[S2] 3. The Heart Wants What It Wants

"Morning, sleepyhead."

Rena masih ngambang, sebagian dirinya udah balik ke dunia nyata, sementara sisanya nyangkut di alam mimpi. Bentar doang, sih. Soalnya nggak berapa lama abis itu, Rena udah bisa ngeliat situasi sekitar dengan otak perlahan mulai jalan secemana mestinya.

First of all: dia masih di kamar. Iyalah. Orang Rena masih tiduran di ranjang juga. Tuh cewek bangun, duduk di pinggir ranjang. Dia ngusap muka, ngucek mata, terus ngefokusin pandangan ke cowok yang berdiri di depan dia.

Joshua.

Joshua lagi naruh nampan berisi sarapan di nakas deket ranjang Rena. Isinya ada pancake, jus jeruk, terus apa lagi tuh … buah keknya. Ijo-ijo kalem. Kiwi. Naah, itu! Bergizi banget, etdah. Ini Rena ampe melek jadinya. Soalnya nggak biasa banget Joshua ngeboyong gituan.

"Beli di mana?" Itu yang Rena pertama tanyain.

"Gue bikin sendiri," sahut Joshua kalem.

Rena muter bola mata jemu. "Lebih percaya Billie Eilish orang Nganjuk ketimbang kibulan lo."

"Masih ada jejaknya di dapur. Mau gue fotoin?"

Rena ngerjap. Dia baru ngeh juga kalau di leher Joshua ada jejak bekas tepung gitu. Terus tangan tuh cowok keliatan rada basah—lembab.

Nih orang monmaap kesambet apaan kalau betulan bikin sarapan ginian buat Rena?"

"Lo nggak kerasukan kan?" Rena mundur satu geseran.

Joshua malah ketawa. Dia duduk di pinggir ranjang. "Itung-itung latihan jadi pacar yang baik, Re."

Denger itu, Rena jadi keperanjat. Mak! Kok geli kali denger Joshua bilang gitu ke dia?

"PACAR APA, ANJING!" Rena merinding sebadan-badan. "Gue pukul lo ya, bangsat! Jangan ngomong yang aneh-aneh, deh."

"Tega mukul cowok lo sendiri?" Joshua naikin alis.

"COCOT LU KONDISIKAN, TAIK! Cowok, apaan! Davin noh cowok gue!"

Abis Rena ngomong gitu, air muka Joshua agak berubah. Awalnya keliatan usil, terus jadi rada kaku. Cowok itu juga sempat ngembusin napas agak panjang. Matanya ngeliatin sarapan yang barusan dia tata di atas nakas.

Rena langsung sadar kalau dia udah bablas ngomong yang nggak seharusnya di depan Joshua.

Maapin aja, nih, soalnya Rena udah kebiasa gitu. Kapan coba dia ngomongnya di-filter kalau sama Joshua? Rena aja berani ngatain mantan Joshua, si lontay Nami itu, pake sebutan lonte.

Lupa, Say, kalau Joshua sekarang nggak cuma sekadar sahabat doang.

Rena ngedeketin tuh cowok, naruh sebelah tangan di pundaknya. "Gue hari ini mau ngomong sama Davin soal hubungan kami."

Joshua natap dia tepat di mata. "Abis itu kita pacaran?"

"Nggak, lah!" Rena bangun dari ranjang terus nyamber nampan berisi sarapan. Dia duduk di salah satu kursi. "Gue cuma nggak pengen dicap selingkuh sama Davin, padahal kita masih belum ada hubungan apa-apa."

"Secara nggak langsung, lo milih gue." Joshua numpuin kedua tangan di kasur Rena. "Kan?"

Rena ngedelik. "Bisa jangan bawel nggak?"

"Apa gue salah?"

"Salah!" Rena nyantap pancake-nya. Enak juga, ternyata. "Gue nggak milih siapa-siapa. Davin berhak dapetin yang lebih baik dari gue, tapi nggak berarti gue otomatis milih lo ya, Njing! Janji lo ke gue nggak bisa dibuktiin dalem semalam. Sampai lo bisa ngeyakinin gue, kita bukan apa-apa."

Joshua awalnya nggak bereaksi. Terus sedetik kemudian tuh cowok ngangkat bahu. "Fair enough. Yang lo bilang bener. Gue harus bisa ngebuktiin kalau gue pantes buat lo."

Harusnya Rena biasa aja nih, wak. Soalnya respons Joshua ya persis kayak harapan dia. Nggak terlalu ngegas kudu maksa mereka segera mulai pacaran atau apalah abis Rena mutusin Davin. Tapi, denger Joshua sadar diri dan pede di saat bersamaan, bikin Rena jadi kegelitik gimana gitu hatinya. Rasanya kek … seneng aja. Berasa kayak anak remaja lagi digombalin buat pertama kali.

Rena nandasin sarapan sambil nunduk, senyam-senyum sendiri.

"Salting, ya?" Joshua ngegoda dia.

"APAAN?" Rena melotot, nodongin piring bekas sarapan. "Nggak ada, ya! Mending lo keluar deh. Gue mau mandi terus siap-siap berangkat."

"Ya udah, mandi aja." Joshua malah tiduran di ranjang Rena. "Capek abis bikinin lo sarapan. Gue mau pejamin mata bentar."

"Monmaap nih, Njeng, nggak ada yang nyuruh situ ngelakuin kek gini."

"Sama-sama, Sayang."

"JOSHUA DERION SAMAPTA!"

"Tumben nggak ngatain."

"LO BANGSAT!"

"Ini baru ceweknya gue." Joshua bangun terus nowel pipi Rena.

"Taik!" Rena nepis tangan Joshua. Dia ngebuang muka. "Jauh-jauh lo dari gue, setan! Gue nggak mau asal diklaim."

Joshua ketawa pendek. "Gue anterin, ya?"

"Apanya?"

"Ketemu sama Davin," jelas Joshua. "Dia perlu tau siapa cowok yang bikin lo mutusin dia."

"Once again, jangan kepedean," sahut Rena sinis. "Belum tentu kita bakal ada hubungan lebih."

"Gue yakin kita bakal ada di titik itu, Re."

Ngeliat Joshua sepede itu bikin Rena mikir ulang. Dia keinget kata-kata Hera. Hati Rena condong ke Joshua, tapi apakah Joshua bisa tahan nggak colok sana-sini karena Rena ogah ngasih apa yang biasa cowok itu butuhin?

"Pasti overthinking lagi." Joshua ngehela napas. Dia nangkup pipi Rena. "Re."

Rena nggak nyahut.

"Dari apa yang udah terjadi, gue belajar sesuatu. Lo mau tau apa?"

"Nggak. Males denger bajingan ngomong."

"Overthinking nggak ada menyelesaikan apa pun." Joshua tetep ngomong. "Yang ada, justru itu bikin masalah baru, sesuatu yang harusnya nggak perlu terjadi malah bablas kejadian."

Rena natap cowok itu tepat di mata. "Josh …."

"Gue takut lo bakal pergi andai gue jujur soal perasaan gue, tapi dengan gue diam, lo malah berakhir punya hubungan sama Davin. Gue hampir kehilangan lo. Itu semua karena gue terlalu takut buat jujur apa adanya." Joshua menghapus jarak di antara wajah mereka. "Kali ini, gue nggak bakal ngebiarin itu keulang, Re."

Rena bahkan bisa ngerasain embusan napas Joshua. Mak njeng! Dari jarak segini, Joshua tuh beneran ganteng banget, taik! Kek menembus Rena ampe nggak berdaya. Tatapan tuh cowok, ekspresinya yang melembut, terus suaranya yang nggak kalah ganteng … kenapa Tuhan baik bener pas ngeciptain bajingan kek Joshua?

Dan parahnya hati Rena gonjang-ganjing sama si brengsek ini.

"Rena." Joshua manggil dia. Bibir mereka udah deket banget. "May I kiss you?"

"No ...."

"Lo masih punya perasaan buat cowok selain gue?"

Rena ngedengkus. "Lo kepedean, goblok. Kebiasaan banget."

"Then?"

Gue tuh takut makin jatuh hati! Rena ngejerit diam. Kenapa sih semua cowok tuh begonya ampe ke tulang ekor? Heran.

Bukannya nurut kata Rena, Joshua malah beneran ngehapus jarak di antara bibir mereka. Joshua ngecup ringan bibir Rena.

Rena kebeliak kecil.

"Pukul gue kalau lo nggak suka sama yang barusan," bisik Joshua.

Jantung Rena … nggak bisa ini, nggak! Rena harusnya marah, bukannya deg-degan.

Taik! Kontol! Kenapa malah jadi kayak gini, sih!?

"Josh …."

"Ya?"

Rena ngebuang tatapan ke samping. "Lo beneran udah putus sama Nami, kan?"

Joshua sempat ngerjap sebelum senyum. "Nggak ada lagi Nami, atau siapa pun itu. Cuma lo, Re. Only you."

"Gue nggak sudi kalau ciuman barusan masih ada bekas cewek lain."

"I can guarantee you, Re." Joshua mengelus sebelah pipi Rena. "So?"

"Sowhat?"

Joshua nunjuk bibirnya sendiri. Senyum melengkung di wajah tampan itu. "Kiss me?"

Buset dah! Ini kenapa Rena makin nggak keruan perasaannya? Berasa ada petugas yang siap ngobrak-abrik hatinya dalam waktu dekat. Payah! Nggak bisa ini!

Rena inisiatif ngecup telunjuknya terus dia tempelin ke bibir Joshua. "Udah."

Joshua cemberut. "Rena!"

"APA?" Rena ngedorong dada Joshua biar ngejauh.

"Cium!"

"KOK LU JADI WHINY GINI, SEH?"

"Ya …." Joshua mikir sejenak. "Ke siapa lagi kalau bukan sama lo?"

Hampir Rena mau jawab Nami atau labaan lo yang lain, tapi baru inget dia kalau Joshua katanya mau berubah demi Rena.

"Tunggu gue putus sama Davin dulu. Baru, deh," kata Rena.

"Ya udah. Cium pipi aja."

"JANGAN MARUK LU YA, SETAN!"

Joshua merengut. "Aku yang cium. Mau ya?"

"JANGAN PAKE AKU-KAMU."

"Sayang."

"Bangsat!"

"Kiss." Joshua senyum miring.

Ini kalau Rena nyundul Joshua biar jatuh dari jendela apart, kira-kira bakal jadi catetan kriminal nggak ya?

Pas Rena natap ke depan, Joshua ada di hadapan mata. Nunggu sambil senyum pula.

Ish! Rena ngedecak. Dia maju dikit, ngecup sebelah pipi Joshua. "Jangan ganteng-ganteng. Ntar si lonte Nami naksir lagi."

"Ngakuin kalau gue ganteng?"

"Iyalah! Buta kalau bilang lo jelek."

Kirain Joshua bakal ngeladenin, ternyata tuh cowok salting juga, elah. Mukanya jadi rada memerah, apalagi di pipi sama telinga.

"LO KENAPA, NJING?" Rena kepana.

"Nggak. Nggak apa-apa."

"Keluar sana! Gue mau mandi terus siap-siap."

"Di sini aja. Gue mau tidur," tawar Joshua.

"GUE PUKUL LU, YA!"

"Ampuuuun!"

***

Rena udah sampe di kafe, sesuai janji sama Davin. Davin bilang dia bakal datang lebih telat. Tuh cowok juga minta maaf dan nanya apakah Rena nggak masalah. Rena ngeokein. Toh, dia juga butuh nyiapin hati dulu soalnya yang mau diomongin nih nggak sepele.

Abis mesan minum, Rena duduk di salah satu meja. Dia milih spot outside biar nggak ngerasa pengap. Meskipun kafenya ber-AC, tapi tetep aja. Rena butuh ruang yang nggak kehalang dinding biar nggak grogi.

Rena mikirin ini hampir berhari-hari, ada lah semingguan. Bener kata Hera. Meskipun Davin baik dan nggak neko-neko, tapi Rena nggak ada rasa sama dia. Gimanapun, dia bisa pacaran sama Davin karena butuh pelarian dari Joshua. Nggak etis banget rasanya kalau Davin nggak bisa Rena cintai, di saat tuh cowok ngerasa tulus sama Rena. Davin berhak buat dapetin yang lebih baik dan bisa ngebalas effort-nya.

Benernya Rena kuatir sama keputusan ini, takut-takut bakal ngerusak hubungannya sama Lisa. Tapi, Rena mikir lagi, Lisa nggak sepicik itu. Tuh geboy bahkan cenderung nggak peduli sama abangnya sendiri mau gimana. Mungkin Lisa bakal hepi juga karena Rena nggak perlu berstatus potensial menjadi kakak iparnya.

Intinya: Rena udah neguhin hati biar nggak perlu ngerasa nggak tega sama Davin.

Kata Joshua juga ada benernya. Overthink itu ngerusak segalanya. Padahal, kalau dari awal sama-sama jujur, situasi ruwet kemarin nggak bakal kejadian.

Oke.

"Hey there, pretty girl."

Davin dateng sambil mengusap sebelah pipi Rena. Sebelah tangannya nyodorin buket bunga sama bag bertulis logo luxury brand.

"Hei." Rena nelan ludah, gugup. Berterima kasih pas nerima pemberian itu. "Macet?" Dia basa-basi dikit.

"Kayak biasa." Davin tersenyum, duduk di depan Rena. "Udah pesen makan? Atau, mau pindah ke restoran yang lebih proper? Ada satu tempat yang nggak jauh dari sini. Nggak perlu booking lebih dulu karena gue kenal sama owner-nya. Bisa dapet freepass VIP."

Rena ngegeleng. Bakal makin canggung nanti kalau sampai segitunya. "Gue cuma mau ngobrol santai. Di sini aja cukup, kok."

Santai pala kau, lah! Rena ngerutuk diri sendiri dalam hati.

"Alright." Davin ngangguk. "Sori kalau belakangan ini gue jarang ada atau ngabarin. Kerjaan lagi padat-padatnya. Ada banyak tempat yang butuh didatengin."

"Nggak apa-apa," sahut Rena. "By the way …."

"Ya?"

Now, what? "Gimana kabar Lisa?"

Davin ngerjap. "Lo lagi berantem sama dia?"

Tolol! Rena baru sadar itu pertanyaan basa-basi paling goblok dalam sejarah hidupnya. "Eh … nggak, kok. Nggak. Gue sama dia baik-baik aja."

"Lo keliatan gugup," tembak Davin. "What happened? Apa ada hubungannya sama yang mau lo omongin?"

Kalau udah gini, apakah Rena bisa kabur aja?

Kabur dan bikin situasi jadi fuck up? No, thanks. Rena udah capek kayak gitu.

"Yes." Rena ngehela napas, mainin jari di bawah meja. Panas dingin. Berasa ada tangan yang nggak terlihat lagi ngeremas lehernya, bikin Rena jadi susah mau ngomong. "Gue mau ngomongin soal kita …."

Davin jadi ikutan serius. Tatapannya nggak lepas dari Rena. "About us?"

Rena ngangguk.

Harus mulai dari mana ini?

"Apa … lo ngerasa hubungan kita nggak berjalan semestinya?"

Itu … kata-kata yang cukup alus, tapi juga kena sasaran buat ngedeskripsiin perasaan Rena. "Lo cowok baik, Dav. Gue bisa ngerasain lo tulus dan loyal, tapi lo berhak ngedapetin yang lebih baik dari gue."

"Kenapa lo mikir kalau lo nggak “lebih baik” buat gue, Re?" tanya Davin. "Gue yang ngulurin tangan lebih dulu. Gue udah siap sama kurang dan lebihnya lo."

Mati! Rena tergelagap. Dia beneran nggak tau kudu ngomong apa sekarang.

"Apa …." Davin natap dia lekat-lekat. "Ada cowok lain?"

Gosh. Rena ngerasa jadi manusia paling brengsek sekarang. Cewek itu ngelirik ke arah lain, nggak berani sekadar natap Davin meski nggak tepat di mata. Dia malu, tapi di saat bersamaan, yang Davin bilang itu bener.

"Joshua?" tanya Davin lagi.

Rena mejamin mata, ngangguk pelan. Saking pelannya, kalau Davin nggak aware, mungkin dia nggak akan notice.

Ada jeda sunyi cukup lama abis itu. Cuma suara sekita yang jadi backsound tipis-tipis nyapa telinga. Baik Rena maupun Davin sama-sama nggak ada yang ngomong lagi. Rena overwhelmed, nggak tau kudu ngelakuin apa buat handling situasi ini. Sementara, Davin … entahlah. Rena nggak tau apa yang dipikirin cowok itu sekarang.

"Kalau begini, apa lagi yang bisa gue lakuin, Re?" Davin akhirnya bersuara.

Rena ngangkat wajah, ngeliat Davin senyum tipis. Nggak ada ekspresi berlebihan di sana. Dia keliatan chill. Seolah yang barusan terjadi nggak berarti apa-apa.

"Dav …."

"Gue cuma bisa berharap lo bahagia sama Joshua." Davin ngangguk. "The heart wants what it wants. Am I right?"

Rena nggak bisa bohong kalau dia kagum sama cara Davin ngerespons. "I guess …."

Davin ngulurin tangan sambil berdiri. Rena paham, dia nyodorin sebelah telapak tangan ke genggaman cowok itu, ikutan bangun.

"Be happy, Re," pinta Davin. "Thank you karena mau percaya sama gue, meski cuma sesaat."

"Thank you, Bang." Rena senyum. "Karena kita udah resmi nggak ada hubungan apa-apa, gue balik panggil Bang aja ya?"

Davin tertawa kecil. "It's up to you, Re." Cowok itu mengusap lengan Rena. "Kita tetap bisa temenan kan?"

Rena ngangguk. "Lo abangnya Lisa. Lisa sobat gue. Otomatis lo juga temen gue, Bang."

"Good." Davin mendekatkan wajah ke telinga Rena. "Boleh gue kasih saran? Friend to friend."

"Ya?"

Barulah Davin negakin badan lagi. "Jangan lupa selalu pake pengaman, Re. Jangan lengah dan terbuai sama tampang ganteng Joshua."

Ngedenger itu, Rena jadi malu. "Err …."

"Lo pastinya nggak mau insiden yang dialami Joshua waktu itu terjadi sama lo, 'kan?"

Wait. "Gue nggak ngerti sama yang lo omongin, Bang."

"Oh?" Davin tampak kaget. "Gue pikir lo tau, secara lo udah temenan lama sama dia, 'kan?"

"Kenapa?"

Davin merendahkan suara. "Joshua pernah bablas bikin salah satu partner-nya hamil. Ceweknya minta pertanggungjawaban, tapi Joshua nggak mau. Berakhir Joshua nyuruh dia gugurin. Be careful, Re." 











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top