"Gue denger lo lagi deket sama cowok."

Rena nggak nyangka dia bakal ngelakuin ini, tapi udah beberapa minggu terakhir ini dia selalu mangkir ke rumah Hera tiap weekend.

Kadang pas weekdays juga cus berangkat, tapi nggak sering-sering banget, sih. Cuma, bisa dibilang mayan sering. Hera awalnya juga terheran-heran meskipun nggak lama. Namanya juga kakak kali, ya. Ngebiarin aja adeknya stay at her home walaupun mereka nggak akrab-akrab banget.

Rena lagi ngerjain tugas di ruang tengah. Hera lagi duduk-duduk di sofa sambil nonton.

Rena nyaut sekadarnya, "Lo nggak kerja?"

"Udah kelar semua," jawab Hera. "Lo ngerjain tugas apaan?"

"Lo nggak bakal ngerti, juga."

"Satu-satunya yang gue nggak ngerti kenapa lo tiba-tiba pedekate sama cowok entah siapa, babi," balas Hera.

Rena muter bola mata jemu. "Itu abangnya temen gue. Bukan dapet di MiChat."

"Bukan itu poinnya, goblok." Hera ngeradang. "Lo tuh impulsif banget. Gara-gara Joshua sampai kayak gini. Gila apa, ya. Sementara dia anteng aja sampai sekarang."

Yang dibilang Hera itu bener.

Joshua udah mulai kelihatan seliweran di apart. Awal-awal mereka papasan, Rena canggung berat. Joshua juga nyapa ala kadarnya. Say hai terus pergi gitu aja. Nggak ada lagi obrolan kayak dulu-dulu, apalagi saling ngeledek satu sama lain.

Seakan mereka nggak pernah saling kenal.

Itu juga yang bikin Rena sampai lari ke rumah Hera. Apart yang sebelahan sama Joshua bikin Rena nggak tenang.

Ada atau nggak ada pun penghuninya, Rena berasa mixed feeling. Dia berusaha nyingkirin pikiran yang gaungin nama Joshua mulu, tapi gagal. Yang ada Rena malah makin kepikiran.

Daripada Rena stres berkelanjutan, mending Rena mangkir ke tempat lain.

Sebenernya banyak tempat yang bisa Rena go there. Rumah Aleya sama Kifa, misalnya. Biar kata tuh bohay berdua akhlaknya setipis baju Mbak Kunti, tapi tetep yang namanya sobatan, udah pasti bersedia bantuin Rena. Tapi, akhirnya Rena milih rumah Hera.

Hera sendiri katanya lagi berusaha nyari cara biar bisa kerja di Indonesia aja. Pas Rena tanya emang di luar sana kontolnya terlalu gede buat meki Hera, Rena hampir kena lempar botol wine. Jadi, mingkem ajalah daripada mati sia-sia.

Soal kata-kata Hera barusan, ada sotoynya juga.

Rena mana tau Joshua anteng beneran atau gimana. Soalnya, Rena sendiri meskipun berusaha nggak terpengaruh, tetep aja gelagatnya bisa diliat sama orang-orang terdekat. Bahkan Hera yang notabene baru-baru ini pulang aja notice. Apalagi para geboy.

Rena berusaha ngeliatin gerak-gerik Joshua tiap mereka papasan bentar. Nggak ngebuahin hasil. Dia nggak bisa nyimpulin apa yang Joshua mungkin rasain.

Atau, lebih tepatnya, Rena terlalu takut ngambil kesimpulan. Karena gengnya serempak bilang kalau Joshua kelihatan anteng dan nggak galau kayak Rena.

Toh, Joshua yang nyetusin ide biar mereka lupain semuanya. Jadi, make sense kalau cowok itu bersikap seolah nggak ada yang pernah terjadi.

Namun, apakah sampai harus bikin mereka seolah kayak orang asing?

Atau, karena Rena lagi deket sama Davin?

"Nggak usah sotoy." Rena nutup laptop. Bad mood. "Gue nggak butuh diceramahin." Dia beranjak.

Hera ngekorin. "Gimana pun juga, lo tuh adek gue. Salah kalau gue khawatir sama lo?"

"Gue bisa ngurus diri sendiri ya, bangsat." Rena ke dapur buat ngambil air.

Hera ngedecak. "Susah ngomong sama lo. Giliran serius, dibercandain. Bercanda, lo malah sensitif. Gue kudu apa lagi?"

"Diem aja. Bisa, kan?"

Hera sampai angkat tangan. Nggak ngomong apa-apa lagi. Balik ke ruang tengah terus nonton dengan anteng. Dia teriak. "BAWA LAPTOP LU KE KAMAR. GUE MALES LIAT MUKA LO."

Rena turutin aja sekalian. Dia naik ke lantai dua terus ngebanting pintu kenceng-kenceng. Laptop Rena lempar sembarang ke kasur. Dianya duduk di salah satu sofa deket jendela, ngehadep langsung ama taman belakang Hera yang luas banget. Ijo-ijo yang biasa jadi pemandangan kedemenan Rena sekarang malah nggak ada harga dirinya. Berasa liatin tai sapi sekebon a.k.a gumoh.

Kedua lutut Rena nekuk. Dia peluk di depan dada. Rena menekur sendirian di kamar. Sunyi banget. Wajar, sih. Cuma ada Hera doang di bawah dan kakaknya itu blak-blakan ngusir Rena dari hadapannya. Kalau aja ada Olla sama Bian, pasti lebih rame. Rena enggan ngakuin ini tapi di saat-saat kek gini dia kangen kakak-kakaknya itu.

Nggak tau akhir-akhir ini rasanya sepi banget. Rena ngejalanin hari berasa nggak ada nyawa. Dia makan, minum, nongki, masuk kelas, jalan sama Davin, dan masih banyak lagi, tapi rasanya nggak ada gairah sama sekali. Berasa ada yang kurang.

Rena ogah ngaku, tapi kalau ditilik ke belakang, perasaan ini datengnya pas Joshua udah balik ke apart dan mereka ketemuan "pertama kali". Awalnya Rena cuek bebek sama kekikukan situasi dan diamnya Joshua, tapi lama kelamaan dia jadi hampa.

Padahal Rena hampir tiap hari disirami kata-kata dan perlakuan manis dari Davin. Abangnya Lisa itu nggak kalah ganteng sama Joshua, terus royal juga. Dan yang paling penting, nggak bikin Rena suka naik darah. Davin nge-treat dia dengan baik dan dewasa. Beneran cowok idaman Rena banget.

Tapi, kenapa rasanya ... kosong?

Apa Rena yang terlalu brengsek nggak tau diri, apalagi bersyukur?

Kata-kata Hera kebayang di pikiran Rena. Impulsif. Apa emang itu yang Rena lakuin selama ini?

Rena nggak bisa nahan emosi sama pernyataan Joshua dan minta cowok itu "pergi" tanpa pikir panjang.

Dia juga ngeiakan ajakan Davin, padahal hatinya masih gonjang-ganjing nggak jelas karena Joshua.

Rena bingung.

Mungkin dialah antagonis dalam masalah yang dia hadapi sekarang.

Nggak kerasa, air mata Rena nitik. Bukan karena sedih, tetapi akibat sesak di dada kian menjadi-jadi.

"Re?" Panggilan itu dibarengi sama ketukan dari luar.

Rena ngusap sudut mata, ngedongak dikit. Jangan ampe Hera ngeliat dia galau gulana kek gini. "Apa?"

"Gue boleh masuk?"

Rena menimbang-nimbang. Pengennya sih nggak, tapi Rena masih sadar diri dikit. Ini rumah Hera. Secara teknis, Hera nggak butuh izih. "Masuk aja."

Rena beranjak dari sofa terus masukin laptop ke dalem tas pas Hera udah masuk. Daripada kebablasan emosionalnya luber di depan Hera, mending Rena nyari distraksi biar nggak sampai kayak tadi.

"Lo nginep di sini malem ini," kata Hera sambil duduk di pinggir ranjang.

Rena nggak nyaut. Dia cuma ngelirik Hera dari sudut mata. Itu jelas banget bukan nanya, tapi perintah. Kalau situasinya kek biasa, udah Rena colok dua lubang Hera itu. Seenak jidat nyuruh-nyuruh. Berhubung Rena nggak lagi good mood, dia milih diem aja.

"I said what I said," kata Hera lagi. Tatapannya pas banget ke mata Rena. "Lo impulsif, tapi kalau lo ngerasa ini yang terbaik, ya udahlah. Asal jangan bikin Davin jadi sekadar pelarian."

"Apa salahnya gue lari ke Davin?" Rena ngeberaniin diri bales wejangan ntu.

Hera ngehela napas panjang. "Percuma lo deket sama Davin, tapi hati lo masih sama Joshua. Nggak akan bikin keadaan lebih baik."

"Her, gue tau lo kakak pertama gue, yang paling tua di antara kita-kita, tapi lo kudu ilangin sifat sotoy asbun lo itu," sembur Rena. "Gue nggak pernah naruh hati sama Joshua."

"Lo pikir kenapa gue bisa ngomong kayak gini?" Heran nantang. "Lo kira gue cuma hidup kek robot selama ini? Kerja, tidur, kerja, tidur. Gitu doang?"

"Yang lo alamin beda sama gue."

"Gimana lo bisa tau sementara lo nggak pernah mau dengerin gue, Re?" Hera berdiri, menunjuk dada Rena. "Apa lo bahkan pernah nganggep serius kata-kata gue? Lo minta nasihat sama Olla, lo akrab sama Bian, tapi apa lo pernah nunjukkin itu ke gue, di saat gue berusaha buat care sama lo?"

Rena terdiam.

"Gue bahkan mertaruhin hubungan gue sama bonyok buat ngelobi mereka biar lo bisa tinggal di sini, alih-alih ikut ke Amerika. Kurang apa lagi gue selama ini?"

"Her—"

"Gue merjuangin biar bisa tinggal di sini dan ninggalin kehidupan gue di Wina yang udah belasan tahun gue bangun. Demi siapa? Lo, Re. Dan lo bahkan nggak pernah nganggep gue sepenuhnya sebagai kakak lo."

"NGGAK GITU, ANJING!" tukas Rena. "Lo nggak ngerti, Her. Yang lo lakuin cuma nge-judge gue. That's why gue nggak pernah mau cerita sama lo soal apa pun."

"Jangan ngelakuin sesuatu yang nggak bisa lo tanggung konsekuensinya kalau lo nggak mau di-judge, Re." Hera nekan tiap kata.

Rena ngacak rambut. "Lo selalu nganggep gue sebagai anak kecil. Iya, kan?"

Hera naik darah. "GUE PERCAYA SAMA LO SEJAK AWAL! Kalau gue nggak percaya sama lo, buat apa gue pertaruhin semuanya bisa lo bisa tetap stay di sini dan milih jalan hidup lo sendiri, hah? Pikir sebelum ngomong, Re!"

"Kalau gitu, biarin gue milih apa pun yang mau gue lakuin. Itu udah cukup kalau lo emang peduli sama gue."

"Dengan ngebiarin lo salah langkah?" tepis Hera. "Kakak mana yang mau adeknya kayak gini, gue tanya?"

Tangan Rena ngepal. "Lo bahkan nggak mau liat gue bahagia. Bukannya ngedukung gue, tapi lo malah bikin gue down dengan bilang gue impulsif. Secara nggak langsung, lo bikin gue seolah-olah biang masalah di sini."

"Emang iya, kan?" Hera nggak gentar. "Coba sejak awal lo nggak impulsif, apa semuanya bakal kayak gini? Lo harusnya kelarin masalah yang ada, bukannya lari dari masalah yang lo bikin sendiri."

"LO SOTOY, GOBLOK!" Rena nggak terima. "Lo nggak tau apa aja yang gue laluin selama ini."

"Apa yang gue nggak tau? Kalau lo galau dan berantakan kek gembel gini gara-gara si bangsat Joshua itu?"

Rena membeku. Dia nggak bisa ngomong sepatah kata pun.

Hera natap Rena lekat-lekat. "Jangan bergantung sama cowok lain buat ngobatin patah hati lo itu, Re. Davin berhak ngedapetin lo yang lebih baik dan nggak dalam keadaan semrawut kek gini."

"Hera ...."

Hera ngangkat sebelah tangan sedada. "Sebelum lo jalan sama cowok lain, pastikan lo udah ninggalin semua patah hati lo di belakang. Lupain Joshua sepenuhnya."