Floating Days

Ditulis tanggal: 17 Juli 2017
Revisi: 4 Juni 2022

Ini cerita pertamaku yang menggunakan POV 2.
Sekarang setelah kubaca ulang, judul cerita dan isinya benar-benar sangat tidak nyambung hahaha.

Oh, anyways, ada sedikit minor revisi.
Selamat membaca.
***

Apa yang lebih menyebalkan daripada melihat jendela dan menemukan matahari bersinar cerah di luar dan kau yang harus terkurung di dalam rumahmu lagi?
Kau mengembungkan pipi dengan cemberut.
Padahal Ibu selalu bilang padamu kalau dia hanya akan melarang jika akan ada badai, tetapi saat ini cuacanya begitu cerah seperti itu. Teman-teman sepermainanmu pasti sedang bermain sepak bola, atau mungkin mereka sedang bermain kejar-kejaran. Kau jelas tidak bisa memainkannya seorang diri, di rumah mungil ini.
"Ah!"
Kau menghentakkan kakimu, baru saja teringat dengan sesuatu. Bagaimana bisa kau melupakannya?! Kemarin mereka sudah berjanji untuk bermain petak umpet! Permainan yang tak mungkin kau lewatkan begitu saja.
"Ibu..." rengekmu sambil melangkah menuju halaman belakang.
Di sana Ibumu sedang menyikat pakaian putih dengan sikat. Kau ingat pernah menanyakan mengapa tidak disatukan saja dengan cucian yang lain di mesin cuci, tapi Ibumu menjawab pakaian putih memanglah harus dicuci sendiri. Pakaian putih tidak boleh bermanja-manja, setidaknya itu yang kau pikirkan.
Ibu berjanji akan masak makanan kesukaanmu kalau kau tetap di rumah dan tidak keluar. Awalnya kau pikir kau bisa melakukannya, tapi sepertinya, tidak.
"Kamu ini, sesekali temani Ibu bersih-bersih, kenapa?" tanya Ibumu terdengar protes. Kau bahkan yakin kalau saja Ibumu tak sedang menyikat kemeja putih itu, telingamu bisa-bisa menjadi korbannya. "Ibu kan capek, bersih-bersih sendirian."
Kau cemberut. "Ibu kan juga tau kalau aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku masih kecil, umurku memang untuk main-main."
Ibumu mendesah lelah, "ya sudahlah, sana, main. Jangan lama-lama," pesannya.
Kau kegirangan sampai lupa bahwa halaman belakang rumahmu basah. Kalau saja Ibu tidak buru-buru menggerakan tangannya, kepalamu mungkin akan bocor. Sejak kau belum lahir, halaman belakang telah ditutupi oleh ubin dan semen. Sebenarnya tak pantas juga disebut halaman, apalagi ruangannya tertutup dan hanya ada saluran pembuangan air di sudut halaman. Praktis juga sebagai tempat menjemur pakaian dan mencuci alat-alat masak.
"Oh iya!" Ibumu teringat sesuatu. "Jangan bercerita yang aneh-aneh, cukup sama Ibu, ya."
Kau mengerutkan kening. Ah, sungguh, Ibumu tak pernah mempercayaimu dan selalu, selalu, selalu, SELALU mengulang kata yang sama sebelum kau pergi bermain. Kau paham bahwa sebenarnya Ibumu tidak ingin kau dijauhi teman-teman barumu, apalagi kalian baru berteman kurang dari tiga bulan. Tentu saja kau tersinggung jika Ibumu sendiri tak mempercayaimu, kan?
Begini, kau tentu saja ingat soal kejadian dua bulan yang lalu saat di lantai dua? Saat itu Ibumu memintamu memasukkan pakaian ke mesin cuci dan pergi berbelanja karena ada bahan makanan yang kurang. Ia berjanji akan segera pulang dan di saat itulah kau boleh keluar bermain.
Ibumu sudah mengajarimu cara kerjanya, tapi saat kau tengah menunggunya pulang, mesin cuci rumahmu mati sendiri. Kaca pintu yang menghubungkan balkon untuk menjemur pakaian keluargamu tiba-tiba saja terbuka sendiri.
Tubuhmu melayang bersama pakaian-pakaian yang baru saja keluar dari mesin cuci. Masih sedikit lembab, tapi kau lebih takjub dan penasaran kemana angin akan membawamu.
Kau melayang bersama pakaian-pakaian, sepertinya kau terlihat seperti kumpulan burung dari bawah sana. Kau tertawa riang, itu sungguh mengasikkan.
Lalu, kau mendarat bersama pakaian-pakaian itu, kebetulan pula kau bertemu dengan Ibumu.
Ibumu menjewelmu dan terus berceramah soal tanggung jawab dan bagaimana kau melupakan pesannya untuk memisahkan pakaian putih dan berwarna. Pakaian putih sudah luntur menjadi warna merah pucat. Selanjutnya, Ibu marah karena kau meninggalkan rumah dan membawa semua pakaian jemurannya sampai di sana.
Kau terus menerus membantah dan mencoba menjelaskan apa yang terjadi, tapi ia tidak mempercayaimu. Mungkin sejak itu, Ibumu terus-menerus menasehatimu untuk tidak bercerita apapun soal kejadian itu.
Setelah selesai memainkan petak umpet, kau dan kawan-kawanmu akhirnya berkumpul di markas. Markas terletak di bawah perosotan yang tertutup. Kalian bisa di sana karena mereka berlomba-lomba bercerita cerita terseram yang pernah ada.
"Ibuku melarang ke sungai, katanya akan ada nenek-nenek yang sedang mencuci pakaiannya. Sebenarnya memang aneh kalau benar-benar ada yang mencuci pakaian di bawah jembatan itu, kan? Apalagi ini bukan di desa. Tapi kalau kalian menyadarinya, kalian akan sadar bahwa itu bukan selendang merah. Melainkan ... organ tubuh yang masih bersimbah darah."
Kau menatapnya bosan. Selalu saja itu yang ia ceritakan setiap ritual permainan petak umpet selesai dan dia selalu menceritakan hal yang sama. Membosankan, tentu saja.
"Kemarin temanku membeli layang-layang. Kira-kira setelah sebulan, Ayahnya menemukan layang-layangnya yang sudah sobek dan ternyata itu berasal dari kulit manusia."
Kau merinding, tapi bukan merinding karena takut. Melainkan karena tiba-tiba saja kau melihat sebuah layang-layang tanpa benang terlihat dari kejauhan. Mereka semua heboh dan berlomba-lomba mengejar layangan. Kau bersumpah dalam hati bahwa kau yang akan mendapatkannya hari ini.
Tengah mengejar, tiba-tiba langkah mereka semua terhenti. Hanya kau yang masih berusaha mengejar. Kau berhenti melangkah dan membalikan kepalamu, bertanya.
"Kenapa?"
"Mungkin lebih baik kita kembali, layangannya masuk ke rumah kosong itu."
Kau bertanya lagi, "bukankah bagus? Berarti kita bisa mengambilnya tanpa harus takut ada anjing penjaga yang galak."
Tapi mereka tidak mendengarkan. Kau tersinggung, tapi akhirnya mengikuti mereka kembali ke markas. Mereka melanjutkan cerita seram itu lagi.
"Kau mungkin tidak tahu soal cerita rumah itu."
"Apakah rumah itu angker?" tanyamu.
"Katanya ada penyihir di sana." Temanmu seolah mendapatkan ide. "Sekarang aku akan cerita tentang penyihir yang suka menculik anak-anak. Kata Ibuku, dia hanya akan menculik anak yang nakal dan suka berbohong! Dia suka makan anak-anak!"
Kau ingat, kau pernah mendengar cerita ini dari Ibumu.
"Kalau aku ketemu dengan penyihirnya, akan kutendang kakinya keras-keras!"
Kau merasakan hawa dingin di belakangmu. Tubuhmu bergetar dan kau mengintip arah di mana kau masuk di dalam perosotan itu. Kau melihat seseorang berpakaian hitam dengan latar langit senja. Mata kalian terkunci dan dia mengancungkan telunjuknya di depan bibir, memintamu diam.
"Ku-kurasa kalian harus diam, sebelum dia marah!" Kau berdiri dengan cepat, sampai-sampai kepalamu terbentur bagian atas perosotan. Kau meringis, sementara yang lainnya menertawakan kebodohanmu.
"Kau takut? Pulang sana! Kami tidak bermain dengan seorang penakut!"
Kau keluar dari markas, berusaha menjauhi orang berpakaian hitam tadi. Dia mengikutimu, kau tahu dan makin mempercepat langkahmu. Namun, selalu ada rasa penasaran di hatimu; seberapa dekat orang itu denganmu. Jadi, kau berbalik untuk memeriksanya.
"Ibumu sudah menunggumu di rumah," ucapnya. "Sana, pulang."
Kau menatapnya takut-takut. "Kau tidak akan menyakiti mereka?"
Ia tersenyum, "Aku tidak akan menyakiti anak baik, jadi pulanglah. Ibumu sudah memasak makan malam."
Kau sudah bermaksud pulang begitu mendengarkannya mengatakan soal makan malam. Menu hari ini adalah menu kesukaanmu. Kau tahu Ibumu tetap akan memasaknya meskipun kau tidak dapat menepati janjimu hari ini untuk tetap di rumah. Tapi akhirnya kau penasaran dan berbalik lagi.
"Jadi...," Kau menjeda selama beberapa saat, "kau suka makan anak-anak?"
Orang itu tertawa renyah. "Bagaimana denganmu?"
Lalu ia melangkah menuju tempat teman-temanmu tadi, meninggalkanmu yang masih menyimpan pertanyaan di kepalamu. Namun pada akhirnya kau memilih pulang untuk dapat menyantap makan malammu.
Kau akan mencoba untuk meyakinkan mereka lagi besok, pikirmu.
Namun besoknya, kau datang lagi ke markas, dan mereka semua tidak pernah datang lagi.

***

Oke, karena aku tidak pernah punya kesempatan untuk menjelaskannya di work NPC, jadi aku akan menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskannya di sini.
Fun Fact! Cerita ini ditulis dengan sangat buru-buru dan kelar dalam 30 menit untuk ide dan eksekusinya. Ni otak mau tewas ahahaha.

Judul FLOATING DAYS di sini hanya direferensikan untuk scene saat 'Kamu' terbang bersama baju-bajunya yang keluar dari mesin cuci. Tapi karena aku menambahkan huruf S, itu artinya 'Kamu' bukan hanya akan melayang sekali, tapi mungkin akan berkali-kali.

Ibu 'Kamu' tidak pernah bilang kepadanya bahwa mereka juga adalah penyihir. Well, sebenarnya aku sudah memberikan petunjuk selama di cerita, apakah kalian menangkapnya?

Jadi pertama ibunya bilang untuk tidak menceritakan apapun. Awalnya mungkin pembaca mengira bahwa si 'Kamu' ini adalah indigo, tetapi begitu ada kejadian si 'Kamu' melayang bersama pakaian-pakaiannya, kalian mungkin mulai paham apa yang tidak boleh diceritakan oleh 'Kamu'.
Nah, sebenarnya kekuatannya muncul karena dia ingin keluar rumah. Ibunya juga sebenarnya ingin 'Kamu' menemaninya bersih-bersih sesekali karena ingin menceritakan tentang identitas mereka, tapi karena 'Kamu' selalu ingin main dan bilang bahwa dia masih kecil, ibunya selalu menunda pembicaraan ini.
Oh, soal pakaian putih yang luntur menjadi merah pekat, kalian mungkin paham bahwa si 'Kamu' tidak sengaja mencampur semua pakaian berwarna yang sudah dinodai darah dengan pakaian putih. Pakaian korban atau pakaian mereka? Gatau.
Mereka baru pindah 3 bulan yang lalu dan akan pindah terus untuk mencari stok makanan. Nenek tua itu tahu bahwa 'kamu' juga penyihir.

OKEY, akhirnya aku bisa menjelaskannya <3

Semoga kalian sukak dengan cerita twist seperti ini! Karena aku pribadi suka, makanya kubuat. AHAHAHA.
Ini kayak cerita APPLE dan ONE GLOOMY DAY di work ini, yang scary twist ending. Dulu aku hobi banget bikin ending kayak gini wkwkwkwk.

Kalian jangan bosan, yaaa, karena aku selalu merasa cerpen dengan cerita normal dan ending yang ternyata bikin merinding adalah yang terbaik! Kayaknya masih ada beberapa ceritaku yang seperti itu. Kalian mungkin akan menemukannya~~~

See you!

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top