anak yang duduk beralaskan koran. Mereka bahkan makan seperti tengah berlibur di taman. Yah, setidaknya kami memilih jembatan layang yang memiliki penerangan baik dan ternyata banyak orang yang ingin melihat kembang api dari sini. Terlebih, niatku bukan untuk pacaran.
Aku berdeham. "Mas udah pernah pacaran?" Dan aku merasa bodoh. Kenapa harus pertanyaan itu yang keluar untuk sekadar basa-basi.
Mas Reza tersenyum dan membalikkan tubuh untuk bersandar di tembok. "Sebelum ke Jakarta, aku putus. Papa enggak setuju aku sama orang jauh. Dan sekarang aku coba nurut sama pilihan dia."
Ada perasaan bersalah ketika menangkap ekspresinya yang tampak murung. Aku memang belum pernah berada dalam posisi tidak direstui, tetapi itu pasti menyakitkan. Saat yakin dengan pilihan sendiri, yang menentukan restu malah menolak.
"Kamu suka nulis, yah?"
"Eh?" Jenis pengalihan yang bagus, tetapi tahu dari mana dia?
"Aku lihat di IG kamu, ada akun Wattpad. Terus aku download Wattpad dan baca ceria kamu. Bagus, lho. Mau jadi penulis?"
Tengkukku mendadak kaku saat mengangguk.
"Hebat! Suka baca buku juga berarti."
Aku meringis untuk hal ini.
"Pernah baca Supernova?"
Di pertemuan keempat kami, di atas jalan layang sambil menunggu kembang api muncul di langit malam, kami berbicara layaknya teman lama. Aku pikir hubungan kami tidak akan elastis, selamanya akan seperti kanebo di bawah terik matahari. Tidak pernah terpikirkan untuk saling bercuap-cuap di media sosial. Apalagi ketagihan melakukan video call.
Dan ... perlahan keinginan menjadi penulis memudar. Berganti keinginan untuk mempercantik diri.
Tepat 23 Desember 2018, aku dan Mas Reza menandatangani buku nikah. Mas Reza tidak pernah melarang, justru dia yang sering bertanya tentang kemajuan tulisanku. Namun, menikah dan berhenti kerja membuat semua tampak buram. Menjadi penulis memang satu cita-cita yang kumiliki, tetapi keluarga tentu merupakan prioritas.
Aku mencoba mencari jalan pendapatan yang pasti, karena tidak mungkin meminta lebih pada Mas Reza, sedangkan kedua adikku masih belum bisa diandalkan. Dengan pengalaman serta ijazah yang aku miliki, belajar menjadi wiraswasta adalah pilihan tepat. Awalnya, Mas Reza tidak setuju dengan ideku untuk membuka warung mi ayam. Dia merasa bisa memberi pemasukan untuk keluargaku. Namun, saat aku mengingatkan dia bahwa Alya—adik bungsunya—masih membutuhkan biaya kuliah, juga masih ada cicilan motor, dan uang transpor rawat jalan Papa, dia yang mencari lapak. Dia juga ikut membantu saat hari libur.
Kemudian ... cita-cita yang semula berat untuk dilepas, benar-benar aku kubur.
Jahat kalau aku menggunakan pernikahan dan kehadiran Kano sebagai alasan kenapa aku berhenti mengejar mimpi. Sampai hari di mana teman yang pernah satu grup kepenulisan memberi kabar bukunya berhasil menembus penerbit mayor, aku baru bisa memahami satu hal: mimpi itu akan menjadi angan kalau hanya ada tekad, dan bisa menjadi nyata jika mau terus melakukan usaha.
Ada debaran yang mendobrak khayalanku. Rindu untuk kembali menjadi liar; menyusun adegan demi adegan, dan tanganku menuntut kembali digerakkan untuk menulis kisah. Namun, ada sedikit keraguan, bagaimana kalau hasilnya tidak berubah?
"Kak Rea!"
Aku mendengus dan membalas perlakuan Karina, tetapi anak itu dengan gesit menghindar. "Enggak usah teriak-teriak. Dan enggak usah cubit!" Ingin memberi elusan di bahu yang masih berdenyut, tetapi aku tidak mungkin melepaskan rangkulan pada tubuh Kano.
"Lagian, udah kayak orang kesambet! Bengong terus. Tuh ... dari tadi Kak Reza manggil." Karina berlalu ke dalam dan sosoknya segera diganti Mas Reza.
"Kano kenapa?"
Sadar ayahnya datang, Kano menegakkan kepala dan mengulurkan tangan ke Mas Reza; ingin mengadu. Tanganku terasa sangat ringan saat Kano sudah berpindah ke ayahnya. "Biasa ... anak-anak."
Mas Reza berusaha membuat Kano berdiri di atas kedua pahanya. Dan menggoyang-goyangkan tubuh Kano sampai senyum dan lesung pipit bocah itu tampak. Gemas, aku cubit pipi tembam Kano.
"Hari ini hari apa, yah?"
Aku menatap Mas Reza sekilas. "Hari arisan keluarga." Dan mengikik setelah menjawab. Entah apa yang lucu, tetapi aku ingin tertawa.
"Yeh ... bukan itu! Beneran lupa kayaknya, nih. Ke kamar, yuk."
Memangnya ini hari apa? Oh iya, hari Sabtu. Namun, aku memilih merapatkan mulut dan mengikuti Mas Reza ke dalam. Suasana ruang tengah masih ramai dengan obrolan dan suara televisi. Ingin bergabung sebentar, tetapi Mas Reza langsung menaiki tangga.
Kamar kami ada di bagian depan, menghadap jalan gang, dan satu-satunya kamar yang memiliki teras meskipun kecil. Mas Reza menyerahkan Kano padaku dan dia langsung tengkurap. Melihat ayahnya yang merayap ke kolong ranjang, Kano berontak ingin turun. Sekuat tenaga kupegangi tubuhnya. Kano memekik dan tertawa saat kepala Mas Reza menyembul dari kolong. Dikira sedang main cilukba, mungkin.
Mas Reza meletakkan sebuah kotak di atas kasur dan mengambil alih Kano. "Buat kamu."
Aku merasa dahiku berkerut dan mendekati kotak pemberian Mas Reza. Kotak itu dilapisi kertas kado berwarna pink dengan gambar love dalam berbagai ukuran. Yang menarik adalah kertas yang tertempel di atasnya. Tulisan tangan itu cukup besar dan rapi, khas Mas Reza.
Untuk istriku yang suka berisik kalau tidur, tapi aku cinta sama dia.
Selamat hari pernikahan kita, Sayang.
Aku langsung menghadap Mas Reza. Menutup mulutku agar tidak menganga lebar.
"Beneran lupa dia."
Aku langsung menyambar ponselku di atas bantal dan menyalakan layarnya.
Aku benar-benar lupa! Hari ini tanggal 23 Desember!
"Enggak terasa yah, udah lima tahun. Buka dong." Mas Reza tersenyum. "Buka Mama." Dia menirukan suara anak kecil dan melambai-lambaikan tangan Kano.
Dadaku seketika seperti diikat kuat, tetapi menyenangkan. Aku biarkan saja air mata keluar, toh Mas Reza tahu kalau aku mudah terharu. Dan aku tidak dapat menahan tarikan napasku untuk pelan saat hadiah itu terlihat.
Sebuah laptop.
"Cepet jadi penulis, yah, Mama."
Aku langsung berbalik dan memeluk tubuhnya. Tidak peduli Kano yang menggeliat karena sedikit terimpit tubuh kami. Bahkan Mas Reza masih mengingat impian yang pernah aku lontarkan.
"Udah ... nangisnya jangan kebanyakan. Nanti maskaranya luntur."
Aku tertawa sambil mencubit pinggangnya.
Kata orang, ada yang harus dikorbankan untuk bisa menggapai sesuatu. Hari ini perasaan mengorbankan mimpi itu hilang. Kenyataannya, aku tidak pernah mengorbankan apa pun. Hanya takut. Dan sekarang, tidak ada alasan bagiku untuk takut. Aku akan berusaha mengejar mimpi yang sempat tertunda.
****
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top