[S2] 6. Kabar Tak Diundang

"Kalau lo tau sesuatu, mending lo ngomong sekarang, Bang. Jangan sampai lo masuk list orang yang gue bakal hindarin selama sisa hidup gue."

Bian ngangkat bahu. "I wish I knew, Dek."

"Olla?" Rena yang kelar make up-an natap Bian dari cermin. Abangnya itu lagi duduk di pinggir ranjang.

"Seolah-olah lo nggak tau hubungan gue sama dia." Bian natap Rena balik lewat pantulan cermin. "Gue tebak, dia pun nggak tau soal ini. Dia bahkan inisiatif nelepon gue duluan buat nanya apa Hera juga nyuruh gue balik ke Jakarta. Bayangin, Re. Dia duluan yang ngehubungin gue."

Rena ngangkat sebelah alis. "Yang artinya?"

Bian ngehela napas, bangun. Dia ngehampirin Rena dan naruh tangan di pundak Rena. "Ada baiknya lo udah ngerencanain mau kabur sama Olla atau gue."

"MAKSUDNYA APA YA, ANJING!?"

"Lo sendiri yang ngasih tau kalau Hera bilang ini soal masa depan lo," sahut Bian. "Bisa jadi kayak dulu. Lo diminta bonyok ikut mereka ke Amerika, dan gue nggak mau itu sampai terjadi."

Rena diem. Dia bingung mau ngerespons kayak gimana. Dalam hati, Rena pun agak takut-takut juga. Bohong banget kalau sampai dia bilang kalau dia tenang bak air sumur yang nggak kejamah sekarang. Malah sebaliknya: dia kacau, takut, khawatir, pokoknya semua nyampur jadi satu.

Nggak ada yang Rena khawatirin di dunia ini selain bokap dan nyokapnya. Dua orang itu. Rena akui, di masa kecilnya hingga beranjak remaja, dibanding kakak-kakaknya, Rena paling banyak mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Namun, di saat bersamaan, ada perasaan tak kasat mata yang turut mereka jejalin ke dalam hati Rena: rasa segan, nggak bisa seenaknya, dan kepercayaan diri yang kerap terkikis tiap kali berhadapan sama mereka.

Udah lama banget Rena nggak ketemu sama mereka, seenggaknya dengan cara bertatap muka langsung. Sesekali mereka emang nyoba ngehubungin, tapi Rena seringnya (sering banget, malah) ngehindar. Enggan banget buat bersinggungan. Untungnya, bokap sama nyokapnya nangkep sinyal itu: nggak ampe yang neror beruntun.

Tapi, maaf aja, Rena nggak pernah kebayang tuh dua orang tiba-tiba duar! balik ke Indonesia dan katanya (well, kata Hera, sih) mau ngomongin sesuatu soal masa depan Rena.

Apa nggak gemetar, wak?

GEMETAR, ANJING!

"Udah mutusin mau ikut gue atau Olla?" Bian buyarin lamuna Rena. "Jangan ikut Hera. Dia anjingnya bokap-nyokap."

Rena langsung ninju lengan sasa Bian. "Mulut lu kek setan, anjing! Lo sendiri yang bilang kalau gue kudu hormat sama Hera."

Bukannya protes, Bian malah ketawa kecil. Dia usap pucuk kepala Rena. "Good. Tandanya lo dengerin nasihat gue."

"Lakuin juga sama diri lo sendiri, Bang," tukas Rena. Dia bangun lalu ngambil tas tangan dari lemari. "Gimanapun juga, Hera tuh kakak lo. Dia yang paling tua."

Bian cuma senyum-senyum nggak jelas, bikin Rena muter bola mata jemu. Baru banget dia mau ngehampirin pintu keluar apart, Bian nanya sesuatu yang bikin Rena bingung jawabnya,

"Jadi, gimana soal lo sama Joshua?" tanya Bian.

Rena noleh, natap Bian. "Nggak perlu ikut campur soal itu, Bang. Gue udah kelarin semuanya."

"Udah lo kelarin, atau lo justru bikin masalah baru?"

Rena mulai keusik. "Sejak kapan lo jadi kayak Hera?"

"Sejak gue denger kalau lo malah deket sama Joshua, alih-alih ngejauhin dia." Ekspresi Bian jadi kaku. "Apa itu bener?"

"Hera anjing!" Rena ngumpat dengan suara pelan.

Siapa lagi coba? Cuma Hera yang tau. Plus para bohay yang Rena yakin banget mereka nggak mungkin fafifu wasweswos ngomong sana-sini, apalagi sampai nekat cepu ke Bian.

"Nggak usah nyalahin Hera," tukas Bian. "Gue punya cara gue sendiri. Yang jadi pertanyaannya sekarang, apa itu bener atau nggak?"

Udah kepalang. Mana ekspresi Bian beneran yakin seyakin-yakinnya pas ngomong gitu. Ini, mah, pertanyaan retorika tai yang bertujuan agar Rena mengaku setumpah-tumpahnya.

"Kalau bener, lo mau apa, Bang?" Rena milih ngerespons nggak kalah gahar. "Lo mau mukulin Joshua sampai mampus?"

"Kalau emang dibutuhin, kenapa nggak?"

"Preman lo?" tantang Rena. "Lo sendiri yang bilang kalau lo care sama gue, lo peduli sama kebahagiaan gue, dan lo malah permasalahin pilihan gue."

"Renata!" tegur Bian. Suaranya meninggi. "Nggak semua pilihan lo bisa gue iyain gitu aja."

"Gue nggak butuh izin lo buat deket sama siapa pun." Rena nunjuk dada Bian. Rena udah capek ngebahas ini sama Bian, jadi udah waktunya buat ngelawan dan nantang sekalian. "Kalau lo peduli sama gue, stop perlakuin gue kayak anak kecil."

Bian mau buka mulut lagi, tapi keburu disela Rena,

"Gue nggak bakal ikut sama lo, atau Olla, atau Hera. Gue bakal loncat dari pesawat pas bokap sama nyokap lengah. Itu yang gue pilih."

***

Apa yang Rena lakuin ke Bian itungannya udah biasa. Nggak perlu heran. Rena ngerti kalau Bian sayang sama dia, tapi nggak bisa dipungkiri kalau sayangnya Bian itu sering kali bikin Rena emosi. Mana kalau udah ngamuk, Rena sering dikatain emosian oleh si Bian. Padahal mah yang diamukin Rena beralasan.

Gimana nggak emosi kalau Bian ngatur hidup Rena mau gimana? Hera aja nggak segitunya.

"Masih marah?" Bian mecahin sunyi di perjalanan. Sebelah tangannya fokus sama kemudi mobil.

Rena diem aja. Dia natap lurus ke depan.

Kedengeran Bian ngehela napas. "Gue nggak bakal minta maaf karena ngatain sesuatu yang sepatutnya emang perlu lo denger."

"Emang anjing lo, Bang!" Rena ngedelik. "Untung abang gue. Kalau bukan, udah gue lindes lo pake ban mobil."

"Kalau emang itu diperluin buat bikin adek gue aman, kenapa nggak?"

"See?" Rena geleng-geleng. "Udahlah. Gue nggak mau kita jadi berantem."

"Jadi, bener lo deket sama Joshua?" Bian rupanya nggak peduli sama peringatan Rena.

"Gue sama dia emang deket. Lo mau protes pun nggak bakal ngubah fakta itu."

Bian ngelirik Rena. "Lo tau bukan itu yang gue maksud, Re."

"Gue nggak tau, dan nggak mau tau."

"Lo lagi deket secara asmara sama Joshua?"

Apa Rena punya opsi buat bilang nggak atau ngelak? "Selagi bukan donatur, dilarang ngatur, termasuk soal percintaan gue."

"Re—"

"Iya." Rena natap Bian. "Gue lagi deket sama Joshua. Udah?"

Bian diem. Awalnya dia sempat kayak mau ngomong sesuatu, tapi nggak jadi. Sampai akhirnya mereka sampai di depan rumah Hera, Bian nggak ngomong apa-apa lagi. Dia ngelepas seat belt terus turun duluan dan bukain pintu buat Rena.

Rena nerima uluran tangan Bian. Tatapannya langsung tertuju ke rumah Hera di depan mata.

"Menurut lo, Olla sama bonyok udah nyampe atau belum?" tanya Rena pada Bian.

Bian ngangkat bahu. "Langsung aja."

Rena ngangguk meski gemeter dikit dalam hati. Langkahnya agak gimana gitu pas masuk rumah Hera. Bareng sama Bian, Rena menuju ruang tengah. Begitu tiba, yang dia liat pertama kali adalah personel keluarganya sudah lengkap.

Ada Hera yang duduk di sofa tunggal, terus Olla duduk di sofa tunggal juga, berseberangan sama Hera, dipisahin meja kaca. Di salah satu sofa bersama, dua orang yang Rena udah lama banget nggak ketemu tatap muka jelas banget natap dia dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Yang pertama kali Rena aja bertatapan adalah sang wanita. Rambutnya pendek sebahu. Di usianya yang Rena tau nggak bisa dibilang muda lagi, penampilan nyokapnya itu beneran menipu sejagat alam. Glowing dan mulus sekali, wak.

Kayaknya nyokapnya itu dateng ke dokternya Lindsay Lohan. Soalnya, waw, amazing sekali hasil perawatan (dan operasinya). Nggak keliatan tanda-tanda tua. Satu hal yang Rena notice tetep alami dan nggak berubah sejak dulu: sorot matanya yang dalam. Emang nggak bersinonim sama tajam, tapi efek tatapan sama nyokapnya itu bikin Rena kayak ditenggelamin ke lautan terdalam di jagat.

"Renata, it's been a quite long time."

Bukan. Yang bilang gitu bukan nyokapnya, tapi bokap Rena. Rambutnya keliatan jelas ditumbuhi beberapa uban putih, tapi overall penampilannya masih fresh. Jangan bayangin aki-aki beraroma kekayuan kaya raya. Nggak. Bokapnya Rena masih bugar dengan postur tubuh tegap dan keliatan banget terlatih. Kayaknya selama ngurus perusahaan di Amerika, bokapnya Rena ini masih punya waktu buat ngejaga diet ketatnya. It paid off, sih, soalnya bokapnya keliatan seger banget kayak ubin lantai rumah Hera.

"Papa, Mama." Rena ngangguk kecil ke mereka. "Hera bilang ada yang mau diomongin soal Rena."

Papanya ngangguk. "Duduk dulu, Re."

Rena duduk di hadapan papa dan mamanya, dengan Bian ikutan naruh di sebelah Rena.

Rena natap keduanya bergantian sebelum beralih ngelirik Hera. Rena sempat ngangkat alis, ngelempar kode: ini mau ngomongin apa? gitu. Hera cuma mejamin mata sekali. Rena bisa paham maksudnya: dengerin aja dulu.

"Ini bukan cuma soal Rena." Papa mereka memulai, "tapi juga menyangkut bagaimana masa depan keluarga kita ke depannya."

"Kedengerannya serius banget, Pa," Olla berkomentar. "Bertahun-tahun nggak ketemu kami. Bukannya salam-salaman, saling maafin, nanya kabar masing-masing, tapi malah bawa kabar yang kayaknya bakal mengubah masa depan kita semua."

"Olla, masalah antara kamu dan kami masih belum selesai." Mama mereka menyela. "Kami nggak perlu mendengar sarkasmu itu."

Olla ngangkat bahu.

Papa mereka melanjutkan, "Seperti yang kalian tau, perusahaan membutuhkan calon penerus yang memiliki stabilitas menjanjikan. Bukan hanya finansial yang stabil, tetapi juga kematangan emosi dan keinginan untuk terus belajar. Belum lagi aspek lain yang seharusnya dipenuhi sejak awal, tapi kalian semua selama ini selalu menganggap sepele soal itu."

"I'm not." Hera nggak terima. Ekspresinya getir. "Aku peduli sama perusahaan, tapi—"

"Visi dan misi kamu nggak sesuai dengan apa yang kami inginkan." Mama menyela. "Secara teknis, kamu memang berbakat dan paling potensial dibanding adik-adikmu, Hera. Namun, secara moral? Nggak. Kamu sama sekali nggak cocok untuk menjadi penerus perusahaan."

Bisa Rena liat Hera ngehempasin punggung ke sandaran. Ekspresinya jelas pahit.

"Olla nggak punya bakat untuk mengurus tanggung jawab sebesar itu, dan dia pun jelas sekali enggan untuk belajar." Papa berkomentar. "Sementara, Bian …."

Ucapan papa mereka tergantung. Rena lihat papa mereka menatap Bian lekat-lekat. Bian pun turut melakukan hal serupa, tanpa suara.

"Nggak perlu diperjelas. Bian adalah kekecewaan terbesar saya dan mama kalian." Papa mereka menghela napas.

Duduk di sebelah abangnya itu bisa membuat Rena melihat telapak tangan Bian mengepal erat, seperti tengah menahan emosi.

"Jadi, harapan kami satu-satunya adalah Renata." Mama menatapnya lekat.

Rena mengerjap. Ruangan juga seketika menjadi sunyi senyap. Rena sempat menyaksikan ekspresi kaget dari kakak-kakaknya.

"Rena?" Rena nunjuk dirinya sendiri, "Tapi, Rena sama sekali nggak punya pengetahuan atau pengalaman—"

"Kami tau." Papa memotong. "Karena itu, kami sudah menyiapkan rencana."

Rena terperangah.

"Kami akan menjodohkan kamu dengan laki-laki pilihan kami, Renata."



 






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top