Daddy's Dream
La Scala, Milan, Italia
Raina menyapu ruangan dengan pandangannya. Kedua tangannya saling bertautan, sesekali dia mengelap tangannya yang basah itu pada gaun hitam yang tengah dikenakannya. Dia berkali-kali menarik napas panjang hanya untuk menenangkan diri, menormalkan detak jantungnya yang memburu.
"Hei, relax!"
Raina sedikit terlonjak kaget saat seseorang menepuk pelan bahu kanannya. refleks Raina menatap orang yang tengah tersenyum padanya itu lekat-lekat sebelum tanpa sadar bibirnya tertarik membentuk senyuman. Dia tidak pernah tahu laki-laki yang menggenggam tangannya itu memiliki senyuman yang begitu menular dan sentuhan yang begitu menenangkan. Sekarang detak jantungnya tak lagi memburu, sekarang dia merasa begitu tenang.
"Please welcome, Raina Adam and Hauser!"
Laki-laki yang sedari tadi menggenggam tangan Raina perlahan melepaskan genggamannya sambil tersenyum pada Raina. Dia mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh jemari lentik Raina, kemudian dia membawa tangan itu pada lipatan sikunya dan mulai melangkahkan kakinya memasuki gedung pertunjukkan.
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah kaki mereka. Dengan senyum penuh percaya diri, Raina melangkah, berhenti tepat di tengah panggung megah yang akan dikuasainya malam ini dan membungkuk sopan pada para penonton di ruangan itu. kembali Hauser mengulurkan tangannya pada Raina, membimbingnya menuju Grand Piano yang sudah bertengger manis di tengah panggung bersama dengan violin milik Hauser.
"Take a deep breath, we can do it!" Kembali Hauser menyemangatinya sebelum memindahkan violin kesayangannya itu di antara kakinya. Dia duduk tepat di belakang Raina, menempati setengah kursi yang ada di depan Grand Piano Raina.
Raina menarik napas panjang sebelu membuka penutup tuts piano di depannya dan meletakkan kedua tangannya tepat di atas tuts-tuts itu. Dia sejenak memejamkan kedua matanya, merasakan seluruh energy positif yang ada di ruangan itu. bibirnya kembali tersenyum, tanpa sadar dia membisikkan sesuatu sebelum jemari lentik itu menekan satu per satu tuts piano, membentuk rangkaian nada yang begitu indah.
Ayah, Raina persembahkan lagu ini untuk Ayah.
Perlahan namun pasti, orang-orang bisa mengenali rangkaian nada yang Raina buat. Terlebih dengan gesekan violin milik Hauser yang menambah keindahan nada itu. Andy Williams – Love Story, mengalun begitu hangat memenuhi penjuru ruangan. Membuat siapapun yang ada di dalamnya terhanyut akan kasih sayang, cinta, dan harapan yang dituangkan lagu itu. Entah bagaimana, perlahan mereka mengingat kembali masa-masa indah bersama orang terkasih mereka. Sudut bibir mereka perlahan tertarik membentuk senyuman, bersamaan dengan air mata yang mengalir begitu saja di kedua pipi mereka.
Alunan nada mereka mengalir begitu saja hingga akhir. Begitu keduanya tidak lagi memainkan alat musik mereka, ruangan megah itu berubah menjadi sunyi, senyap. Seolah orang-orang yang ada di dalamnya masih terhanyut dengan kenangan mereka. Raina pun masih diam di posisinya, hanya kedua tangannya yang tidak lagi berada di atas piano. Kini kedua tangan itu saling bertautan di depan dadanya, kedua matanya tertutup, namun air mata mengalir di kedua pipinya. Meskipun begitu sebuah senyuman terukir di wajahnya.
"Raina capek Yah, gak mau latihan lagi." Raina merajuk, tanpa sadar dia menepis map berisi kertas partitur yang baru saja Ayah ambil dari rak buku. Ayah tampak kesal, tapi sebisa mungkin dia mengontrol emosinya. Alih-alih memarahi puterinya, Ayah justru memeluk tubuh mungil Raina dan membawanya duduk di depan televisi.
"Ya udah, kita istirahat dulu, tapi sambil nonton ya?" tawar Ayah. Raina tidak menolak maupun mengiyakan tawaran Ayah. Dia hanya duduk di samping Ayah sambil memeluk boneka Panda kesayangannya. Raina memutar bola matanya sambil menghela napas panjang saat layar televisi itu lagi-lagi menampilkan gedung pertunjukan yang sudah jutaan kali dia lihat lengkap dengan wanita yang tengah bermain piano di tengah panggung.
"Raina tahu, Ayah punya mimpi suatu saat Raina akan bermain di dalam sana, memainkan lagu yang selalu kita mainkan bersama," kata Ayah sambil menunjuk gedung pertunjukkan termegah yang pernah Raina lihat. Pelukan hangat Ayah dan senyumannya tak pernah lekang saat membicarakan gedung itu dan musik mereka.
"Kenapa harus di sana?"
"Karena segala hal yang indah dalam hidup kita dimulai di sana, sayang."
"Karena Bunda?" Ayah menatapnya jauh ke dalam matanya, sedikit mencari sosok istrinya di dalam diri anak semata wayangnya itu sebelum mengukir senyuman di wajahnya.
"Salah satunya. Jadi, kita latihan lagi?"
"Yuk!"
Satu suara tepuk tangan memecah keheningan ruangan itu, seolah terbangun dari sihir, orang-orang refleks berdiri sambil bertepuk tangan sekeras yang mereka bisa. Raina pun sama, dia menatap para penonton dengan rasa bangga dalam dirinya. Kemudian pandangan matanya jatuh pada Hauser yang tengah menatapnya dengan begitu lembut.
"Like I said, we did it!" Raina tersenyum mendengar suara lembut namun berat milik laki-laki itu, laki-laki yang kini kembali menggandeng tangannya, membimbingnya memberikan penghormatan terakhir pada penonton sebelum meninggalkan panggung dengan standing ovation yang tak berhenti bahkan ketika Raina dan Hauser sudah berada di luar panggung.
"Raina?" Raina menghentikan langkahnya dan berbalik saat mendengar namanya dipanggil. Tubuh Raina membeku, masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, bahkan ketika orang yang memanggil namanya itu memeluknya dengan erat.
"You're amazing. More than amazing!" puji orang itu dengan begitu tulus, senyuman lebar tergambar di wajahnya. Berkali-kali dia menepuk pundak Raina, bahkan memeluknya dan hingga detik ini Raina masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Wanna play with me this Sunday? In my place?" Mungkin ini adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupnya, segala kerja keras dan pengorbanannya sejak kecil, akhirnya terbayarkan. David Foster mengundangnya bermain di tempatnya!
"So? Reina? Wanna come?"
"Yes, sure, yes!"
"Ok, I'll contact you later. See you really soon Dear!"
****
Langkah kaki Raina membimbingnya memasuki tempat yang hampir lima tahun ini tidak pernah lagi dia jamah. Bukan, bukan dia tidak ingin, dia sangat ingin, namun nyatanya dia belum berani menginjakkan kakinya ke tempat ini, setidaknya hingga detik ini.
Raina menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah pohon yang dia tanam sendiri enam tahun yang lalu. Bukan pohon spesial, hanya pohon kamboja berwarna kuning seperti banyak pohon yang lain di sekitarnya. Raina perlahan membawa tubuhnya turun dan bersimpuh di dekat pohon itu, di depan sebuah nisan dengan nama orang yang paling penting dalam hidupnya, Hari Adam.
Tangannya perlahan membelai nisan itu dengan sepenuh hatinya. Dia meraih kantung plastik yang dia bawa dan menaburkan bunga di sepanjang makam itu sebelum menyiramkan air di atasnya.
"Ayah, Rei dateng lagi. Maaf ya Rei jarang dateng ke tempat Ayah, tapi Rei selalu doain Ayah kok, Ayah terima semua doa-doa Rei 'kan?" Reina mengeluarkan ponsel dari saku jaket yang dikenakannya, kemudian memutar video yang sudah dia persiapkan untuk ditunjukkan pada Ayahnya.
"Rei tahu Ayah pasti udah lihat di atas sana, tapi Rei mau nunjukin langsung ke Ayah. Rei berhasil mewujudkan mimpi Ayah, mimpi kita. Rei bermain di tempat yang Ayah impikan, bersama orang yang Ayah idolakan, bahkan Rei diundang bermain bersama composer ternama kesayangan Ayah. Maaf Rei telat mewujudkan mimpi Ayah, mimpi kita. Ayah senang 'kan? Ayah, baik-baik di sana ya? Tunggu Rei. I love you, so much, forever."
****
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top