Bab 1
"Setiap orang memiliki kesulitannya masing-masing, dan cara untuk lepas darinya pun tak pernah sama"
Azka Nurmansyah Syailendra
Seorang pemuda tampak menikmati keindahan semburat jingga yang terlukis indah di cakrawala. Senyum di bibir tipisnya mengembang sempurna menyaksikan kesempurnaan nyata yang tersaji di hadapannya. Ia begitu mencintai senja, alasan mengapa saat ini masih tak beranjak dari balkon kamarnya.
Pemuda itu adalah Azka, putra sulung keluarga Syailendra. Sang ayah berprofesi sebagai dokter spesialis bedah jantung di Asian Star Hospital. Selain itu, ia juga memiliki adik kembar yang usianya hanya terpaut dua tahun darinya-Ardhana dan Ardhani.
Setiap petang, ia akan berdiri di balkon sekadar untuk menikmati pesona sang senja. Baginya, warna-warna jingga itu merupakan obat paling mujarab untuk mengobati gundah di hati. Entah mengapa, senja selalu mampu memberikan kedamaian dan ketenangan dalam jiwanya.
"Mas, jangan senyum-senyum sendiri. Dhana merinding lihatnya." Ardhana terkekeh sembari menatap lurus ke depan.
"Dhan, kalau masuk ke kamar Mas Azka itu ketuk pintu dulu. Bukan main nyelonong, kebiasaan." Azka menyentil kening adiknya.
"Dhana udah ngetuk pintu sampai ruas jarinya bengkak, tapi nggak dibukakan pintu. Jadi, bukan salahku kan, Mas." Dhana menaikkan sebelah alisnya, kemudian berbalik pergi.
Ardhana memilih duduk di sofa yang berada di kamar sang kakak sembari memainkan ponsel. Sesekali melirik si sulung yang masih betah berada di balkon padahal lembayung senja itu telah ditelan kegelapan.
"Dhana nggak tahu apakah Mas Azka bisa tetap semurah senyum sekarang, andai tabir rahasia itu benar- benar dibuka." Remaja 19 tahun itu menatap sang kakak dengan pandangan yang sulit diartikan.
Melihat Dhana masih berada di kamarnya, Azka pun berlalu masuk dan turut duduk di sana. Ia mengernyitkan dahi heran begitu menyadari tatapan sang adik yang tak lepas darinya sejak ia masuk.
"Dhan, nggak kesambet, 'kan?"
Azka melambaikan tangannya di wajah sang adik yang langsung ditepis olehnya. Mimik seriusnya berubah kesal dalam sekejap. Hal yang membuat si sulung terkekeh pelan.
"Adik manis, mau cokelat?" Azka berucap selembut mungkin sembari menyodorkan sebatang cokelat yang diambil dari saku bajunya.
Cokelat itu dibeli ketika pergi ke swalayan siang tadi, kebiasaan lamanya yang masih belum hilang. Azka akan membeli cokelat dan menyimpannya. Pemuda itu akan memberikan pada si kembar ketika mereka tampak gelisah ataupun bersedih. Kedua adiknya memang bukan lagi anak kecil, tetapi itu masih berhasil hingga sekarang.
Sejujurnya, pemuda itu punya dua toples cokelat yang masih tersegel yang disimpan di sebuah kotak di bawah tempat tidurnya. Namun, sejauh ini tak ada yang tahu mengenai rahasia itu.
"Dhana bukan anak kecil lagi. Kenapa harus cokelat bukan yang lain?" Dhana berdecak kesal, walau tak urung mengambil cokelat itu.
"Walaupun cokelat itu dari segi warna kelihatan nggak menarik, tapi rasanya tetap manis. Hidup juga begitu, 'kan?" Azka tersenyum tipis.
Dhana menunggu kelanjutan pernyataan sang kakak, tetapi pemuda itu justru sibuk dengan pena dan buku dalam genggamannya. Entah apa yang dilakukan, ia sendiri pun tak bisa menebak. Hidup bersama selama puluhan tahun, tak membuatnya memahami sosok yang tersenyum misterius di hadapannya itu.
"Kita sebagai manusia sering kali nggak mau berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan karena terlihat nggak ada yang menarik dari sana. Padahal sebenernya semua itu bisa jadi keindahan yang tersembunyi," lanjut Azka tanpa menoleh.
Kerutan di dahi Dhana semakin dalam, tak mampu mengerti bahasa tinggi yang digunakan sang kakak. Otaknya sama sekali tak mampu mencerna maksud dari peryataan si sulung. Jadi, yang bisa dilakukan hanyalah menunggu penjelasan yang bisa dipahami.
"Apanya yang indah, Mas? Bukannya semua manusia menginginkan kemudahan dan kebahagiaan bukan sebaliknya?" Dhana menaikkan sebelah alisnya.
Mendengar pertanyaan itu, Azka terkekeh pelan. Tak menyangka sang adik akan menanyakan itu. Ia pikir penjelasannya sudah cukup detail untuk dipahami, tetapi ternyata jutru sebaliknya.
"Kita nggak akan tahu apa arti bahagia tanpa tahu bagaimana rasanya menderita. Begitu juga dengan kesulitan. Kita nggak akan tahu arti kemudahan tanpa pernah melalui kesulitan. Gitu aja nggak paham, Dhan." Azka menyentil kening Dhana pelan.
Dhana manggut-manggut, sekarang dapat memahami arah pembicaraan sang kakak. Dari segi mana pun, ia tahu bahwa sang kakak merupakan orang yang bijak dalam menyikapi suatu masalah. Bukankah seharusnya ia tak perlu khawatir berlebihan? Namun, tetap saja keraguan itu terpampang nyata dalam sanubari.
Percakapan keduanya terjeda, ketika pintu kayu bercat biru langit itu diketuk pelan. Sesosok lelaki paruh baya dengan setelan jas putihnya berdiri di sana ketika pintu berhasil terbuka lebar. Wajah ovalnya tampak lelah, tetapi berhasil tersamar dengan segaris senyum di bibir ranumnya.
"Ayah tadi mampir ke restoran sebelah, beli nasi goreng seafood kesukaan kalian buat makan malam. Udah Ayah siapin di meja makan, kalian makan dulu pasti udah lapar, 'kan?"
"Ayah tahu aja apa yang kita mau." Azka mengecup pipi kiri Farhan sembari melesat keluar diikuti oleh Ardhana.
"Ayah buruan mandi dan nyusul ke meja makan. Pipinya bau asem," ucap Dhana di ujung tangga lantai dua.
Farhan tak menyahut, hanya terkekeh pelan. Ia berlalu menuju kamar untuk membersihkan diri. Setengah jam kemudian, ia telah selesai dengan rambut basah. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya masih tampak kuyu meskipun telah dibasuh dengan air.
"Delia, bagaimana caranya aku memberitahu Azka yang sebenarnya? Di satu sisi, aku tak ingin melukai perasaannya. Namun, di sisi yang lain juga tak ingin membuatnya terus hidup dalam kebohongan," gumamnya.
Farhan duduk di tepi ranjang, memikirkan cara yang tepat untuk memberitahu tentang kebenaran yang ada. Seminggu lagi usia Azka akan bertambah, tetapi hal itu justru menjadi beban baginya. Andai bisa menghentikan waktu, ia ingin pemuda itu tak tumbuh dewasa secepat ini. Lelaki paruh baya itu lebih rela ketiga putranya tetap menjadi anak-anak yang menggemaskan seperti bertahun-tahun lalu.
"Del, andaikan saja kamu masih di sisiku. Aku tak akan sefrustrasi sekarang menghadapi semua ini. Aku takut kembali kehilangan, kehilangan putra kita."
Farhan mengusap wajahnya kasar sembari menghela napas. Ia mencoba menenangkan diri sebelum berlalu menyusul ketiga putranya yang telah menunggu di meja makan. Tak ingin membuat mereka cemas, andai melihat betapa kacaunya ia saat ini.
Setidaknya, saat ini semua tetap berjalan dengan baik seperti sebelumnya. Meskipun ia tak tahu sampai kapan bisa tetap utuh seperti sekarang.
"Mungkinkah semua kedamaian hari ini akan tetap utuh, bahkan usai perayaan ulang tahun Azka minggu depan? Aku masih tidak sanggup membayangkan setiap kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Bisakah putraku menerima semua kenyataan yang ada?" gumamnya.
Kulon Progo, 1 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top